DI ANTARA PEMBATAL WUDHU

DI ANTARA PEMBATAL WUDHU

72. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat menunggu shalat Isya hingga kepala mereka terangguk-angguk karena mengantuk, lalu mereka tetap melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, disahihkan oleh ad-Daraquthni, dan asalnya terdapat dalam Shahih Muslim)

PENJELASAN

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Bab Pembatal Wudhu.”

Nawaqidh al-wudhu’ berarti hal-hal yang merusaknya wudhu. Para ulama rahimahullah menggunakan istilah yang beragam untuk menyebut hal-hal yang merusak. Di sini, mereka menyebutnya sebagai nawaqidh al-wudhu’ (pembatal wudhu), dalam shalat mereka menyebutnya mubthilat ash-shalah (hal-hal yang membatalkan shalat), dan dalam puasa disebut mufsidat ash-shaum (hal-hal yang membatalkan puasa). Semua istilah ini memiliki makna yang sama.

Maka, nawaqidh al-wudhu’ berarti hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu perkara-perkara yang jika terjadi, maka wudhu menjadi batal dan seseorang wajib berwudhu kembali jika hendak melaksanakan shalat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkan hal ini dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الغَائِطِ

Atau jika salah seorang di antara kalian datang dari tempat buang hajat. (QS al-Ma’idah: 6)

Ayat ini menunjukkan salah satu pembatal wudhu, yaitu sesuatu yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur), seperti kencing, tinja, madzi, wadi, kentut, serta sesuatu yang keluar dari kemaluan perempuan saat dalam keadaan suci. Segala sesuatu yang keluar dari kemaluan atau dubur maka membatalkan wudhu. Hal ini juga sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya dalam hadis Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu dalam bab mengusap khuf:

وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ

Tetapi karena buang air besar, kencing, dan tidur.”

Juga telah sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang mungkin merasakan sesuatu dalam perutnya —misalnya seperti suara gemuruh— lalu ia merasa ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau tidak. Maka beliau bersabda,

لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Janganlah ia berpaling (membatalkan shalatnya) hingga ia mendengar suara atau mencium bau.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

 

Jika kentut —yang merupakan udara yang keluar dari dubur— membatalkan wudhu, maka demikian pula segala sesuatu yang keluar dari dubur atau kemaluan, baik yang biasa terjadi maupun yang tidak biasa, maka itu membatalkan wudhu. Namun, ada pengecualian bagi orang yang mengalami inkontinensia, yaitu bahwa hadas selalu keluar darinya, maka wudhunya tidak batal. Tetapi, ia tetap harus berwudhu untuk shalat setiap kali waktu shalat masuk. Caranya, jika ia ingin shalat, maka ia harus mencuci kemaluannya terlebih dahulu, kemudian menutupinya dengan sesuatu (seperti kain atau pembalut), lalu berwudhu dan melaksanakan shalat.

Jika setelah shalat tidak ada sesuatu yang keluar hingga masuk waktu shalat berikutnya, maka wudhunya tetap berlaku. Namun, jika sesuatu keluar dari kemaluannya, maka wudhunya batal dan ia harus mengulang wudhu untuk setiap shalat pada waktunya.

Tidak ada perbedaan apakah sesuatu keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur) saat seseorang sedang tidur atau dalam keadaan terjaga, tetap membatalkan wudhu dalam segala keadaan. Karena alasan ini, tidur yang lelap membatalkan wudhu.

Tidur yang lelap adalah tidur yang membuat seseorang tenggelam di dalamnya, sehingga jika sesuatu keluar darinya, ia tidak menyadarinya. Maka, wudhunya batal. Bahkan jika kita misalkan seseorang berada di dekatnya yang dapat mendengar dan mencium bau, lalu ia berkata kepada orang yang tidur, “Aku tidak mendengar suara dan tidak mencium bau,” namun orang yang tidur ini sudah tenggelam dalam tidurnya, maka tidurnya tetap membatalkan wudhunya. Meskipun sebenarnya bisa jadi secara lahiriah ia tidak berhadas, namun yang menjadi patokan adalah keadaan dirinya sendiri. Selama ia tidak menyadari bahwa ia berhadas dalam tidur seperti itu, maka wudhunya batal.

Inilah salah satu pembatal wudhu.

Dalilnya juga adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya dalam hadits Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Tetapi karena buang air besar, kencing, dan tidur.”

Adapun tidur yang tidak terlalu lelap, maka itu tidak membatalkan wudhu meskipun berlangsung lama, baik seseorang dalam posisi berbaring, duduk, bersandar, atau berdiri dalam keadaan apa pun, selama ia mengetahui dari dirinya sendiri bahwa jika ia berhadas, ia akan merasakannya. Maka tidurnya tidak membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadis Anas radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan oleh penulis rahimahullah sebagai pembuka Bab Pembatal Wudhu. Hadis ini menunjukkan bahwa tidur memiliki rincian hukum.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat menunggu shalat Isya. Mereka hadir ke masjid, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai untuk mengakhirkan shalat Isya. Hingga suatu malam beliau keluar setelah berlalu sepertiga malam, lalu bersabda,

إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

Ini adalah waktunya, jika saja tidak memberatkan umatku.” (HR Muslim)

Maka para sahabat menunggu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka mengantuk dan kepala mereka terangguk-angguk karena kantuk. Kemudian mereka shalat tanpa berwudhu lagi.

Hadis ini menjadi dalil bahwa tidur yang tidak terlalu lelap tidak membatalkan wudhu karena seseorang masih dalam keadaan suci. Tidur itu sendiri bukan hadas yang membatalkan, tetapi hanya keadaan yang berpotensi menyebabkan hadas. Jika seseorang mengetahui bahwa jika ia berhadas ia akan merasakannya, maka tidurnya tidak membatalkan wudhu.

Di antara pembatal wudhu adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan. Jika darah itu adalah haid, maka wajib mandi. Namun, jika itu adalah darah istihadhah, maka wajib berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ ذَلِكَ دَمُ عِرْقٍ

Sesungguhnya itu adalah darah urat,”

Dan beliau memerintahkan perempuan yang mengalami istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak shalat. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur) membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak, baik yang memiliki bentuk fisik seperti kencing, tinja, dan darah, maupun yang tidak memiliki bentuk fisik seperti angin (kentut). Namun, angin yang keluar dari kemaluan perempuan tidak membatalkan wudhu, karena angin tersebut bukan berasal dari dalam perut, tetapi dari dalam kemaluan itu sendiri, sehingga tidak membatalkan wudhu. Adapun angin yang keluar dari dubur, maka itu membatalkan wudhu, karena berasal dari dalam perut, dari tempat yang mengandung najis.

Ketahuilah bahwa hukum asalnya, jika seseorang berwudhu dengan cara yang sesuai syariat, maka wudhunya tetap berlaku dan tidak batal kecuali dengan dalil syar’i. Dasar dari kaidah ini adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i tidak bisa dihapus kecuali dengan dalil syar’i pula. Maka, jika telah ditetapkan bahwa wudhu seseorang sah berdasarkan dalil syar’i, siapa pun yang mengatakan bahwa wudhunya batal, maka ia harus mendatangkan dalil syar’i sebagai buktinya.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang berkata kepadamu, “Ini membatalkan wudhu,” maka katakan kepadanya, “Mana dalilnya?”

Jika ia berkata kepadamu, “Menyentuh perempuan dengan syahwat membatalkan wudhu,” maka katakan kepadanya, “Mana dalilnya?”

Jika ia berkata kepadamu, “Muntah membatalkan wudhu,” maka katakan kepadanya, “Mana dalilnya?”

Jika ia berkata kepadamu, “Darah yang keluar dari tubuh membatalkan wudhu,” maka katakan kepadanya, “Mana dalilnya?”

Setiap kali seseorang mengatakan bahwa sesuatu membatalkan wudhu, maka tanyakan kepadanya, “Mana dalilnya?”

Jika ia mendatangkan dalil syar’i yang shahih, maka kita menerimanya. Jika tidak, maka perkataannya tertolak dan hukum asalnya tetap berlaku, yaitu wudhunya tetap sah.

Baca juga: WAJIB MENCUCI SEMUA ANGGOTA TUBUH DALAM BERWUDHU

Baca juga: WUDHU SERTA DISUNAHKAN BERSIWAK DALAM BERWUDHU

Baca juga: PEMBATAL-PEMBATAL WUDHU

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih