MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT

MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT

Dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ

Barangsiapa bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya, kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan roh dari-Nya, serta Surga itu benar adanya dan Neraka itu benar adanya, maka Allah memasukkannya ke dalam Surga sesuai amal yang dilakukannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis agung ini berisi makna syahadatain dan dua perkara penting lainnya:

1. Kesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah

Makna ‘Laa ilaaha illallah’ adalah ‘Laa ma’buda bihaqqin illallah’ (tiada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah). Kalimat ini tidak bermanfaat bagi pelakunya kecuali jika ia mengerti maknanya, melaksanakan konsekwensinya, dan terbebas dari perkara-perkara yang menafikannya.

Kalimat ‘Laa ilaaha illallah’ tidak bermanfaat kecuali bagi siapa yang mengetahui kandungan artinya, baik nafy (penafian) maupun itsbat (penetapan), meyakininya, menerimanya, dan mengamalkannya. Adapun siapa yang mengucapkannya tanpa mengetahui maknanya, tidak meyakininya, dan tidak melaksanakan konsekwensinya berupa menafikan syirik serta memurnikan ucapan dan perbuatan karena Allah semata, maka kalimat ini tidak bermanfant baginya berdasarkan ijmak. Bahkan, kalimat ini sebagai bantahan atas mereka.

Kaum musyrikin di masa lalu mengingkari ‘Laa ilaaha illallah’, baik lafal maupun maknanya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka,

قُوْلُوْا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ تُفلِحُوْا

Ucapkanlah, ‘Laa ilaaha illallah,’ maka kalian akan menang.”

Mereka berkata,

اَجَعَلَ الْاٰلِهَةَ اِلٰهًا وَّاحِدًا ۖاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan sembahan itu sembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS Shad: 5)

Kaum musyrikin di zaman sekarang mengucapkan lafalnya, tetapi mengingkari maknanya. Lihatlah oleh kalian, sebagian dari mereka mengucapkan ‘Laa ilaaha illallah’, akan tapi mereka beribadah kepada selain Allah dengan berbagai macam peribadatan. Bahkan, mereka memurnikan ibadah kepada selain Allah ketika mengalami kesusahan, sedangkan kaum musyrikin Arab di zaman dahulu beribadah hanya kepada Allah ketika mengalami kesusahan (saja). Jadi, kaum musyrikin di zaman sekarang lebih jahil daripada kaum musyrikin Arab di zaman dahulu.

Sebagian orang menyangka bahwa orang yang mengakui bahwa Allah semata Pencipta segala sesuatu adalah orang yang bertauhid, maka perkaranya tidak seperti itu. Ia tidak bertauhid hingga bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, dan bahwa Dia-lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan dipatuhi dengannya.

2. Kesaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya

Dalam hadis ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam disifati dengan dua sifat, yaitu:

Pertama: Beliau adalah hamba Allah. Beliau tidak memiliki sedikit pun sifat ketuhanan. Dalam hal ini terdapat bantahan tehadap siapa saja yang berlebih-lebihan terhadap beliau, menghadap (tawajjuh) kepada beliau dengan berdoa, memohon pertolongan, dan berbagai ibadah lainnya yang tidak patut kecuali bagi Allah Ta’ala

Kedua: Beliau adalah utusan dari sisi Allah, yang diutus oleh Allah kepada semua makhluk. Kewajiban kita adalah menaatinya. Dalam hal ini terdapat bantahan terhadap siapa saja yang tidak menaatinya dan mengikuti hawa nafsu.

Makna persaksian bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah adalah menaati apa-apa yang diperintahkannya, membenarkan apa-apa yang disampaikannya, menjauhi apa-apa yang dilarangnya, dan tidak beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan apa-apa yang disyariatkannya.

3. Kesaksian bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah, kalimat-Nya, dan roh dari-Nya

Disebutkan dalam hadis ini,

وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ

Bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan roh dari-Nya.”

Dalam hadis ini Allah Ta’ala menyifati Isa ‘alaihissalam dengan empat sifat:

Pertama: Isa adalah hamba Allah. Dalam hal ini terdapat bantahan terhadap kaum Nasrani yang menyangka bahwa Isa adalah Allah, anak Allah atau salah satu dari tiga oknum trinitas. Mahasuci Allah dari apa yang meraka katakan.

Kedua: Isa adalah utusan Allah. Dalam hal ini terdapat bantahan terhadap kaum Yahudi yang mendustakan kerasulannya dan menentangnya.

Ketiga: Kalimat-Nya yang disampaikannya kepada Maryam, yakni Allah menciptakannya dengan kata kun (jadilah), yang dikirim lewat Jibril ‘alaihissalam kepada Maryam, lalu meniupkan roh-Nya kepadanya dengan seizin-Nya.

Keempat: “Dan roh dari-Nya”. Isa adalah salah satu roh yang diciptakan Allah sebagaimana makhluk lainnya. Dinisbatkannya roh kepada Allah Ta’ala adalah sebagai bentuk pemuliaan.

4. Surga benar adanya dan Neraka benar adanya

Beriman kepada Surga dan Neraka termasuk bagian dari iman kepada Hari Akhir. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keduanya secara khusus dalam persaksian ini, karena keduanya memang ada, dan keduanya merupakan klimaks bagi kaum yang berbakti dan klimaks bagi kaum yang durhaka. Surga adalah negeri kaum yang berbakti, sedangkan Neraka adalah negeri kaum yang durhaka.

Buah persaksian terhadap keempat perkara yang disebutkan dalam hadis ini adalah masuk Surga sesuai dengan amal yang dilakukannya.

Orang yang bertauhid masuk Surga dengan salah satu dari dua hal:

Pertama: Ia bertemu Allah Ta’ala dalam keadaan terbebas dari semua dosa, lalu masuk Surga secara langsung.

Kedua: Ia bertemu Allah Ta’ala dalam keadaan masih melakukan dosa yang bukan syirik. Maka ia berada dalam masyi’ah atau kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, maka Allah memaafkannya dengan karunia-Nya dan memasukkannya ke Surga. Jika Allah menghendaki, maka Allah mengazabnya dengan keadilan-Nya, kemudian memasukkannya ke Surga.

Baca juga: TIDAK MELAMPAUI BATAS DALAM AGAMA

Baca juga: MAKNA ‘MUHAMMAD RASULULLAH’

Baca juga: GENERASI TERBAIK UMAT ISLAM

(Abdul Malik bin Muhammad al-Qasim)

Akidah