Sebagaimana durhaka kepada kedua orang tua dapat menghilangkan keutamaan, menimbulkan keburukan, bukti kebodohan, akhlak yang buruk, serta kehinaan dan kerendahan diri, durhaka kepada orang tua adalah salah satu dosa besar setelah syirik. Pelakunya akan mendapatkan azab di dunia, amalnya tidak diterima, dan kelak di akhirat akan masuk Neraka.
Seseorang dilarang keras tidak berbuat ihsan dan durhaka kepada kedua orang tua, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan sepuluh perkara kepadaku. Beliau bersabda,
لَا تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُتِلْتَ وَحُرِّقْتَ. وَلَا تَعُقَّنَّ وَالِدَيْكَ، وَإِنْ أَمَرَاكَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ أَهْلٍكَ وَمَا لِكَ
“Janganlah mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, walaupun (konsekuensinya) engkau dibunuh dan dibakar. Janganlah berbuat durhaka kepada kedua orang tua, walaupun mereka menyuruhmu pergi meninggalkan keluarga dan hartamu.” (HR Ahmad)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadis ini menegaskan bahwa kamu tidak boleh menentang kedua orang tua, walaupun mereka menyuruhmu dengan sesuatu yang berlebihan, seperti menceraikan istri atau menghibahkan harta.”
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa anak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan ayahnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan: Seseorang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan perihal bapaknya yang berutang kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيكَ
“Dirimu dan hartamu adalah milik bapakmu.” (HR Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam hadis lain Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلَادِكُمْ
“Sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari hasil usaha baik kalian, maka nikmatilah hasil usaha anak kalian itu.” (HR an-Nasa-i)
Infak seorang anak kepada orang tuanya tidak boleh menyusahkan sang anak. Jika menyusahkan, sang anak tidak wajib memberikan infak kepada orang tuanya.
Durhaka kepada kedua orang tua termasuk perbuatan yang diharamkan, sebagaimana hadis dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنْعًا، وَهَاتِ: وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan atas kalian berbuat durhaka kepada ibu, mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, melarang orang lain memberikan haknya, dan meminta sesuatu yang bukan haknya. Dan Allah membenci tiga perkara: banyak berbicara, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menyebutkan secara khusus untuk para ibu, walaupun sebetulnya durhaka kepada ayah juga tidak diperbolehkan. Hal itu karena durhaka kepada ibu lebih mudah terjadi daripada durhaka kepada ayah karena fisik ibu yang lemah. Hadis ini juga mengingatkan bahwa berbakti kepada ibu lebih didahulukan daripada berbakti kepada ayah, baik dalam berlemah-lembut dan berkasih sayang, karena apabila disebutkan salah satunya (ibu saja, misalnya), berarti berlaku bagi keduanya (ibu dan ayah). Namun, hadis ini mengkhususkan ibu sebagaimana yang telah disebutkan di awal.
Terkadang azab akibat durhaka kepada kedua orang tua diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada pelakunya di dunia, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang pelakunya mendapatkan hukuman dari Allah di dunia dan juga di akhirat daripada berbuat zalim dan memutus tali silaturahmi.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih. Durhaka kepada kedua orang tua termasuk dalam kategori memutuskan tali silaturahmi.”
Durhaka kepada kedua orang tua beragam bentuknya, di antaranya adalah mencaci kedua orang tua. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkah hal tersebut ke dalam dosa besar, sebagaimana hadis dari Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
“Sesungguhnya termasuk dosa besar adalah apabila seseorang menghina kedua orang tuanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah seseorang menghina orang tuanya sendiri?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ. وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Apabila seseorang menghina bapak orang lain sehingga orang lain itu membalas dengan menghina bapaknya. Dan ia menghina ibu orang lain, sehingga orang lain itu membalas dengan menghina ibunya.” (HR al-Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مِنْ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ
“Termasuk dosa besar apabila seseorang menghina kedua orang tuanya.”
Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang menghina kedua orang tuanya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ. وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Ada! Yaitu seseorang menghina bapak orang lain sehingga orang lain itu membalas dengan menghina bapaknya. Dan ia menghina ibu orang lain, sehingga orang lain itu membalas dengan menghina ibunya.” (HR Muslim)
Sungguh, orang yang menghina atau mencaci-maki kedua orang tuanya adalah orang yang dilaknat, berdasarkan hadis dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهُ
“Dan Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya.” (HR Muslim)
Dan hadis lain yang juga diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهُ
“Allah melaknat orang yang menghina kedua orang tuanya.” (HR Ahmad)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa durhaka kepada kedua orang tua termasuk dosa besar.
Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ
“Maukah kalian kuberitahu dosa yang paling besar?” Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Para sahabat berkata, “Tentu kami mau, ya Rasulullah.”
Beliau bersabda,
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
“Syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”
Lalu beliau duduk bersandar dan bersabda,
أَلَا، وَقَوْلُ الزُّورِ
“Ketahuilah, juga saksi palsu.”
Ia (Abu Bakrah) berkata: Nabi mengulang-ulang kalimat itu hingga kami berkata, “Semoga beliau diam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Orang yang durhaka kepada kedua orang tua termasuk ke dalam tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Ta’ala pada Hari Kiamat.
Diriwayatkan dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ. وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
“Tiga golongan manusia tidak akan dilihat oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada Hari Kiamat, yaitu (1) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, (2) perempuan yang menyerupai laki-laki, dan (3) seorang suami yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya. Dan tiga golongan manusia tidak akan masuk Surga, yaitu (1) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, (2) peminum khamar, dan (3) orang yang selalu menyebut-nyebut apa yang sudah diberikan kepada orang lain.” (HR an-Nasa-i)
Jibril ‘alaihissalam berdoa untuk orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan diamini oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar lalu berkata,
آمِيْن آمِيْن آمِيْن
“Amin, amin, amin!”
Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, ketika engkau naik ke atas mimbar, engkau berkata, ‘Amin, amin, amin!’”
Beliau menjawab,
إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَقَالَ: مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللهُ. قُلْ: آمِيْن. فَقُلْتُ: آمِيْن. وَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يَبَرَّ هُمَا فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللهُ، قُلْ: آمِيْن. فَقُلْتُ: آمِيْن. وَ مَنْ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللهُ، قُلْ: آمِيْن. فَقُلْتُ: آمِيْن
“Jibril tadi mendatangiku lalu berkata, ‘Barangsiapa berjumpa bulan Ramadhan tetapi tidak diampuni dosa-dosanya dan kelak ia masuk Neraka, maka ia akan dijauhkan dari rahmat Allah.’ Lalu Jibril menyuruhku, ‘Ucapkanlah amin,’ maka aku pun mengucapkan, ‘Amin.’ (Jibril berkata lagi), ‘Dan barangsiapa bertemu kedua orang tuanya atau salah satunya ketika masih hidup tetapi tidak berbakti kepadanya lalu meninggal dan kelak ia masuk Neraka, maka ia akan dijauhkan dari rahmat Allah.’ Lalu Jibril menyuruhku, ‘Ucapkanlah amin,’ maka aku pun mengucapkan, ‘Amin.’ (Jibril berkata lagi), ‘Dan barangsiapa tidak berselawat kepadamu ketika namamu disebutkan lalu meninggal dan kelak ia masuk Neraka, maka ia akan dijauhkan dari rahmat Allah.’ Lalu Jibril menyuruhku, ‘Ucapkanlah amin,’ maka aku pun mengucapkan, ‘Amin.’” (HR Ibnu Hibban)
Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk selalu berbuat baik kepada kedua orang tua agar mendapatkan keridaan mereka, karena hal itu merupakan kunci utama untuk mendapatkan keridaan Allah Ta’ala dan derajat tinggi di Surga. Hendaklah seorang muslim memberikan hak yang lebih besar dalam berbakti kepada ibunya, karena hak seorang ibu lebih besar daripada ayah, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa perbandingannya adalah tiga banding satu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Siapakah orang yang berhak aku perlakukan dengan baik?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أُمُّكَ
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?”
Beliau menjawab,
أُمُّكَ
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?”
Beliau menjawab,
أُمُّكَ
“Ibumu.”
Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?”
Beliau menjawab,
أَبُوكَ
“Bapakmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ (ثَلَاثًا) إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ. إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ، فَالْأَقْرَبِ
“Sesungguhnya Allah mewasiatkan agar berbuat baik kepada ibu kalian (beliau mengulangi hingga tiga kali). Sesungguhnya Allah mewasiatkan agar berbuat baik kepada bapak kalian. Sesungguhnya Allah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kerabat terdekat, lalu yang terdekat.” (HR Ibnu Majah)
Hal itu karena penderitaan seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik anak-anak melebihi kesusahan seorang ayah dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan pakaian bagi keluarga.
Perbandingan hak ibu dan ayah adalah tiga berbanding satu. Para ulama berkata, “Ibu lebih didahulukan karena ibu lebih lelah daripada ayah, lebih besar kasih sayangnya, bantuannya, menderita ketika hamil, menyusui, mendidik, membantu, merawat anaknya dan lain sebagainya. Semua itu hanya dirasakan oleh ibu, kecuali kewajiban memberikan pendidikan, yang ayah juga ikut menanggungnya.
Hal ini sudah diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, ‘Ya Rabbku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai. Dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau. Dan sungguh, aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS al-Ahqaaf: 15)
Dan firman Allah Ta’ala:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS Luqman: 14)
Oleh karena itu, hendaklah seorang anak selalu berbuat baik kepada ibunya, walaupun menjadikan dia tidak bisa mendapatkan haknya.
Dalam Kitab Musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Abu Abdirrahman as-Sulami, ia berkata: Seseorang menemui Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, lalu berkata, “Istriku adalah anak pamanku dan aku sangat mencintainya. Tetapi ibuku menyuruhku untuk menceraikannya.” Abu ad-Darda berkata, “Aku tidak menyuruhmu untuk menceraikan istrimu, dan aku juga tidak menyuruhmu untuk menentang ibumu, tetapi aku sampaikan hadis yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
إِنَّ الْوَالِدَةَ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ. فَإِنْ شِئْتَ، فَأَمْسِكْ. وَإِنْ شِئْتَ، فَدَعْ
“Sesungguhnya (berbakti kepada) ibu adalah (penyebab masuk ke) pintu Surga yang paling tengah. Jika kamu menginginkannya, maka berbuat-baiklah. Dan jika tidak, maka abaikanlah.” (HR Ahmad)
Durhaka kepada kedua orang tua menyebabkan pelakunya terkena musibah, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَجُلٌ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ يُصَلِّي. فَجَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَهَا. فَقَالَ: أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي؟ ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ الْمُومِسَاتِ. وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ لَأَفْتِنَنَّ جُرَيْجًا. فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى. فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا. فَقَالَتْ: هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ. فَأَتَوْهُ وَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ، فَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ. فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى. ثُمَّ أَتَى الْغُلَامَ فَقَالَ: مَنْ أَبُوكَ، يَا غُلَامُ؟ قَالَ: الرَّاعِي. قَالُوا: نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ. قَال:َ لَا إِلَّا مِنْ طِينٍ
“Dahulu ada seorang laki-laki Bani Israil yang bernama Juraij yang sedang melaksanakan salat. Ibunya datang memanggilnya, namun ia tidak menjawab. Ia berkata kepada dirinya, “Apakah aku menjawab panggilan ibu atau meneruskan salat?” Kemudian ibunya menghampirinya dan berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau matikan dia kecuali setelah berjumpa seorang pezina.’ Suatu hari Juraij sedang berada di tempat ibadahnya, lalu seorang wanita berkata, ‘Aku akan menggoda Juraij.’ Maka wanita itu menghampiri Juraij dan menawarkan diri untuk berzina, mamun Juraij menolak. Kemudian wanita itu menemui seorang penggembala. Ia tinggal bersama si penggembala hingga melahirkan seorang bayi. Wanita itu berkata kepada warga, ‘Ini anak Juraij.’ Maka orang-orang mendatangi Juraij dan menghancurkan tempat ibadahnya, memaksanya keluar dan memakinya. Juraij berwudu dan salat. Kemudian ia menghampiri si bayi dan bertanya, ‘Siapakah bapakmu, wahai anak?’ Bayi itu menjawab, ‘Penggembala.’ Warga berkata, ‘Kami akan bangun kembali tempat ibadahmu dari emas.’ Juraij berkata, ‘Tidak! Bangunlah dari tanah liat saja.’ (HR al-Bukhari)
Azab durhaka kepada kedua orang tua sangat pedih. Hukumannya adalah kehinaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ , أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah. Lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” (QS Muhammad: 22-23)
Termasuk ke dalam durhaka kepada kedua orang tua adalah memutuskan hubungan kekeluargaan, bahkan seorang ibu mempunyai hubungan yang kuat bagi kerabat yang dekat maupun yang jauh. Kerabat dekat dinamakan ulil arham, yang dinisbatkan kepada rahim ibu. Kuat atau lemahnya hubungan anak dengan kerabatnya, bergantung kepada kedekatan mereka dengan ibu. Ancaman bagi orang yang durhaka kepada kedua orang tua adalah tidak mendapatkan rahmat Allah yang sangat luas dan tidak memasuki Surga yang seluas langit dan bumi.
Diriwayatkan dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ. وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
“Tiga golongan manusia tidak akan dilihat Allah ‘Azza wa Jalla pada Hari Kiamat, yaitu (1) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, (2) wanita yang menyerupai laki-laki, dan (3) seorang suami yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap istrinya. Dan tiga golongan manusia tidak akan masuk Surga, yaitu (1) orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, (2) peminum khamar, dan (3) orang yang selalu menyebut-nyebut apa yang sudah diberikan kepada orang lain.” (HR an-Nasa-i)
Baca juga: BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Baca juga: KEUTAMAAN BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA
Baca juga: ORANG YANG MENDAPATI ORANG TUANYA DI USIA TUA TETAPI TIDAK MASUK SURGA
(Prof Dr Falih bin Muhammad bin Falih ash-Shughayyir)