Dalam perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulangkan Umair bin Abu Waqqash karena usianya belum cukup (16 tahun). Umair pun menangis. Rasulullah kemudian mengizinkannya ikut berperang, dan pada Perang Badar tersebut Umair gugur sebagai syahid.
Ketika sampai di Harratul Wabirah (atau al-Wabrah/al-Wabarah), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang lelaki musyrik yang dikenal karena keberanian dan kepahlawanannya. Ia ingin berperang bersama beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Kembalilah, aku tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik.”
Ia kembali menawarkan diri di asy-Syajarah, lalu untuk ketiga kalinya di al-Baida’, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan hal yang sama kepadanya. Akhirnya, ia pun menyatakan keislamannya dan diterima oleh Nabi.
Ketika sampai di dekat ash-Shafra’ —sebuah lembah dan perkampungan di antara Madinah dan Badar, yang sekarang dikenal dengan nama al-Wasithah dan berjarak sekitar 51 mil dari Madinah di jalur menuju Badar— Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Basbas bin ‘Amr al-Juhani dan ‘Adi bin Abu az-Zaghba’ al-Juhani ke Badar untuk mencari berita mengenai Abu Sufyan dan kafilahnya.
Diriwayatkan bahwa beliau keluar bersama Abu Bakar untuk keperluan tersebut. Mereka bertemu dengan seorang laki-laki tua dan menanyakan tentang pasukan Quraisy. Namun, laki-laki tua itu meminta agar mereka memberitahu identitas mereka terlebih dahulu. Mereka pun setuju, tetapi meminta agar laki-laki tua itu memberikan kabar lebih dulu. Laki-laki tua itu kemudian memberitahu bahwa ia mendengar Muhammad dan para sahabatnya telah berangkat pada hari ini dan itu. Jika berita yang ia terima tentang pasukan Quraisy benar, maka pada hari ini mereka telah sampai di tempat ini dan itu —yaitu lokasi keberadaan pasukan Quraisy saat itu—.
Setelah selesai, ia bertanya, “Kalian berdua dari pihak mana?”
Rasulullah menjawab, “Kami dari mata air.”
Kemudian mereka pergi, meninggalkan laki-laki tua itu yang bertanya-tanya, “Dari mata air? Apakah maksudnya mata air Irak?”
Keesokan harinya, beliau mengutus ‘Ali bin Abu Thalib, Zubair bin al-‘Awwam, dan Sa‘ad bin Abu Waqqash bersama beberapa sahabat untuk mengumpulkan informasi tentang musuh.
Di mata air Badar, mereka menemukan dua orang budak yang sedang mengambil air untuk pasukan Quraisy. Mereka membawanya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun saat itu beliau sedang shalat. Para sahabat pun menanyai kedua orang tersebut. Keduanya mengatakan bahwa mereka bertugas mengambil air untuk pasukan Quraisy, tetapi para sahabat tidak percaya dan tidak menyukai jawaban itu. Mereka mengira kedua budak tersebut adalah milik Abu Sufyan, karena masih berharap dapat memperoleh kafilah itu. Maka mereka memukuli keduanya hingga akhirnya keduanya mengakui bahwa mereka adalah budak milik Abu Sufyan.
Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam para sahabat karena telah memukuli kedua orang itu ketika mereka berkata jujur, dan justru membiarkannya ketika mereka terpaksa berbohong. Rasulullah kemudian bertanya kepada keduanya tentang posisi pasukan Makkah. Mereka menjawab, “Mereka berada di belakang bukit pasir ini, yang dapat kalian lihat di sisi lembah yang jauh dari arah Madinah.”
Ketika beliau menanyai keduanya tentang jumlah pasukan Makkah dan perlengkapannya, keduanya tidak dapat menjawab dengan pasti. Namun, mereka memastikan bahwa unta yang disembelih setiap hari berjumlah sekitar sembilan atau sepuluh ekor. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkirakan jumlah mereka sekitar sembilan ratus hingga seribu orang. Mereka juga memberitahukan kepada beliau tentang tokoh-tokoh Makkah yang berada dalam pasukan. Beliau pun berkata kepada para sahabat, “Inilah Makkah yang datang melemparkan seluruh buah hatinya kepada kalian.” Beliau juga menunjukkan tempat-tempat terbunuhnya para pemimpin Quraisy, dan kenyataannya, tidak seorang pun dari mereka meleset dari tempat yang ditunjukkan oleh Rasulullah.
Malam harinya, Allah Ta’ala menurunkan hujan yang menyucikan kaum mukminin dan meneguhkan bumi yang mereka pijak, sekaligus menjadikannya sebagai musibah besar bagi orang-orang musyrik. Berkenaan dengan hal ini, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, menguatkan hatimu, dan memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).” (QS al-Anfal: 11)
Di antara nikmat Allah yang lain bagi kaum muslimin pada Perang Badar adalah Dia memberikan rasa kantuk kepada mereka sehingga jiwa mereka menjadi tenteram, sebagaimana disebutkan pada penggalan pertama dari ayat tentang turunnya hujan:
“(Ingatlah) ketika Allah menjadikan kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu.” (QS al-Anfal: 11)
Abu Thalhah berkata, “Kami diserang rasa kantuk saat berada dalam barisan pada Perang Badar. Aku termasuk yang mengalaminya hingga pedangku terjatuh, lalu aku mengambilnya, kemudian terjatuh lagi, lalu aku mengambilnya kembali.”
Allah Ta’ala menambahkan karunia-Nya kepada kaum mukminin dengan menimpakan perselisihan pada musuh. Saat itu, ‘Utbah bin Rabi’ah berusaha mencegah kaumnya dari berperang dan mengingatkan mereka akan akibat yang ditimbulkan. Ia menyadari bahwa kaum muslimin tentu akan berjuang mati-matian.
‘Utbah berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kerabat akan saling membunuh, dan hal ini akan meninggalkan rasa pahit yang tidak akan pernah hilang dari hati.”
Abu Jahal menanggapi dengan menuduhnya pengecut. Untuk menunjukkan keberaniannya, ia mengajak seorang saudaranya dan anaknya maju menantang kaum muslimin untuk berduel satu lawan satu.
Saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ‘Utbah yang berada di atas seekor unta merah. Beliau bersabda, “Jika di dalam pasukan itu ada kebaikan, maka itu ada pada penunggang unta merah. Jika mereka menaatinya, mereka akan mendapatkan petunjuk.”
Namun, Allah berkehendak lain. Mereka tidak memedulikan pendapat ‘Utbah, dan pendapat itu tenggelam di tengah luapan dendam lama Abu Jahal.
Baca sebelumnya: TEKAD PASUKAN MUSLIM
Baca setelahnya: STRATEGI PENEMPATAN PASUKAN DI MATA AIR BADAR
(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)