KISAH NABI IBRAHIM – AL-KHALIL

KISAH NABI IBRAHIM – AL-KHALIL

Kisah ini terjadi ribuan tahun yang lalu di Babilonia, sebuah negeri yang penduduknya menyembah berhala dan bintang. Mereka menyembah sembahan yang tidak menghalalkan maupun mengharamkan, juga tidak memperhitungkan amal. Bahkan mereka bebas melakukan segalanya, seperti berzina, mencuri, dan membunuh. Inilah yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.

Ayah Ibrahim bernama Azar, seorang pembuat dan penjual berhala. Profesi ini sangat menguntungkan pada zaman itu karena patung adalah benda yang mudah pecah, dan setiap penduduk memiliki berhala khusus, mulai dari raja hingga rakyat jelata.

Walaupun ayahnya pembuat dan penjual patung dengan omset yang sangat besar, Ibrahim tidak pernah bersujud kepada satu patung pun, tidak pernah menjual satu patung pun. Ibrahim bersih dari berhala dan kotoran, sebagaimana nabi-nabi yang lain. Itu tidak lain berkat petunjuk Allah Ta’ala: “Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun), telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia.” (QS al-Anbiya’: 51)

Ibrahim terus berpikir dan merenung. Ia bolak-balik menatap langit dan bumi. Di malam hari ia melihat sebuah bintang, lalu berkata, “Inilah Rabbku.” Tetapi ternyata bintang itu lenyap terbenam, padahal pengatur dan pencipta alam raya tidak boleh tidur, lenyap, atau jauh dari makhluknya. Siapa gerangan yang mengatur alam raya ketika pengatur tidak ada? Siapa gerangan yang memegang langit dan bumi agar tidak runtuh ketika pencipta tidak ada? Siapa gerangan yang menolong orang teraniaya dari siksaan orang-orang yang zalim? Siapa gerangan…dan seterusnya. Ibrahim kemudian berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”

al-khalil masih membolak-balikkan wajah ke langit dan ke bumi hingga ia melihat bulan terbit dengan keindahan bentuk dan cahayanya. Dia pun berkata, “Inilah Rabbku.” Tapi bulan pun terbenam dan cahayanya padam. Ibrahim berkata, “Sungguh, jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS al-An’am: 77)

Ibrahim masih bingung hingga siang pun tiba. Matahari muncul melenyapkan gelap malam, memancarkan cahaya, dan memberi kehangatan. Ukurannya besar. al-Khalil berkata, “Inilah Rabbku. Ini lebih besar.” (QS al-An’am: 78) Tetapi ketika matahari bernasib sama seperti bintang dan bulan, lenyap terbenam di ufuk langit, Ibrahim berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar. Dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS al-An’am: 78-79)

al-khalil tahu bahwa alam raya memiliki Rabb yang tidak pernah lenyap atau tidur, juga tidak mengantuk. Matahari, bulan, dan bintang adalah bagian ciptaan-Nya yang indah, sehingga tidak patut disembah. Sementara patung-patung tidak lain adalah buah karya tangan-tangan mereka. Bahkan diri mereka sendiri tidak lain adalah ciptaan Rabb, sehingga manusia wajib beribadah kepada-Nya.

Ibrahim senantiasa beribadah kepada Allah, Rabb alam semesta. Ia mencintai-Nya, hingga rasa cinta merasuk ke dalam kalbunya. Itulah mengapa Allah menyebutnya al-Khalil. Allah mencintainya karena ia mencurahkan seluruh waktunya kepada-Nya dan mencintai-Nya dengan sempurna. Khullah tidak lain adalah kesempurnaan cinta.

Ibrahim mengajak kaumnya menuju Allah dan membatalkan penyembahan terhadap berhala-berhala, setelah membatalkan penyembahan terhadap bintang. Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya?” (QS al-Anbiya’: 52)

Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (QS al-Anbiya’: 53).

Itulah ibadah warisan. Ibadah nenek moyang adalah sendau gurau, bukan sungguhan. Padahal nenek moyang mereka tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.

Ibrahim mendebat mereka dan menegakkan hujah terhadap mereka. Ia berkata, “Sesungguhnya kalian dan nenek moyang kalian berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS al-Anbiya’: 54)

Mereka berkata, “Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?” (QS al-Anbiya’: 55)

Inilah awal dialog yang indah. Ibrahim ingin memperkenalkan kepada mereka Rabb yang ia cintai. Dia berkata, “Sebenarnya Rabb kalian adalah Rabb (pemilik) langit dan bumi. (Dialah) yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu.” (QS al-Anbiya’: 56)

Bagaimana Ibrahim tidak bersaksi atas hal itu, sementara ia menyaksikan sendiri keajaiban-keajaiban langit dan bumi, melihat sendiri makhluk-makhluk saat lenyapnya, dan melihat sendiri alam raya yang tertata rapi dan sempurna yang tidak mungkin ada secara kebetulan atau pun tanpa hikmah. Semua yang ada di alam raya telah ditentukan oleh ketentuan Allah.

Mereka berkata, “Tapi, berhala-berhala inilah tuhan kami, wahai Ibrahim.”

Ibrahim kemudian melayangkan pertanyaan yang mencengangkan, “Apakah mereka mendengar kalian ketika kalian berdoa (kepadanya)? Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat atau mencelakakan kalian?” (QS asy-Syua’ra: 72-73)

Begitu mendapati mereka tetap bersikeras pada kekafiran, Ibrahim melemparkan batu terakhir di tengah air keruh mereka. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya mereka (apa yang kalian sembah) itu musuhku. Lain halnya Rabb seluruh alam, (yaitu) yang telah menciptakan aku. Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat.” (QS asy-Syua’ra: 77-82)

Betapa ini merupakan adab yang tinggi dari al-Khalil. Dia menisbatkan penyakit kepada diri sendiri meski Allah Pencipta segalanya. Ibrahim menggunakan metode seperti yang digunakan nabi-nabi lainnya dalam menyeru kaumnya kepada Allah. Mereka tidak menisbatkan apa pun kepada Allah selain yang baik-baik.

Ibrahim membungkam dan mengalahkan mereka dengan hujah. Tetapi mereka tetap bersikukuh di atas kekafiran. Ibrahim berkata, “Dan demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian setelah kalian pergi meninggalkannya.” (QS al-Anbiya’: 57)

Ibrahim bersumpah, dan sumpahnya pasti dipenuhi. Ketika seorang utusan Allah berjanji, ia pasti menepati. Ketika seorang utusan Allah bersumpah, sumpahnya pasti dipenuhi. Perjalanan hari demi hari memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang setia pada janji.

Baca susudahnya: IBRAHIM DAN AYAHNYA

Baca juga: UNTA NABI SALEH

(Dr Hamid Ahmad ath-Thahir)

Kisah