MEMBANGUN MASJID

MEMBANGUN MASJID

Kaum muslimin melaksanakan shalat di tempat unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti. Tempat tersebut adalah sebidang kebun kurma milik Suhail dan Sahal, dua anak yatim dari Bani an-Najjar yang saat itu berada dalam asuhan As’ad bin Zurarah. Ketika unta Rasulullah duduk, beliau bersabda, “Insya Allah, di sinilah rumah.”

Rasulullah kemudian memanggil Suhail dan Sahal untuk menawar kebun itu agar dapat dibangun masjid di atasnya. Namun, mereka berkata, “Kami justru ingin menghibahkannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam enggan menerima kebun itu sebagai hibah. Beliau lalu memanggil Bani an-Najjar. Ketika mereka datang, beliau bersabda, “Wahai Bani an-Najjar, sebutkanlah harga kebun kalian ini.”

Mereka menjawab, “Demi Allah, tidak! Kami tidak akan mengambil harganya kecuali dari Allah.”

Di lokasi yang akan dibangun masjid, terdapat kuburan orang-orang musyrik, reruntuhan bangunan, dan pohon-pohon kurma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk membongkar kuburan orang-orang musyrik, meratakan sisa-sisa reruntuhan, dan menebang pohon-pohon kurma.

Setelah itu, mereka menyusun batang-batang kurma di sisi kiblat masjid dan menata batu-batu sebagai tiang dan fondasi pintunya. Para sahabat pun mulai mengangkat batu-batu tersebut, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut mengangkatnya bersama mereka. Saat membawa batu, beliau melantunkan syair:

    Beban ini bukanlah beban dari Khaibar

    Namun beban ini lebih baik bagi Rabb kami dan lebih suci

Beliau juga berkata:

   Ya Allah, sesungguhnya ganjaran itu adalah ganjaran akhirat

   Maka sayangilah kaum Anshar dan Muhajirin

Kaum muslimin mengangkat batu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata:

   Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan akhirat

   Maka berilah pertolongan kepada kaum Anshar dan Muhajirin

Salah seorang kaum muslimin berkata:

   Jika kita duduk sementara Rasulullah bekerja

   Maka itu adalah suatu perbuatan yang menyesatkan

Ali bin Abu Thalib berkata:

   Tidaklah sama orang yang memakmurkan masjid

   yang terbiasa bangun dan duduk untuk shalat di dalamnya

   dengan orang yang tidak ingin menyentuh tanah

Dalam pembangunan masjid ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan orang-orang yang ahli di bidangnya. Beliau berkata kepada para sahabat yang turut bekerja, “Dekatkanlah al-Yamami ke tanah itu, karena sentuhannya yang terbaik di antara kalian dan adonannya yang paling kuat.”

al-Yamami berkata, “Aku mencampur tanah itu, dan tampaknya campuranku membuat Rasulullah terkagum.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah al-Hanafi ini mengurusi tanah, karena ia adalah yang paling ahli di antara kalian dalam urusan tersebut.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Dekatkanlah al-Yamami ini ke tanah, karena sesungguhnya ia adalah yang terbaik di antara kalian dalam membangun.”

Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu termasuk sahabat yang paling bersemangat dalam pembangunan masjid ini. Ketika yang lain membawa satu batu, ia membawa dua: satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Melihat hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap punggung Ammar seraya bersabda, “Wahai Ibnu Sumayyah, mereka mendapatkan satu pahala, sedangkan engkau mendapatkan dua pahala. Bekal terakhirmu adalah satu hirupan susu, dan engkau akan dibunuh oleh kelompok pemberontak.”

Hadis ini termasuk salah satu bukti kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, di kemudian hari, Ammar bin Yasir benar-benar terbunuh dalam peristiwa fitnah yang terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu ‘anhuma. Saat itu, Ammar berada di barisan Ali dan dibunuh oleh Abul Ghadiyah, salah seorang tentara Muawiyah. Ia wafat persis sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis tersebut.

Pembangunan Masjid Nabawi memakan waktu selama dua belas hari. Setelah masjid selesai dibangun, kamar-kamar untuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun didirikan dengan cara yang sama seperti pembangunan masjid.

Setelah seluruhnya rampung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pindah dari rumah Abu Ayyub al-Anshari ke tempat tinggal beliau yang baru.

Saudah bintu Zam‘ah memiliki rumah tersendiri, begitu pula Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Kedua rumah inilah yang pertama kali dibangun. Selanjutnya, rumah-rumah untuk istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dibangun secara bertahap, setiap kali beliau menikah lagi.

Rumah-rumah tersebut sangat sederhana: bangunannya rendah dan halamannya sempit. Sebagiannya terbuat dari tanah liat dan pelepah kurma, sementara yang lain disusun dari batu dengan atap dari pelepah kurma.

Setelah seluruh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, rumah-rumah itu digabungkan ke dalam bangunan Masjid Nabawi pada masa pemerintahan al-Walid bin ‘Abdul Malik.

Pada tahun pertama hijrah, disyariatkanlah adzan dengan lafaz yang kita kenal hingga kini. Saat itu, Abdullah bin Zaid bermimpi tentang lafaz-lafaz adzan. Ketika ia menyampaikan mimpinya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun memerintahkan Bilal bin Rabbah untuk mengumandangkan adzan sesuai dengan lafaz tersebut. Ketika suara adzan itu terdengar oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia segera menemui Rasulullah dan berkata bahwa ia juga mengalami mimpi yang sama seperti yang dialami oleh Abdullah bin Zaid.

Keadaan Masjid Nabawi tetap seperti saat pertama kali dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengalami perubahan selama beberapa waktu. Pada masa pemerintahan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tidak ada penambahan atau perubahan yang dilakukan.

Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau melakukan sedikit penambahan dengan mengganti tiang-tiang masjid menggunakan kayu dan memperbaiki atapnya agar terlindung dari hujan. Kemudian, pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dilakukan perubahan yang lebih besar. Ia membangun dinding masjid dengan batu berukir, begitu pula tiang-tiangnya. Atap masjid pun diganti menggunakan jenis kayu khusus yang didatangkan dari India.

Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memperingatkan agar masjid tidak dihias dengan warna merah atau kuning, karena dikhawatirkan dapat mengganggu kekhusyukan orang-orang yang sedang shalat. Sementara itu, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tidak menyukai sikap berlebihan dalam menghias masjid. Ia mencela orang-orang yang tidak memakmurkan masjid dengan shalat.

Pada awalnya, Masjid Nabawi belum memiliki mimbar untuk menyampaikan khotbah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhotbah sambil bersandar pada sebatang pohon kurma yang berada di tempat beliau shalat.

Ketika mimbar selesai dibuat dan Rasulullah berpindah ke sana untuk berkhotbah, batang kurma yang biasa beliau sandari itu merintih tersedu-sedu, seperti tangisan unta betina yang sedang bunting sepuluh bulan. Masjid Nabawi pun bergetar karena rintihannya, hingga orang-orang yang hadir ikut menangis mendengar suara tersebut.

Mendengar tangisan batang kurma itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kembali mendekatinya dan memeluknya hingga batang itu tenang, sebagaimana seorang bayi yang didiamkan oleh ibunya.

Beliau bersabda, “Batang ini menangis karena kehilangan dzikir kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya aku tidak menenangkannya, niscaya ia akan terus menangis hingga Hari Kiamat.”

Setelah itu, beliau memerintahkan agar batang kurma tersebut dikuburkan di bawah mimbar.

Peristiwa ini termasuk salah satu dari tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh indah ucapan yang disampaikan oleh al-Hasan al-Bashri rahimahullah setelah meriwayatkan hadis ini dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dengan penuh haru ia berkata, “Wahai kaum muslimin, sebatang kayu pun merintih karena rindu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka apakah tidak sepantasnya bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan beliau untuk merasakan kerinduan yang lebih dalam lagi?”

Baca sebelumnya: TIBA DI MADINAH

Baca setelahnya: MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUJAHIRIN DAN ANSHAR

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah Sirah Nabawiyah