TIDAK MENYENTUH AL-QUR’AN KECUALI ORANG YANG SUCI

TIDAK MENYENTUH AL-QUR’AN KECUALI ORANG YANG SUCI

83. Dari Abdullah bin Abu Bakr rahimahullah, bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr bin Hazm disebutkan:

أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

Hendaklah tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Diriwayatkan oleh Malik secara mursal, tetapi disambungkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Namun, hadis ini memiliki cacat dalam sanadnya)

84. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan beliau.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan disebut secara mu’allaq oleh al-Bukhari)

PENJELASAN

al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah menyebutkan hadis ‘Amr bin Hazm, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan dalam suratnya kepadanya: “Hendaklah tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.”

Para ahli hadis berbeda pendapat mengenai apakah hadis ini bersambung sanadnya (maushul) atau terputus (mursal). Namun, umat Islam menerimanya dengan baik, mengamalkannya, dan meridhainya. Oleh karena itu, hadis ini dianggap sahih berdasarkan pengamalan umat terhadapnya, meskipun sanadnya mursal.

Sabda beliau, “Tidak menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” Maksudnya adalah suci dari dua hadas, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Jika kamu ingin menyentuh mushaf, jangan menyentuhnya kecuali dalam keadaan berwudhu. Adapun jika kamu hanya membalik halamannya menggunakan tongkat atau siwak, atau menyentuhnya dengan perantara penghalang, maka tidak mengapa, meskipun kamu dalam keadaan tanpa wudhu. Adapun menyentuh ujung yang digunakan untuk menyimpan mushaf, maka tidak mengapa juga. Begitu pula menyentuh sarung mushaf yang terpisah darinya, maka tidak mengapa.

Adapun sampul mushaf yang dijahit dan menyatu dengannya, maka hukumnya sama dengan mushaf, sehingga tidak boleh disentuh tanpa wudhu. Adapun jika seseorang menyentuh tafsir al-Qur’an, maka tidak mengapa, karena ia bukan mushaf. Begitu juga menyentuh buku yang berisi ayat-ayat al-Qur’an, tidak mengapa, karena ia bukan mushaf.

Dengan demikian, yang diharamkan hanyalah menyentuh mushaf secara langsung, sebagai bentuk pengagungan terhadap kalam Allah Ta’ala.

Dengan ini kita mengetahui bahwa kita wajib menghormati mushaf, karena ia adalah kalam Rabb kita ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu, kita tidak membuangnya di pasar atau di tempat-tempat kotor serta tidak melakukan sesuatu terhadapnya yang mengandung penghinaan terhadap al-Qur’an sama sekali. Sebab, menghinakan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara yang sangat besar, padahal ia adalah perkataan yang paling mulia, paling baik, paling benar, dan paling bermanfaat.

Jika seseorang berkata, “Apakah meletakkan buku, kacamata, atau yang semisalnya di atas mushaf dianggap sebagai bentuk penghinaan?”

Jawabannya adalah: Diperbolehkan bagi seseorang untuk meletakkan kacamata di atas mushaf, atau meletakkan buku lain di atasnya, tetapi yang lebih baik adalah agar buku lain berada di bawah mushaf.

Kemudian disebutkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘amha, bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaan beliau.”

Artinya, tidak ada sesuatu pun yang menghalangi beliau dari mengingat Allah, bahkan beliau mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, baik dalam keadaan berwudhu maupun tidak berwudhu, karena berdzikir tidak disyaratkan berwudhu.

Ingatlah Allah dalam keadaan apa pun kamu berada, bahkan jika kamu dalam keadaan junub, karena terus-menerus mengingat Allah ‘Azza wa Jalla adalah salah satu amalan terbaik. Sampai seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban-kewajiban Islam terasa banyak bagiku.” Atau ia berkata, “Hukum-hukum Islam terasa banyak bagiku.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ

Hendaklah lisanmu selalu basah dengan mengingat Allah.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Artinya, perbanyaklah berdzikir.

Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berakal, yaitu mereka yang senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring.

Kenyataannya bahwa hati yang sadar (terjaga) akan senantiasa mengingat Allah dalam segala sesuatu, karena ia tidak melihat sesuatu pun kecuali ia tahu bahwa itu adalah tanda-tanda (kebesaran) Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ia melihat manusia dan bagaimana penciptaannya, atau melihat langit, atau bumi dan tumbuh-tumbuhannya, atau melihat sesuatu yang lain, maka ia akan mengingat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hal itu.

Maka dalam setiap sesuatu terdapat tanda (kebesaran-Nya)

yang menunjukkan bahwa Dia adalah Maha Esa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat Allah dalam setiap keadaannya. Namun, jangan membaca al-Qur’an ketika kamu dalam keadaan junub hingga kamu mandi (bersuci). Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengucapkan “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, dan Allahu Akbar” dalam keadaan tanpa wudhu, maka tidak mengapa.

Allah-lah yang memberikan taufik.

Baca juga: TIDAK BOLEH MENYENTUH MUSHAF KECUALI DALAM KEADAAN SUCI

Baca juga: BOLEH MEMBACA AL-QUR’AN BAGI YANG BERHADAS KECIL TANPA MENYENTUH MUSHAF

Baca juga: ANJURAN MENGINGAT DAN MENJAGA AL-QUR’AN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih