Ketika Allah menghancurkan musuh, sebagian kaum muslimin mengejar mereka, mengalahkan, dan membunuhnya. Sebagian lain tetap berada di medan perang untuk mengumpulkan harta rampasan, sementara sebagian yang lain bertahan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar musuh tidak mendapat kesempatan menyerang beliau.
Pada malam harinya, setelah seluruh pasukan berkumpul, para sahabat yang mengumpulkan harta rampasan berkata, “Kami yang mengambil dan mengumpulkannya, maka tidak seorang pun berhak atas bagian harta rampasan perang selain kami.”
Kelompok yang mengejar musuh berkata, “Kalian tidak lebih berhak daripada kami. Kami yang mengusir musuh dari hartanya dan kami pula yang mengalahkan mereka.”
Kelompok yang mengawal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalian tidak lebih berhak daripada kami. Kami menjaga Rasulullah karena khawatir musuh mendapat kesempatan menyerang beliau, maka kami pun sibuk melindungi beliau.”
Lalu Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, ‘Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya). Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian.’” (QS al-Anfal: 1)
Pembagian harta rampasan perang dilakukan di daerah ash-Shafra’ dalam perjalanan pulang ke Madinah. Seperlima dari harta rampasan diambil dan dibagikan kepada seluruh pasukan yang ikut berperang. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa pembagian dilakukan sama rata, dan ada pula yang menyebutkan bahwa pembagian disesuaikan dengan jenis rampasan dan usaha dalam pertempuran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan bagian kepada sembilan orang sahabat yang tidak hadir dalam Perang Badar karena sedang menjalankan tugas di Madinah atau memiliki alasan yang dibolehkan. Di antara mereka adalah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjaga istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang sedang sakit. Ruqayyah kemudian wafat dan dimakamkan setelah Rasulullah serta para sahabat kembali dari Badar.
Adapun para tawanan perang digiring menuju Madinah. Sebelumnya, Rasulullah mengutus Zaid bin Haritsah dan ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhuma untuk menyampaikan kabar gembira kemenangan kepada penduduk Madinah. Kabar itu disambut dengan suka cita, meskipun sebagian orang masih diliputi rasa khawatir kalau-kalau berita itu tidak benar.
Usamah bin Zaid berkata, “Demi Allah, aku tidak mempercayainya hingga aku menyaksikan para tawanan.”
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku tidak mempercayainya hingga aku melihat langsung para tawanan.”
Saudah binti Zam’ah radhiyallahu ‘anha tercengang ketika melihat Suhail bin ‘Amr digiring dengan kedua tangannya terikat ke leher menggunakan seutas tali. Ia berkata, “Wahai Abu Yazid, mengapa engkau menyerahkan tanganmu? Tidakkah lebih baik engkau mati secara terhormat?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah terhadap Allah dan Rasul-Nya?” — maksudnya, apakah engkau menghasutnya?
Saudah menjawab, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak kuasa menahan diri untuk mengucapkan kata-kata itu ketika melihat Abu Yazid dengan kedua tangan terikat di lehernya.”
Baca sebelumnya: PENGUBURAN MAYAT KAUM MUSYRIKIN DI DALAM SUMUR
Baca setelahnya: TAWANAN PERANG BADAR DAN KETENTUAN TEBUSAN
(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)