MENYENTUH PEREMPUAN TIDAK MEMBATALKAN WUDHU

MENYENTUH PEREMPUAN TIDAK MEMBATALKAN WUDHU

76. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istri-istrinya, kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dilemahkan oleh al-Bukhari)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah menyebutkan dalam rangkaian hadis-hadis yang ia sampaikan dalam bab Pembatal Wudhu, hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istri-istrinya, kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu.

Hadis ini menjelaskan hukum menyentuh dan mencium perempuan, apakah hal tersebut membatalkan wudhu atau tidak. Para ulama rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah ini. Di antara mereka berpendapat bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu dalam setiap keadaan. Di antara mereka berpendapat bahwa jika seseorang menyentuh perempuan dengan syahwat, maka wudhunya batal. Namun, jika tidak dengan syahwat, maka wudhunya tidak batal.

Di antara mereka berpendapat bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat. Artinya, jika seorang laki-laki mencium istrinya, menyentuh tangannya, atau memeluknya, dan ia tidak mengeluarkan madzi maupun mani serta tidak mengalami hadas, maka wudhunya tidak batal, baik untuk dirinya sendiri maupun istrinya. Hal ini karena hukum asalnya adalah wudhu tetap sah sebagaimana adanya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa wudhu batal. Tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam sunah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalil yang menunjukkan bahwa menyentuh perempuan membatalkan wudhu.

Berdasarkan hal ini, menyentuh perempuan —meskipun tanpa penghalang dan meskipun dengan syahwat— serta mencium dan memeluknya, semua itu tidak membatalkan wudhu selama tidak keluar sesuatu darinya. Sebab, hukum asalnya adalah kesucian tetap berlaku hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa wudhunya batal atau rusak.

Meskipun hadis ini memiliki sanad yang lemah, ia tetap menjadi hujah dalam hal yang telah ditetapkan melalui jalur lain, yaitu bahwa menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu, begitu pula berhubungan langsung dengannya tidak membatalkan wudhu, bahkan jika dilakukan dengan syahwat, selama tidak keluar sesuatu darinya.

Dan tidak dapat dibantah dengan firman Allah Ta’ala:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ

“…atau kalian menyentuh perempuan.” (QS an-Nisa: 43),

karena yang dimaksud dengan al-mulamasah dalam ayat yang mulia ini adalah jima’ (hubungan intim), bukan sekadar menyentuh dengan tangan. Hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma terhadap ayat tersebut, di mana beliau berkata bahwa maksud firman Allah Ta’alaLamastumun-nisa” adalah “kalian telah berjima’ dengan mereka.” (Tafsir at-Thabari)

Oleh karena itu, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata tentang mencium perempuan ketika seseorang dalam keadaan berwudhu, “Aku tidak peduli apakah aku menciumnya atau mencium wangi bunga.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq)

Artinya, jika aku merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dalam mencium, maka hal itu tidak membahayakan (tidak berpengaruh terhadap wudhu), sebagaimana seseorang mencium wangi bunga dan merasa senang karenanya dan menikmati aromanya, maka wudhunya tidak batal. Demikian pula menyentuh perempuan.

Baca juga: KISAH ABU BAKR – NASIHAT YANG MENYENTUH DAN KETEGUHAN DALAM MENGHADAPI KESULITAN

Baca juga: DI ANTARA PEMBATAL WUDHU

Baca juga: MELURUSKAN SAF: MAKNA DAN HUKUMNYA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih