BEKAM TIDAK MEMBATALKAN WUDHU

BEKAM TIDAK MEMBATALKAN WUDHU

85. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam, lalu shalat dan tidak berwudhu. (Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan ia melemahkannya)

86. Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَإِذَا نَامَتِ العَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الوِكَاءُ

Mata adalah ikatan (penutup) dubur. Jika kedua mata tidur, maka terlepaslah ikatan itu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani)

87. Dan ditambahkan:

وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barang siapa tidur, hendaklah ia berwudhu.”

Tambahan ini terdapat dalam hadis Abu Dawud dari hadis Ali, namun tanpa ucapannya: “Terlepas ikatan.” Dan dalam kedua sanadnya terdapat kelemahan.

88. Dan Abu Dawud juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:

إِنَّمَا الوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا

Sesungguhnya wudhu adalah wajib bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring.”

Dan dalam sanadnya juga terdapat kelemahan.

PENJELASAN

Hadis-hadis ini disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Di antaranya adalah:

Pertama: Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam, lalu shalat dan tidak berwudhu.

Bekam sudah dikenal, yaitu mengeluarkan darah yang rusak dari tubuh, dan ia diperbolehkan. Di antara jenis-jenis pengobatan yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bekam, madu, dan pengobatan dengan besi panas (kay). (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Tiga hal ini termasuk pengobatan syar’i yang disebutkan dalam sunah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, bekam tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang mahir yang mengetahui waktu yang tepat untuk berbekam, lokasi bekam pada tubuh, serta apakah tubuh membutuhkannya atau tidak. Sebab, mengeluarkan darah dari tubuh adalah sesuatu yang berbahaya, sehingga dibutuhkan orang yang mahir yang dapat mengatakan kepada seseorang, “Sesungguhnya dalam tubuhmu ada darah yang rusak yang perlu dikeluarkan,” lalu ia mengeluarkannya dengan bekam.

Bekam sangat bermanfaat bagi orang yang terbiasa dengannya, berbeda dengan orang yang tidak terbiasa, karena baginya bekam adalah sesuatu yang mudah dan ia tidak terlalu memperdulikannya. Namun, bagi orang yang sudah terbiasa, ia harus berbekam setiap kali merasa bahwa darah dalam tubuhnya telah bergolak.

Bekam memiliki beberapa hukum, di antaranya adalah bahwa ia tidak membatalkan wudhu, meskipun darah yang keluar darinya banyak. Sebab, telah dijelaskan sebelumnya bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh tidak membatalkan wudhu, kecuali yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur). Adapun selain itu, maka tidak membatalkan wudhu. Demikian pula muntah, nanah dari luka, dan lainnya, baik sedikit maupun banyak, tidak membatalkan wudhu.

Di antara hukum bekam adalah bahwa jika seseorang sedang berpuasa lalu ia berbekam, maka puasanya batal. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ

Orang yang membekam dan yang dibekam, keduanya batal puasanya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Di antara hukum bekam adalah bahwa ia diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram. Sebab, telah tetap dalam hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan ihram. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim) Bahkan, jika hal itu menyebabkan dicukurnya rambut di lokasi bekam di kepalanya, maka tidak mengapa. Jika seseorang sedang dalam keadaan ihram, lalu darahnya bergolak dan ia membutuhkan bekam di kepalanya, maka ia boleh mencukur rambutnya karena tidak mungkin berbekam dalam keadaan masih berambut. Maka ia mencukurnya lalu berbekam, dan tidak ada kewajiban apa pun baginya, baik dosa maupun fidyah.

Di antara hukum bekam adalah bahwa ia memiliki waktu-waktu tertentu dalam sebulan yang diketahui oleh orang yang menggunakannya. Saat bulan sabit mulai tampak dan saat bulan penuh, jangan berbekam, tetapi lakukan di antara keduanya. Namun, jika darah seseorang bergolak dan ia harus berbekam, maka ia boleh berbekam. Sebab, sebagian orang yang terbiasa dengan bekam, jika tidak berbekam, mungkin akan pingsan dan jatuh. Oleh karena itu, kapan pun darahnya bergolak, hendaklah ia segera berbekam.

Penulis rahimahullah membawakan hadis ini dalam Bab Pembatal Wudhu untuk berdalil bahwa keluarnya darah dari tubuh tidak membatalkan wudhu. Karena dalam hadis ini disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam, lalu shalat dan tidak berwudhu. Seandainya keluarnya darah membatalkan wudhu, tentu beliau tidak akan shalat sampai berwudhu terlebih dahulu.

Metode yang ditempuh oleh penulis rahimahullah ini baik, tetapi ada dalil yang lebih jelas dan lebih kuat darinya. Sebab, hadis ini diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan ia melemahkannya. Artinya, ia menganggapnya memiliki kelemahan dalam beberapa hal.

Dalil yang lebih kuat darinya adalah bahwa hukum asalnya seseorang bebas dari tanggungan (dari kewajiban) dan tidak diwajibkannya wudhu. Oleh karena itu, kami katakan: Barang siapa mengatakan bahwa keluarnya darah dari selain dua jalan (kemaluan dan dubur) membatalkan wudhu, maka ia harus memiliki dalil. Jika ia tidak memiliki dalil, maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang laki-laki mengadu kepadanya bahwa ia merasa ada sesuatu yang keluar dalam shalat, beliau bersabda,

لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar suara atau mencium bau (kentut).”

Maka, jika seseorang tidak batal wudhunya hanya karena ragu secara inderawi dalam keberadaan pembatal wudhu, maka demikian pula wudhunya tidak batal hanya karena ragu secara syar’i dalam keberadaan pembatalnya. Oleh sebab itu, selama kita tidak memiliki dalil syar’i yang menunjukkan bahwa keluarnya darah dari selain dua jalan membatalkan wudhu, maka hukum asalnya adalah wudhu tetap sah dan tidak batal.

Para ulama rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah ini.

Di antara mereka berkata bahwa jika darah keluar dari bagian tubuh lainnya, seperti darah mimisan dan darah luka, atau keluar muntah, atau sesuatu yang serupa dengan itu dari tubuh, dan jika jumlahnya banyak serta najis, maka hal itu membatalkan wudhu. Namun, pendapat ini tidak memiliki dalil.

Sebagian ulama berkata bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Jika seseorang keluar darah dalam jumlah banyak, atau muntah, atau selain itu yang keluar dari selain dua jalan (kemaluan dan dubur), maka wudhunya tidak batal. Pendapat ini adalah yang lebih kuat, dan merupakan salah satu dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, serta merupakan mazhab Imam asy-Syafi’i dan mazhab tujuh fuqaha dari kalangan tabi’in yang terkenal.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang muntah dan makanan yang ada dalam perutnya keluar, maka wudhunya tetap sah. Jika ia mimisan dan keluar darah darinya, meskipun banyak, maka wudhunya tetap sah. Jika darah diambil darinya (misalnya dengan donor darah), meskipun banyak, maka wudhunya tetap sah. Jika ia terluka dan keluar darah, meskipun banyak, maka wudhunya tetap sah.

Wudhunya tidak batal karena hal tersebut, bahkan ia tetap dapat shalat dan tidak ada dosa baginya. Namun, jika darah mengenai tubuhnya, maka jika jumlahnya banyak, menurut mazhab mayoritas ulama, darah tersebut harus dicuci. Jika sedikit, maka tidak masalah.

Adapun hadis-hadis lainnya berkaitan dengan tidur. Dan telah kami sebutkan sebelumnya bahwa tidur tidak membatalkan wudhu, kecuali jika tidurnya sangat lelap, sehingga jika seseorang kentut, ia tidak merasakannya.

Baca juga: HUKUM DARAH

Baca juga: CARA MEMBERSIHKAN DARAH HAID DARI PAKAIAN

Baca juga: ORANG YANG MENGALAMI HADAS TERUS-MENERUS

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih