SESUATU TETAP SEBAGAIMANA SEBELUMNYA

SESUATU TETAP SEBAGAIMANA SEBELUMNYA

77. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا، فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ، أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Jika salah seorang di antara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu keluar atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah menyebutkan dalam hadis-hadis yang ia bawakan dalam bab Pembatal Wudhu, hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafaz yang semisal dari Abdullah bin Zaid dalam kitab Shahihain.

Hadis ini menunjukkan bahwa jika seseorang berada dalam keadaan suci, lalu ia merasakan sesuatu seperti gerakan dalam perutnya, atau suara gemuruh, atau perut kembung, atau sesuatu yang semisal dengan itu, atau merasakan gerakan di sekitar duburnya, atau merasakan gerakan di kemaluannya, kemudian ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar darinya atau tidak, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hukumnya bahwa ia tetap dalam keadaan suci dan tidak wajib berwudhu. Oleh karena itu, ia tidak boleh keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.

Ini termasuk nikmat dari Allah, karena setan bisa mendatangi seseorang dan membuatnya seolah-olah ia telah berhadas. Bahkan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa setan meniup duburnya hingga seseorang berkata, “Aku berhadas.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq) Tetapi, di antara nikmat Allah —segala puji bagi-Nya— adalah bahwa kita tidak perlu memperdulikan keraguan semacam ini. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa, dan seseorang tetap dalam keadaan suci.

Hadis ini merupakan kaidah besar dalam menetapkan hukum berdasarkan sesuatu yang telah pasti, yaitu bahwa prinsip dasarnya adalah sesuatu tetap sebagaimana sebelumnya, dan bahwa keyakinan tidak hilang karena keraguan.

Para ulama telah mengambil banyak permasalahan dari hadis ini, yang jumlahnya tidak terhitung, dalam bab thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, haji, jual beli, dan seluruh cabang fikih. Prinsip dasarnya adalah bahwa sesuatu tetap sebagaimana sebelumnya. Maka jika kamu ragu apakah keadaan asal telah berubah, maka tetaplah berpegang pada keadaan asal, dan anggap tidak terjadi sesuatu apapun.

Maka kita mulai terlebih dahulu dengan apa yang ditunjukkan oleh hadis ini, yaitu apabila seseorang merasa ragu apakah telah keluar angin darinya atau tidak, maka ia tidak perlu memperdulikannya. Sebaliknya, ia harus tetap melanjutkan shalatnya, membaca (bacaan shalat), dan melakukan segala sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang yang suci, hingga ia benar-benar yakin bahwa ia telah berhadas. Sebab, prinsip dasarnya adalah tetapnya keadaan suci.

Di antara hal yang sering dibisikkan oleh setan adalah keluarnya sesuatu dari kemaluan. Ada sebagian orang yang merasakan dingin di ujung kemaluannya, lalu mengira bahwa sesuatu telah keluar darinya. Namun, ia tidak boleh memperdulikan hal ini, melainkan harus mengabaikannya dan tidak pergi mencari tahu. Sebab, ada sebagian orang yang ketika merasakan dingin ini pergi membuka auratnya dan memeriksa apakah sesuatu telah keluar atau tidak. Ini merupakan kesalahan, bahkan termasuk sikap berlebihan yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ

Celakalah orang-orang yang berlebihan.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Para ulama rahimahumullah dan di antara mereka yang terkemuka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Hendaklah seseorang mengabaikan hal ini dan tidak memerdulikannya.” Bahkan, sebagian ulama berkata, “Hendaklah dipercikkan air pada celana atau sarungnya,” agar setan tidak mempermainkannya dengan waswas.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang bangun dari tidurnya dan mendapati basah pada pakaiannya, tetapi ia tidak mengingat adanya mimpi basah dan tidak tahu apakah itu disebabkan oleh janabah atau bukan, maka ia tidak wajib mandi. Sebab, prinsip dasarnya adalah tetapnya keadaan suci.

Termasuk dalam hal ini juga, jika seseorang berhadas dan wudhunya batal, lalu masuk waktu shalat dan ia ragu apakah sudah berwudhu atau belum, maka kita katakan, “ Sesungguhnya kamu belum berwudhu,” sehingga ia wajib berwudhu. Sebab, prinsip dasarnya adalah tidak adanya wudhu. Jika ia sedang dalam shalat, maka hendaklah ia keluar dari shalatnya, meskipun ia sebagai imam, dan salah satu makmum menggantikannya untuk menyempurnakan shalat.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang telah selesai berwudhu lalu ragu apakah ia telah mencuci tangannya atau belum, maka ia tidak perlu memperdulikan keraguan ini. Sebaliknya, ia tetap dalam keadaan suci, karena keraguan setelah selesai dari ibadah tidak berpengaruh kecuali jika ia benar-benar yakin. Adapun jika ia ragu saat sedang berwudhu dan sebelum selesai, apakah ia telah mencuci tangannya atau belum, maka hendaklah ia mencucinya. Sebab, ada perbedaan antara keraguan setelah selesai ibadah dan keraguan saat masih dalam ibadah.

Termasuk dalam hal ini juga, jika seseorang ragu dalam shalatnya setelah ia selesai, apakah ia telah shalat tiga rakaat, atau empat, atau lima, atau sesuatu yang semisal dengan itu, maka ia jangan memperdulikan hal ini dan jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang berpengaruh.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang ragu dalam tawafnya setelah ia selesai, apakah ia telah melakukan tujuh putaran atau tidak, maka jangan memperdulikan hal ini.

Termasuk dalam hal ini juga, jika seseorang ragu dalam sa’i setelah ia selesai, apakah ia telah melakukan tujuh putaran atau kurang, maka jangan memperdulikan hal ini.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang ragu apakah ia telah menjual barang ini kepada si Fulan atau tidak, maka jangan memperdulikan hal ini.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang ragu apakah ia telah menceraikan istrinya atau tidak, maka talak tidak terjadi.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang ragu saat hendak melakukan sesuatu lalu berkata, “Aku khawatir telah bersumpah untuk tidak melakukannya,” maka jangan memperdulikan hal ini.

Termasuk dalam hal ini juga, jika seseorang melakukan sesuatu yang ia sangka membatalkan puasanya, tetapi ia tidak yakin, maka puasanya tidak batal. Sebab, prinsip dasarnya adalah sesuatu tetap sebagaimana sebelumnya.

Termasuk dalam hal ini, jika seseorang ragu apakah sesuatu membatalkan wudhu atau tidak, seperti ragu apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak, maka wudhunya tidak batal selama tidak ada keyakinan.

Yang penting adalah bahwa hadis ini menunjukkan suatu kaidah besar yang mencakup seluruh bab fikih, yaitu prinsip dasarnya adalah sesuatu tetap sebagaimana sebelumnya.

Faedah Hadis

Di antara faedah hadis ini:

1️⃣ Bahwa kentut membatalkan wudhu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sampai ia mendengar suara atau mencium bau.” Maksudnya adalah bau yang tidak sedap, seperti bau kentut atau suara kentut. Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur) membatalkan wudhu dalam setiap keadaan.

2️⃣ Mengamalkan (hukum) berdasarkan pendengaran, tetapi harus berupa pendengaran yang benar-benar pasti. Adapun jika hanya sekadar dugaan atau ilusi, maka tidak boleh diperhatikan.

Jika seseorang bertanya, “Bagaimana jika orang yang ragu itu adalah orang yang tidak bisa mencium dan tidak bisa mendengar?” Maka jawabannya, “Kapan pun ia bisa mencapai keyakinan dengan cara apa pun, maka ia harus berpegang pada keyakinan tersebut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan hal ini sebagai contoh saja, dan maksudnya adalah bahwa seseorang tidak boleh meninggalkan (shalat) hingga ia benar-benar yakin.

Baca juga: TENTANG AKHLAK BAIK DAN DOSA

Baca juga: KEJUJURAN ADALAH KETENANGAN, KEBOHONGAN ADALAH KERAGUAN

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih