Kemudian duduk untuk tasyahud setelah dua rakaat, dengan duduk seperti duduk di antara dua sujud dalam cara meletakkan tangan dan cara melipat kaki —kecuali pada posisi iq’a’. Kedua tangan diletakkan di atas kedua paha, sebagaimana posisi tangan dalam duduk di antara dua sujud. (Silakan merujuk kembali ke pembahasan duduk di antara dua sujud)
Diriwayatkan oleh Muslim dari hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tasyahud pada setiap dua rakaat. (HR Muslim)
Dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila duduk dalam dua rakaat, duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (HR al-Bukhari)
Bacaan Tasyahud
1. Bacaan pertama
Ketika duduk (tasyahud) beliau mengucapkan,
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Keselamatan atasmu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah-Nya. Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat, hendaklah ia mengucapkan, “at-Tahiyyatu lillah…,” lalu beliau menyebutkan teks bacaan tersebut. (HR al-Bukhari)
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dengan lafaz:
إِذَا تَقَعَّدَ
“Apabila duduk (untuk tasyahud)…” (HR Muslim)
“at-Tahiyyat”: Para ulama menjelaskan bahwa tahiyyah adalah setiap lafaz yang digunakan untuk mengagungkan makhluk yang hidup. Maka makna ucapan “at-tahiyyatu lillah” adalah bahwa seluruh bentuk pengagungan adalah hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla, sebagai hak-Nya dan secara khusus untuk-Nya. Maka Allah Ta’ala, Dia-lah yang berhak atas pengagungan, dan Dia yang dikhususkan dengan pengagungan itu yang tidak ada bentuk pengagungan lain yang menyerupainya.
“ash-Shalawat” adalah shalat yang sudah dikenal, yaitu seluruh shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Witir, shalat sunah, dan selainnya. Semua itu tidak berhak atasnya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Shalat pertama yang termasuk di dalamnya adalah shalat yang sedang kamu kerjakan sekarang.
“ath-Thayyibat” adalah sifat-sifat baik yang disifati dengannya Allah ‘Azza wa Jalla, dan juga segala yang baik yang kita kerjakan. Maka “ath-thayyibatu lillah “ artinya sifat-sifat dan karakteristik yang baik adalah milik Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah adalah baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim)
Setiap hal yang baik, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun sifat, maka itu adalah milik Allah ‘Azza wa Jalla. Allah berkata benar dan Dia memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Demikian pula, segala yang baik dari kita adalah untuk Allah ‘Azza wa Jalla, dan Allah menerimanya. Adapun yang buruk dari kita, Allah tidak akan menerimanya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah adalah baik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
“as-Salamu ‘alaika ayyuha an-Nabiyyu” — as-Salam adalah salah satu dari nama-nama Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَـٰمُ
“Yang Mahamerajai, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera” (QS al-Hasyr: 23),
dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ هُوَ السَّلَامُ
“Sesungguhnya Allah, Dia-lah as-Salam.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi dalam konteks ini, as-salam bukan salah satu nama dari nama-nama Allah, melainkan bermakna keselamatan, yaitu keselamatan dari Allah atasmu. Maksudnya adalah permohonan agar Allah menyelamatkanmu, wahai Nabi, dari segala keburukan, dan juga menyelamatkan syariatmu dari segala keburukan. Keselamatan syariat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan keselamatan bagi beliau. Bukti bahwa keselamatan syariat beliau merupakan keselamatan bagi beliau adalah bahwa jika seseorang mengucapkan suatu perkataan, lalu perkataan itu dicela orang lain, maka celaan terhadap perkataan tersebut akan kembali kepada pengucapnya. Maka, ketika kamu mengucapkan “as-Salamu ‘alaika ayyuha an-Nabiyyu” berarti kamu sedang berdoa kepada Allah agar Dia menyelamatkan beliau dan syariat beliau.
Kami mengatakan bahwa as-salam di sini bermakna at-taslim, lalu apakah faqala dapat bermakna taf’il?
Jawabannya adalah ya. Termasuk dalam hal itu adalah al-kalam yang bermakna at-ta’lim. Maka as-salam berarti at-taslim, yaitu keselamatan dari Allah atasmu, wahai Nabi. Maksudnya, kamu memohon kepada Allah agar Dia menyelamatkan Nabi-Nya dan syariatnya dari segala kekurangan dan cela.
Dalam hal ini terdapat kerancuan dalam ucapan orang yang shalat, yaitu ketika mengucapkan “‘alaika” dari dua sisi
Sisi pertama: Bagaimana mungkin dianggap sah berbicara langsung dalam shalat, padahal hal tersebut termasuk ucapan manusia, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ الآدَمِيِّينَ
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada sesuatu pun dari perkataan manusia di dalamnya.” (HR Muslim)
Kami katakan: Berbicara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah pengecualian dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada sesuatu pun dari perkataan manusia di dalamnya.” Oleh karena itu, para ulama berkata: Jika orang yang shalat menggunakan kata ganti langsung (kaf mukhathabah) kepada selain Allah dan Rasul-Nya, maka shalatnya batal. Seandainya seseorang laki-laki masuk kepadamu saat kamu sedang shalat dan berkata, “as-Salamu ‘alaika,” lalu kamu menjawab, “‘Alaika as-salam,” maka shalatmu batal, kecuali jika kamu melakukannya karena tidak tahu.
Sisi kedua: Bagaimana mungkin sah menyapa seseorang yang tidak hadir, tidak mendengar, dan berada jauh darimu, terlebih setelah wafatnya beliau, karena beliau telah meninggal dunia?
Jawabannya: Sapaan kita kepadanya akan disampaikan kepadanya, karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَلِّمُوا عَلَيَّ، فَإِنَّ تَسْلِيْمَكُمْ يَبْلُغُنِيْ أَيْنَمَا كُنْتَ
“Ucapkanlah salam kepadaku, karena salam kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (HR Abu Ya’la)
Jika kamu mengucapkan salam kepada beliau, salam itu akan sampai kepada beliau di mana pun kamu berada. Karena kuatnya kehadiran (dalam hatimu), kamu menyapanya seakan-akan beliau hadir di hadapanmu, meskipun sebenarnya beliau jauh.
“Wa-rahmatu llah” — Rahmat bersama salam mencakup kesempurnaan. Sebab, dengan rahmat segala yang diinginkan terwujud, dan dengan keselamatan segala yang ditakuti dihindarkan. Oleh karena itu, ketika rahmat dan keselamatan terkumpul, apa yang diinginkan seseorang menjadi sempurna. Maka sekarang kamu tengah meminta kepada Allah agar Dia merahmati beliau bersama keselamatan atasnya.
Adapun “barakat”, ia adalah bentuk jamak dari barakah. Barakah berarti banyaknya kebaikan dan kelanggengannya. Para ahli bahasa mengatakan bahwa kata ini berasal dari al-birkah, yaitu tempat berkumpulnya air, yang biasanya berukuran besar dan air di dalamnya menetap (tidak mengalir).
Ringkasan makna doa ini adalah bahwa kamu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia menyelamatkan Rasul-Nya dan melimpahkan rahmat serta keberkahan kepadanya.
Kemudian beralih ke ucapan “as-salamu ‘alaina.”
Jika kita katakan bahwa “‘alaina” merujuk kepada kaum muslimin, maka akan muncul kerancuan dalam ucapan “wa ‘ala ‘ibadi llahi ash-shalihin.” Namun jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan “‘alaina” adalah kelompok umat Islam, yaitu umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang dimaksud dengan “wa ‘ala ‘ibadi llahi ash-shalihin” mencakup setiap hamba yang saleh di langit dan di bumi. Jika kita katakan bahwa maksud “‘alaina” adalah orang-orang yang sedang shalat, maka menjadi rancu pula, karena bisa jadi seseorang sedang shalat sendirian tanpa seorang pun bersamanya. Maka pendapat terbaik dalam hal ini adalah kita mengatakan “‘alaina,” kelompok umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Wa ‘ala ‘ibadi llahi ash-shalihin” mencakup setiap hamba yang saleh di langit maupun di bumi, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَقَدْ سَلَّمْتُمْ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memberi salam kepada setiap hamba Allah yang saleh di langit dan di bumi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam hal ini adalah para malaikat, karena para sahabat dahulu mengatakan “Keselamatan atas Jibril dan atas Mikail,” maka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّلَامُ عَلَيْنَا، وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ فَقَدْ سَلَّمْتُمْ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Katakanlah, ‘Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh,’ karena jika kalian melakukannya, maka kalian telah memberi salam kepada setiap hamba Allah yang saleh di langit dan di bumi.” (HR al-Bukhari)
Para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang saleh tanpa keraguan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ، لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ، وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ
“Sebenarnya mereka (para malaikat) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak mendahului-Nya dalam ucapan, dan mereka mengerjakan perintah-Nya.” (QS al-Anbiya’: 26–27)
“Ashhadu an la ilaha illa Allah.”
Kata “ashhadu” bermakna aku mengakui dan menyatakan dengan hatiku, seperti orang yang menyaksikan sesuatu dengan matanya sendiri. Oleh karena itu, kata “uqirru” (aku mengakui) diganti dengan kata “asyhadu” (aku bersaksi), yang menunjukkan bahwa pengakuan tersebut adalah pengakuan yang meyakinkan, sebagaimana yakinnya seseorang terhadap apa yang ia lihat dengan matanya sendiri.
Ucapanmu, “an la ilaha illa Allah.”
Aku sering mendengar orang-orang mengucapkan, “Asyhadu anna la ilaha illa Allah.” Padahal, menurut kaidah bahasa Arab, hal tersebut merupakan kekeliruan. Yang benar adalah mengucapkan “an la” dengan an yang ringan, lalu diidghamkan ke dalam huruf lam. Sebab, anna yang bertasydid (berat) tidak boleh masuk ke dalam kalimat yang mengandung penafian. Adapun bentuk yang benar tersebut adalah bentuk ringan (أنْ) dari bentuk berat (أنَّ).
Ucapanmu, “La ilaha illallah” — Kata ilah berarti ma’luh “yang disembah.” Ia berbentuk fi‘al yang bermakna maf‘ul (yang dikenai perbuatan). Bentuk fi‘al yang bermakna maf‘ul sering muncul dalam bahasa Arab. Di antaranya, ghiras (yang ditanam), bina’ (yang dibangun), dan firash (yang dibentangkan).
Makna al-ma’luh adalah yang disembah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (dengan perintah), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS an-Nahl: 36),
dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelum engkau melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sembahan (yang benar) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS al-Anbiya’: 25)
Dengan demikian, ilah bermakna yang disembah, yaitu tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.
Di sini muncul kerancuan, yaitu bahwa kita menyaksikan di bumi ada banyak yang disembah selain Allah: berhala disembah selain Allah, benda-benda keramat disembah selain Allah, pohon-pohon disembah selain Allah, manusia disembah selain Allah, malaikat disembah selain Allah, matahari disembah selain Allah, bulan disembah selain Allah, sapi disembah selain Allah. Semua itu adalah sembahan selain Allah. Maka bagaimana bisa sah aku mengatakan, “Tidak ada sembahan selain Allah?”
Jawabannya adalah bahwa dalam kalimat tersebut terdapat penghilangan kata yang tidak dapat dihindari, dan kata yang dihilangkan itu taksiran maknanya adalah “haqq” (yang benar). Artinya, “Tidak ada sembahan yang benar selain Allah.” Berdasarkan ini, khabar dari “la” (dalam kalimat la ilaha illallah) dihilangkan, dan bukan setelah “illa”, tetapi yang setelahnya adalah badal (pengganti) darinya. Artinya: Tidak ada sembahan yang benar selain Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka mereka batil, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ ٱلْبَٰطِ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah-lah yang hak (benar), dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain-Nya itulah yang batil.” (QS al-Hajj: 62)
“Wa ashhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh” — Artinya kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Beliau adalah hamba yang dikuasai, bukan yang disembah, shalawat dan salam atasnya. Beliau adalah seorang rasul dan bukan pendusta. Oleh karena itu, para ulama berkata, “Seorang hamba yang tidak disembah, dan seorang rasul yang tidak didustakan.” Semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadanya.
“Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Keselamatan atasmu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah-Nya. Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Perhatikan urutannya! (التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ) “Segala penghormatan, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah.” Ini adalah hak Allah. (السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ) “Keselamatan atasmu wahai Nabi, juga rahmat Allah.” Ini adalah hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (السَّلَامُ عَلَيْنَا) “Keselamatan atas kami.” Ini adalah hakmu, (وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ) “dan atas hamba-hamba Allah yang saleh.” Ini adalah hak seluruh hamba saleh secara umum. Maka, hak pertama atas manusia adalah hak Allah, kemudian hak Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hak diri sendiri, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ
“Mulailah dari dirimu sendiri,” (HR Muslim) kemudian hak seluruh manusia. Di sini, kita mendahulukan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diri kita sendiri, karena memang kita wajib mendahulukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas diri kita sendiri. Maka, setiap mukmin wajib mengorbankan dirinya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hak beliau atas kita lebih agung daripada hak kita atas diri sendiri, bahkan lebih agung dari hak kedua orang tua atas kita. Oleh karena itu, salam kepada beliau didahulukan.
2. Bacaan kedua
Jika mau, boleh mengucapkan:
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala penghormatan yang diberkahi, seluruh shalawat, dan segala yang baik adalah milik Allah. Keselamatan atasmu wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”
Muslim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami tasyahud, sebagaimana beliau mengajarkan surat dari al-Qur’an. Beliau bersabda,
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ
“Segala penghormatan yang diberkahi…” dan beliau menyebutkan teksnya. (HR Muslim)
3. Bacaan ketiga
Dalam riwayat dari dari Abu Musa radhiyallahu’anhu, terdapat lafal ketiga, yaitu,
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala penghormatan yang baik dan shalawat adalah milik Allah. Keselamatan atasmu wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah serta keberkahan-Nya. Keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR Muslim)
Demikianlah bacaan tasyahud awal.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abu ‘Ubaidah, dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua rakaat, seolah-olah beliau berada di atas batu panas (karena cepatnya bangkit). (HR Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Ahmad meriwayatkan dari hadis Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau berada di pertengahan shalat, beliau bangkit setelah selesai dari tasyahud-nya. (HR Ahmad)
Baca sebelumnya: SIFAT SHALAT NABI – RAKAAT KEDUA
Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)