PEMBATAL WUDHU DAPAT MERUSAK WUDHU

PEMBATAL WUDHU DAPAT MERUSAK WUDHU

Pembatal wudhu adalah sesuatu yang merusak dan membatalkan wudhu. Di antara pembatal wudhu adalah buang air besar, kencing, kentut, tidur, dan makan daging unta.

Dalil buang air besar, kencing, dan tidur sebagai pembatal wudhu adalah hadis Shafwan bin ‘Assal. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk tidak melepas khuf ketika safar selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah (junub). Kalau sekadar buang air besar, kencing, dan tidur, (maka khuf tidak perlu dilepas). (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)

Hal ini diperkuat oleh ayat yang mulia tentang buang air besar ketika Allah Ta’ala berfirman:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ

Jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang di antara kalian datang dari buang air besar atau kalian menyentuh perempuan kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan menggunakan debu yang suci. Maka usaplah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.” (QS an-Nisa: 43)

Batalnya wudhu karena kentut atau buang angin berdasarkan hadis dari Abdullah bin Zaid dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma tentang orang yang bingung atau was-was, apakah dari duburnya keluar sesuatu atau tidak. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلَا يَخْرُجْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah dia keluar (dari masjid) sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, dan ad-Darimi)

Inilah empat hal yang membatalkan wudhu: kencing, buang air besar, kentut, dan tidur.

Akan tetapi, tidur tidaklah membatalkan wudhu kecuali tidur yang nyenyak, yaitu apabila seseorang benar-benar tertidur terlelap sehingga dia tidak menyadari apabila sesuatu keluar darinya.

Tidur adalah keadaan dimana seseorang diduga kuat mengeluarkan hadas, meskipun tidur itu sendiri bukan hadas. Oleh karena itu, jika seseorang mengantuk dalam salatnya atau di luar salatnya, namun dia mampu merasakan hadas keluar dari tubuhnya apabila berhadas, maka wudhunya tidak batal walaupun kantuknya berlangsung lama. Begitu pula, wudhunya tidak batal meskipun orang itu bertumpu pada tangannya, atau bersandar, atau berbaring ketika mengantuk. Hal itu karena yang menjadi patokan atau ukuran batal tidaknya wudhu seseorang bukanlah posisi badan, melainkan kemampuan merasakan hadas keluar dari tubuhnya apabila berhadas dan keadaannya yang terjaga.

Adapun pembatal kelima dari pembatal-pembatal wudhu adalah makan daging unta.

Telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya, “Apakah kami berwudhu disebabkan (makan) daging unta?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ. فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ

Ya. Berwudhulah karena (makan) daging unta.”

Dan beliau juga ditanya tentang berwudhu disebabkan (makan) daging kambing. Beliau menjawab,

إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ. وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ

Jika kamu mau, berwudhulah. Jika tidak mau, janganlah berwudhu.” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Khuzaiman, Ibnu Hibban, an-Nasa-i, dan al-Baihaqi)

Dengan demikian, jawaban beliau “Ya. Berwudhulah karena (makan) daging unta” dan “Jika kamu mau, berwudhulah. Jika tidak mau, janganlah berwudhu” merupakan dalil bahwa berwudhu disebabkan makan daging unta tidaklah kembali kepada kehendak hamba, akan tetapi perintah yang diwajibkan. Seandainya tidak diwajibkan, niscaya perkaranya (berwudhu ataukah tidak) akan kembali kepada kehendak (masing-masing).

Telah tsabit dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan berwudhu disebabkan makan daging unta. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Oleh karena itu, wudhu seseorang yang memakan daging unta batal. Sama saja apakah makan banyak atau sedikit, daging mentah atau dimasak, daging merah atau usus atau paru-paru atau jantung atau hati atau apa saja dari bagian tubuh unta. Hal itu karena lafaz hadis menunjukan makna yang umum, tidak membedakan antara daging dan yang lainnya. Dan keumuman pada daging unta sama seperti keumuman pada daging babi.

Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ

Diharamkan atas kalian bangkai, darah, dan daging babi.” (QS al-Maidah: 3)

Oleh karena itu, daging babi di sini mencakup seluruh bagian tubuh babi.

Dalam syariat Islam tidak satu jasad pun yang bagian-bagiannya memiliki hukum yang berbeda. Oleh karena itu, barangsiapa memakan daging unta, bagian apa saja dari jasadnya, sedangkan dia dalam keadaan memiliki wudhu, maka wajib baginya memperbaharui wudhunya.

Kemudian perlu diketahui bahwa apabila seseorang memiliki wudhu, kemudian dia ragu akan munculnya pembatal wudhu, apakah telah keluar air kencing atau kentut, atau telah memakan daging unta atau daging kambing, maka atas dirinya tidak ada kewajiban berwudhu. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang dikhayalkan kepadanya bahwa dia berhadas dalam salatnya, beliau menjawab,

فَلَا يَخْرُجْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah dia keluar (dari masjid) sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, dan ad-Darimi)

Yakni sampai dia yakin akan hal itu, yaitu dia benar-benar merasakan keluarnya hadas dengan kesadaran yang tidak ada kesamaran padanya. Hal itu karena tetapnya sesuatu adalah sebagaimana hukum asalnya, sampai diketahui hilangnya hukum asal tersebut. Maka pada kasus di atas, hukum asalnya adalah orang itu tetap pada wudhunya, sampai dia mengetahui hilangnya atau batalnya wudhu.

Baca juga: BEBERAPA KESALAHAN DALAM BERWUDHU

Baca juga: APAKAH MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU?

Baca juga: PENGARUH RAGU-RAGU DALAM TAHARAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih