BUMI SEBAGAI TEMPAT SUJUD DAN ALAT BERSUCI

BUMI SEBAGAI TEMPAT SUJUD DAN ALAT BERSUCI

Yang kedua: Beliau bersabda, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan sebagai alat bersuci.”

Yang menjadikan itu adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah telah menjadikan bumi sebagai tempat sujud dan alat bersuci bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya.

Maksud dari masjidan adalah tempat untuk melaksanakan shalat. Sedangkan thahuran maksudnya adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk bersuci dari hadas besar maupun kecil.

Adapun najis, maka tidak disyariatkan tayamum untuknya. Jika di pakaian seseorang atau di tubuhnya terdapat najis dan ia tidak memiliki air untuk membasuhnya, lalu ia ingin shalat, maka ia tidak boleh bertayamum (untuk menghilangkan najis tersebut). Hal ini berbeda dengan jika ia berada dalam keadaan hadas besar atau hadas kecil dan tidak menemukan air, maka ia boleh bertayamum.

Dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebagai alat bersuci” terdapat dalil bahwa tayamum menyucikan, tidak seperti pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa tayamum hanya membolehkan (shalat) namun tidak menyucikan. Bahkan tayamum adalah penyuci.

Jika kamu bertayamum untuk shalat sunah, maka shalat fardu pun boleh dikerjakan dengannya. Jika kamu bertayamum untuk suatu shalat dan tetap berada dalam keadaan suci hingga masuk waktu shalat berikutnya, maka kamu tidak perlu mengulangi tayamum; cukup dengan tayamum yang pertama selama kamu belum berhadas. Jika kamu bertayamum karena junub untuk pertama kalinya, maka jangan ulangi tayamum karena junub, kecuali jika terjadi junub yang baru. Begitu seterusnya.

Hal yang penting adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan tanah sebagai penyuci, sebagaimana air juga merupakan penyuci. Maka sesuatu yang dapat disucikan dengan air juga dapat disucikan dengan tayamum. Ini berlaku dalam hal hadas. Adapun dalam hal najis, maka tidak berlaku.

Sabdanya, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci,” inilah poin pentingnya. Umat-umat sebelum kita tidak shalat kecuali di tempat-tempat tertentu, seperti gereja, sinagoge, biara, dan semacamnya. Tetapi umat ini (umat Islam) melaksanakan shalat di mana saja di bumi ini.

Demikian pula dalam hal bersuci, dahulu umat-umat sebelum kita jika tidak menemukan air, mereka tidak shalat. Mereka menanggung shalat itu sebagai utang sampai mereka mendapatkan air, lalu mereka bersuci dengannya, kemudian mengganti shalat yang telah terlewat. Tidak diragukan bahwa ini adalah kesulitan besar. Namun umat ini —dan segala puji bagi Allah— telah Allah angkat darinya kesulitan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja mendapati waktu shalat, hendaklah ia shalat.” Tidak ada perbedaan pada jenis tanah —apakah pasir, tanah asin, berbatu, atau lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhususkan satu jenis tanah atas yang lain. Demikian pula dalam ayat yang mulia:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik.” (QS an-Nisa: 43)

Allah tidak mengkhususkan satu jenis tanah dari yang lain. Maka sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci” mengandung dua keumuman.

Keumuman pertama: Bahwa seluruh bumi adalah penyuci, yakni layak digunakan untuk bersuci dengannya. Hal ini dilakukan melalui tayamum dan mencakup seluruh permukaan bumi, baik berupa pasir, tanah liat, berbatu, kering, maupun lembap —semuanya bisa digunakan untuk tayamum. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan satu pun darinya.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan perjalanan dan bertayamum dalam perjalanan tersebut. Tanah bisa saja berupa pasir, seperti tanah yang beliau lalui ketika menuju Tabuk. Bisa saja tanah basah karena terkena hujan. Tidak satu pun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang berdebu. Yang penting adalah bahwa seluruh jenis tanah dapat digunakan untuk tayamum.

Yang menguatkan keumuman ini adalah firman Allah Ta’ala:

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik.”

Kata sha’id mencakup segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi, termasuk pasir, tanah, dan selainnya dari bagian-bagian bumi. Maka setiap permukaan bumi boleh digunakan oleh manusia untuk tayamum.

Siapa pun yang mengatakan, “Ini —misalnya— tidak sah untuk tayamum karena ia berupa pasir, kerikil, atau semisalnya,” maka kami katakan, “Bawakan dalil bahwa hal itu tidak diperbolehkan.” Jika tidak ada dalil, maka kami memiliki dalil umum dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya.

Adapun firman Allah bersifat mutlak: “Maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik.” Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersifat umum, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci.”

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Muslim: “Dan tanahnya dijadikan bagi kami sebagai alat bersuci”, dan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Dan tanah dijadikan bagiku sebagai alat bersuci”, maka ini tidak menunjukkan adanya pengkhususan. Hal itu karena menyebut sebagian individu dari sesuatu yang umum dengan hukum yang sesuai dengan yang umum tidak menunjukkan pengkhususan. Maka dikatakan, “Ini hanya penyebutan sebagian individu dari sesuatu yang umum dengan hukum yang sama dan tidak mengharuskan adanya pengkhususan.”

Adapun yang disebut sebagai pengkhususan adalah jika sebagian dari yang umum disebutkan dengan hukum yang berbeda dari yang umum, maka itu berarti mengeluarkannya dari cakupan umum. Adapun jika disebutkan dengan hukum yang sama, maka itu bukan pengkhususan.

Berdasarkan hal ini, diperbolehkan bagi seseorang untuk bertayamum dengan seluruh jenis tanah.

Adapun keumuman kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebagai tempat sujud,” yakni tempat untuk sujud dan shalat. Maka seluruh bumi sah untuk shalat di atasnya tanpa makruh, kecuali jika ada dalil yang melarang shalat di sana atau menunjukkan kemakruhan shalat di sana.

Karena itu, hukum asalnya adalah bahwa bumi merupakan tempat sujud. Siapa pun mengatakan bahwa suatu tempat tidak sah untuk shalat, maka wajib baginya mendatangkan dalil. Jika tidak, maka hukum asalnya adalah bahwa seluruh bumi adalah tempat sujud. Berdasarkan hukum asal ini, jika seseorang shalat di rumah atau tanah rampasan, maka shalatnya sah karena itu adalah bagian dari bumi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci.” Adapun tindakan merampas (ghashab) adalah urusan lain. Tidak diragukan bahwa ia berdosa karena merampas dan menguasai tanah tersebut, tetapi perbuatan tersebut tidak memengaruhi keabsahan shalat yang dilakukan di atasnya.

Demikian pula, jika seseorang shalat di dalam Ka’bah atau di Hijr Ismail, baik shalat fardhu maupun shalat sunah, maka shalatnya sah. Sebab, kedua tempat itu merupakan bagian dari bumi, maka termasuk dalam keumuman (hukum shalat di bumi).

Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat fardhu tidak sah di dalam Ka’bah. Kami katakan kepada mereka, “Justru shalat itu sah, karena Ka’bah adalah bagian dari bumi.” Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci.”

Demikian pula, sebagian orang berkata, “Shalat tidak sah di tanah yang pernah terjadi azab.” Maka kami katakan, “Justru sah, dan kami berdalil dengan hadis ini.”

Demikian pula, sebagian orang yang berkata, “Shalat tidak sah di jalan atau di jalan umum.” Kami katakan, “Justru sah, sebab jalan atau jalan umum adalah bagian dari bumi.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci.”

Demikian pula setiap permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para ulama, ketika ada seseorang yang mengatakan bahwa tidak sah shalat di suatu tempat di bumi, maka kami akan berdalil atasnya dengan keumuman ini hingga datang kepada kami dalil yang mengeluarkan tempat tertentu tersebut dari keumuman ini.

Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa shalat di tempat tertentu tidak diperbolehkan, maka kita tidak boleh shalat di sana. Contohnya adalah kuburan. Jika seseorang shalat di kuburan, maka shalatnya tidak sah —baik kuburan itu berada di belakangnya, di sebelah kanan, kiri, atau di depannya— karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menutup seluruh jalan menuju kesyirikan, dan shalat di kuburan adalah salah satu sarana yang mengarah kepada syirik.

Dikecualikan dari larangan itu adalah salat jenazah. Maka tidak mengapa melakukan shalat jenazah di pemakaman, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat atas sebuah kubur setelah jenazah dimakamkan. Juga karena shalat di kuburan ini memiliki sebab yang diketahui dan tampak serta dapat dilihat, yaitu keberadaan jenazah di hadapan orang yang shalat. Sebab, indrawi yang jelas ini melemahkan kemungkinan bahwa shalat tersebut menjadi sarana untuk menyembah kuburan.

Demikian pula termasuk tempat-tempat yang dilarang adalah kandang unta, yaitu tempat tinggal dan bermalamnya unta. Tidak sah seseorang shalat di tempat seperti itu. Adapun tempat duduk sementaranya, seperti kamu dapati bekas duduk unta di padang pasir, maka tidak mengapa shalat di sana. Namun, tempat yang menjadi tempat tinggal dan menetapnya unta, maka seseorang tidak boleh shalat di sana, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di bekas duduk unta, maksudnya di kandangnya.

Adapun kambing, maka seseorang boleh shalat di kandang kambing dan tidak mengapa, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Bolehkah aku shalat di kandang kambing?” Beliau menjawab, “Ya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Termasuk tempat-tempat yang dilarang untuk shalat adalah tempat-tempat yang najis. Maka tidak diperbolehkan shalat di tempat najis, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang Arab Badui kencing di masjid, beliau memerintahkan agar tempat itu disucikan. Masjid adalah tempat shalat dan tidak mungkin ada najis di tempat shalat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh seseorang shalat di atas sesuatu yang najis jika ia bersentuhan langsung dengan najis itu. Adapun jika tidak menyentuhnya secara langsung –seperti seseorang shalat di atas sajadah yang di ujungnya terdapat najis, tetapi ia tidak menyentuh najis itu, tidak sujud di atasnya, dan tidak duduk di atasnya– maka tidak mengapa, karena ia tidak bersentuhan langsung dengan najis itu.

Kaidahnya adalah bahwa seluruh bumi adalah tempat sujud yang boleh digunakan untuk shalat, kecuali tempat-tempat yang dalil menunjukkan bahwa shalat tidak boleh dilakukan di situ, maka kita mengikuti dalil tersebut.

Sabda beliau, “Maka siapa saja mendapati waktu shalat, hendaklah ia shalat,” maksudnya, hendaklah ia bersuci dengan tanah dan shalat di tempat itu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain,

فَعِندَهُ مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ

Maka di sisinya ada tempat sujud dan alat bersucinya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Baghdadi)

Yaitu, hendaklah ia bersuci dan shalat. Jangan ia berkata, “Aku akan menunggu sampai tiba di tempat tertentu,” atau “sampai aku mendapatkan air.” Bahkan, sejak waktu shalat diwajibkan dan waktunya telah masuk, maka kamu boleh bertayamum jika tidak ada air padamu dan shalatlah.

Oleh karena itu, para ulama berkata, “Boleh bagi seseorang yang sedang dalam perjalanan dan menyangka akan menemukan air sebelum habisnya waktu shalat untuk bertayamum di awal waktu dan melaksanakan shalat, berdasarkan keumuman sabda Nabi, ‘Siapa saja mendapati waktu shalat, hendaklah ia shalat.’” Ini termasuk orang yang didapati olehnya waktu shalat. Namun yang lebih utama adalah menunda shalat sampai akhir waktunya, jika dia berharap mendapatkan air di akhir waktu.

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa saja mendapati waktu shalat, hendaklah ia shalat” dapat diambil satu faedah, yaitu bahwa menjaga waktu shalat lebih penting daripada menjaga hal lainnya. Oleh karena itu, seseorang harus shalat pada waktunya dalam kondisi apapun, bahkan jika ia tidak mampu bertayamum ataupun berwudhu. Maka ia tetap harus shalat meskipun tanpa tayamum dan tanpa wudhu, karena waktu shalat lebih didahulukan daripada segala sesuatu.

Berdasarkan hal ini, ia shalat dalam keadaan apapun ia berada.

Baca juga: DZIKIR AGAR TERJAGA DARI MUDARAT DI BUMI DAN DI LANGIT

Baca juga: SUCI ADALAH DI ANTARA SYARAT SAH SHALAT

Baca juga: HARI KIAMAT – TANAH MAHSYAR BUKAN TANAH BUMI SEKARAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih