SIFAT SALAT NABI – MENGUCAPKAN AAMIIN

SIFAT SALAT NABI – MENGUCAPKAN AAMIIN

Imam, makmum, dan orang yang salat sendirian mengucapkan ‘Aamiin’ dalam salat jahriyyah.

Imam harus mengucapkan ‘Aamiin’ dengan keras, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ، فَأَمِّنُوا

Apabila imam mengucapkan Aamiin, maka ucapkanlah ‘Aamiin’.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Beliau mengaitkan ucapan ‘Aamiin’ makmun dengan ucapan ‘Aamiin’ imam. Jika makmum tidak mendengar suara ‘Aamiin’ imam, maka mengaitkan ucapan ‘Aamiin’ makmun dengan ucapan ‘Aamiin’ imam tidak ada gunanya, bahkan mempersulit umat Islam. Alasan lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengucapkan ‘Aamiin’ dengan suara keras, bahkan panjang.

Makmum pun demikian. Mereka mengucapkan ‘Aamiin’ dengan suara keras, seperti yang dilakukan oleh para sahabat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga masjid seolah-olah bergoncang oleh mereka. (HR Ibnu Majah) Sunah ini adalah benar adanya.

Orang yang salat sendirian, jika ia salat jahriyyah, maka ia mengucapkan ‘Aamiin’ dengan suara keras, dan jika salat sirriyyah, maka ia mengucapkannya dengan suara perlahan. Dalilnya adalah bahwa dalam salat sirriyyah seperti salat Zuhur dan Asar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengucapkan ‘Aamiin’ dengan keras. Konsekuensinya, makmum pun tidak mengucapkannya dengan suara keras dalam salat sirriyyah.

Tanya: Apa arti aamiin?

Jawab: Aamiin artinya, “Ya Allah, kabulkanlah doa kami.” Dengan demikian, maka kata aamiin adalah ism fi’il yang mengandung makna doa. Arti ism fi’il adalah kata benda yang mengandung arti kata kerja, tapi susunan hurufnya tidak.

Para ulama fikih mengatakan bahwa apabila huruf mim pada kata aamiin ditasydidkan, maka salatnya batal. Itu karena maknanya adalah kami sedang menuju sesuatu. Oleh sebab itu, mereka menegaskan haram menasydidkan huruf mim pada aamiin, bahkan salatnya batal, karena ia telah menghadirkan ucapan manusia dalam salat.

Tanya: Kapan seseorang mengucapkan ‘Aamiin’?

Jawab: Bagi imam ia mengucapkan ‘Aamiin’ susai mengucapkan, ‘Wa ladh-dhaalliin’.

Bagi orang yang salat sendirian, disyariatkan mengucapkan ‘Aamiin’ usai mengucapkan, ‘Wa ladh-dhaalliin’.

Bagi makmum, menurut sebagian ulama, disyariatkan mengucapkan ‘Aamiin’ apabila imam usai mengucapkan ‘Aamiin’. Mereka beralasan dengan makna eksplisit dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila imam mengucapkan Aamiin, maka ucapkanlah ‘Aamiin’.

Kata “Apabila imam mengucapkan ‘Aamiin’” sama artinya dengan

إِذَا كَبَّرَ، فَكَبِّرُوا

Apabila imam sudah mengucapkan takbir, maka bertakbirlah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Sudah dimaklumi bahwa kita memulai takbir sesudah imam mengucapkan takbir, sehingga makna “Apabila imam mengucapkan Aamiinadalah jika imam selesai mengucapkan ‘Aamiin’. Tapi pendapat ini lemah, karena telah diriwayatkan secara tegas dengan lafaz lain,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: ‏‏ وَلَا الضَّالِّينَ‏،‏ فَقُولُوا: آمِي

Apabila imam mengucapkan, ‘Wa ladhdhaalliin, maka ucapkanlah ‘Aamiin.” (HR al-Bukhari)

Dengan demikian, arti “Apabila imam mengucapkan ‘Aamiin’”, adalah apabila sampai kepada ayat yang seharusnya ia mengucapkan ‘Aamiin’, yaitu ‘Wa ladh-dhaalliin’, atau apabila imam mengucapkan ‘Aamiin’, maka ucapkanlah ‘Aamiin’, agar kalian mengucapkannya bersama imam.

Kadang-kadang kita mendengar sebagian jamaah mengucapkan ‘Aamiin’ sebelum imam sampai pada huruf nun pada kalimat, ‘Wa ladh-dhaalliin’. Cara itu berlawanan dengan ajaran as-Sunnah. Ia termasuk mendahului imam, karena imam belum sampai kepada batas mengucapkan ‘Aamiin’, batas di mana imam mengakhiri bacaannya, yaitu, ‘Wa ladh-dhaalliin’.

Tanya: Bila seseorang belum hafal surat al-Fatihah, apakah ia wajib mempelajarinya?

Jawab: Ya. Ia wajib mempelajarinya. Karena mengucapkan al-Fatihah hukumnya wajib. Segala sesuatu yang menentukan sempurnanya sebuah kewajiban hukumnya wajib. Seperti orang yang tidak memiliki air (untuk bersuci), ia harus mencarinya. Bila air itu dijual, maka ia wajib membelinya. Karena kewajiban al-Fatihah telah jelas, maka ia wajib mempelajari surat ini. Kalau waktunya sempit, untuk sementara ia boleh mengucapkan surat apa yang saja selain al-Fatihah yang mudah baginya, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآَنِ

Bacalah surat yang mudah dan telah engkau hafal dari alQuran.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jika tidak satu pun surat al-Qur’an dihafalnya, maka ia cukup mengucapkan, “Subhaanallah, wal-hamdulillaah, wa laa ilaaha illallaahu, wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billaah”. Hanya lima kalimat.

Tanya: Bagaimana mungkin lima kalimat itu bisa menggantikan tujuh ayat?

Jawab: Tidak ada keharusan ‘pengganti’ sama dengan yang diganti. Bukankah kita tahu bahwa memberi pakaian untuk sepuluh orang miskin dalam kafarah sumpah tidak sama dengan memberi makan sepuluh di antara mereka pada umumnya, dan juga tidak sama dengan membebaskan budak? Jadi, tidak ada keharusan ‘pengganti’ sama dengan yang diganti. Akan tetapi, para ulama fikih mengatakan bahwa apabila seseorang memiliki hafalan al-Qur’an selain al-Fatihah, maka ia wajib mengucapkannya sesuai dengan kadar surat al-Fatihah. Mereka membedakan antara mengucapkan surat dan zikir. Yakni, apabila seseorang mampu melakukan sesuatu yang sama jenisnya dengan sesuatu yang dia tidak mampu, maka sesuatu tersebut harus sama nilainya dengan yang dia tidak mampu. Lain halnya dengan pengganti murni, yang tidak harus sama. Sehingga urusannya sekarang adalah tentang mengucapkan al-Fatihah. Kalau tidak mampu mengucapkannya, maka dapat diganti dengan surat al-Qur’an yang lain. Kalau tidak mampu juga mengucapkan surat yang lain, maka dapat diganti dengan tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan hauqalah.

Tanya: Bagaimana bila tidak ada orang yang mau mengajariku al-Fatihah, kecuali dengan membayar, apakah aku juga wajib membayarnya?

Jawab: Ya. Seperti orang yang hendak berwudu, tetapi tidak mendapatkan air, kecuali dengan membelinya. Maka ia wajib membelinya.

Tanya: Apakah orang tersebut berhak meminta upah mengajarkan al-Qur’an?

Jawab: Yang benar bahwa hukumnya boleh, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah dari mengajarkan Kitabullah.” (HR al-Bukhari)

Orang yang disewa atau meminta upah di sini adalah orang yang disewa atas pekerjaan yang memberi manfaat, yaitu mengajarkan al-Qur’an. Lain halnya dengan mengambil upah dari membaca al-Qur’an, maka hukumnya tidak diperbolehkan.

Jika ada orang berkata, “Aku akan membaca surat al-Baqarah, bayarlah sekian dan sekian.” Kami katakan bahwa itu hukumnya haram. Jika ia berkata, “Aku akan mengajarkan kepadamu surat al-Baqarah dengan bayaran sekian dan sekian,” maka hukumnya diperbolehkan. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sedangkan ia tidak memiliki uang, dengan mahar mengajarkan al-Qur’an kepada calon istrinya. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI

Baca juga: MEMBACA DOA ISTIFTAH

Baca juga: TA’AWWUDZ DAN BASMALAH

Baca juga: MENGUCAPKAN AL-FATIHAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih