CARA MENYUCIKAN TANAH DARI NAJIS

CARA MENYUCIKAN TANAH DARI NAJIS

14. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang Arab Badui datang lalu kencing di salah satu sudut masjid. Orang-orang pun menegurnya, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka (menegurnya dan menyuruhnya berhenti). Setelah dia selesai kencingnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil seember air, lalu disiramkan di atasnya.” (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram pada Bab Air menyebutkan hadis-hadis terkait topik ini, di antaranya dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Seorang Arab Badui datang lalu kencing di sudut masjid.”

Arab Badui (al-A’rabiyy) adalah penduduk padang pasir. Secara umum, kaum Arab Badui kurang mengetahui hukum-hukum agama karena mereka tidak tinggal di kota atau desa untuk mempelajari aturan-aturan yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka termasuk golongan orang-orang yang jahil (tidak mengetahui).

Kemudian dia masuk ke Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang memiliki lapangan luas. Dia berjalan melewati beberapa tempat dan mulai kencing. Orang-orang pun menegurnya dengan keras, menyuruhnya berhenti karena kencing dapat menajiskan masjid, yang harus dijaga dari najis. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan bersabda,

لَا تُزرِمُوهُ

Jangan kalian hentikan dia.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Maksudnya, jangan memotong kencingnya. Biarkan dia menyelesaikannya. Setelah dia selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya di tempat tersebut.

Kata “ad-dzanub” merujuk pada ember yang penuh. “Lalu disiramkan di atasnya” berarti dituangkan di atas tempat tersebut. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil orang Arab Badui itu dan berkata kepadanya,

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنَ الْأَذَى أَوِ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِلصَّلَاةِ وَالتَّكْبِيرِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ.

Sesungguhnya masjid-masjid tidak layak terdapat sesuatu yang najis atau kotor di dalamnya. Masjid hanya diperuntukkan untuk shalat, bertakbir, membaca al-Qur’an, dan berdzikir.” (HR Muslim)

Atau sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setelah itu, orang Arab Badui tersebut berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad saja, dan jangan rahmati siapa pun selain kami.” (HR al-Bukhari)

Dia berkata demikian karena para sahabat sebelumnya menegurnya dan memarahinya. Sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepadanya dengan lembut, menjelaskan hukum syariat dengan cara yang membuatnya merasa tenang.

Faedah Hadis

Di antara faedah hadis ini:

1. Orang yang jahil (tidak tahu), jika melakukan sesuatu yang haram, maka dia dimaafkan karena ketidaktahuannya, dan tidak ditegur atau dicela atas perbuatannya tersebut, karena tidak ada dosa baginya. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS al-Baqarah: 286)

Maka Allah berfirman:

قَدْ فَعَلْتَ

Aku telah melakukannya.” (HR Muslim)

2. Orang yang jahil tidak diperlakukan sebagaimana orang yang berilmu dalam percakapan, melainkan dilayani dengan kelembutan. Hal ini karena Arab Badui tersebut mengira area masjid seperti padang pasir, tempat seseorang biasa buang air kecil, sehingga ia tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah masalah.

3. Umumnya orang yang hidup di padang pasir memiliki tingkat kebodohan yang tinggi. Demikian pula dengan mereka yang berada dalam kondisi seperti orang Badui, yaitu orang-orang yang tidak menghadiri majelis ilmu dan tidak bergaul dengan para ulama. Akibatnya, kebodohan tetap melekat pada diri mereka.

4. Mengajarkan orang yang jahil merupakan sebuah kewajiban. Kesalahan yang dilakukannya tidak patut dicela, melainkan harus diluruskan dengan pengajaran. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil orang tersebut, mengajarinya, dan menjelaskan bahwa masjid tidak boleh terdapat sesuatu yang mengandung najis atau kotoran di dalamnya. Sebaliknya, masjid harus dijaga kebersihannya dan disucikan.

5. Wajib untuk segera mengingkari kemungkaran, sebagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dengan sigap mengingkari kemungkaran tersebut dan menegurnya dengan tegas.

6. Jika kemungkaran tidak dapat dihilangkan kecuali dengan mendatangkan mudarat yang lebih besar, maka kemungkaran tersebut tidak diingkari, melainkan dibiarkan hingga waktu yang tepat untuk mengingkarinya. Dalilnya adalah tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang para sahabat menghentikan kencing orang Arab Badui itu. Penjelasannya, kerusakan akibat kencing tersebut sudah terjadi, dan menghentikannya saat itu justru akan membahayakan orang tersebut. Jika kencing tertahan di tengah desakan yang kuat, hal itu dapat memengaruhi saluran kemihnya dan menimbulkan bahaya.

Di dalam peristiwa tersebut terdapat pelajaran penting: jika orang Arab Badui itu dihentikan secara paksa, ada kemungkinan pakaian dan pahanya akan tercemar, atau bahkan masjid akan tercemar dengan najis yang lebih banyak akibat air kencing yang tersebar. Ketika kemungkaran, seperti kencing di masjid, jika dihentikan secara paksa justru akan menimbulkan dampak yang lebih besar, maka termasuk hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah membiarkan orang Arab Badui tersebut menyelesaikan kencingnya terlebih dahulu. Setelah itu, kerusakan yang ditimbulkan diatasi dengan membersihkan najis tersebut.

7. Sebaiknya seseorang segera membersihkan najis tanpa menundanya. Salah satu tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah segera membersihkan najis ketika terjadi. Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang anak kecil yang masih menyusu dan belum makan makanan dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anak itu kencing di pangkuan beliau, dan beliau segera meminta air lalu menuangkannya di atas kencing tersebut. Jika seseorang menunda mencuci dan membersihkan najis, ada kemungkinan ia lupa melakukannya, yang dapat menyebabkan kewajiban mengulangi shalat atau mengurangi kesempurnaan shalat. Oleh karena itu, lebih utama untuk segera membersihkan dan menyucikan najis.

8. Tanah menjadi suci ketika air dituangkan langsung di atasnya, tanpa perlu membuat batasan tertentu di sekitarnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang dahulu, yang membatasi area tersebut untuk menciptakan genangan air. Sebaliknya, cukup dengan menuangkan air langsung pada tempat najis tersebut, maka tanah akan menjadi suci. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk membuat batas khusus pada tempat najis.

9. Najis di atas tanah tidak mensyaratkan jumlah tertentu dalam pembersihannya, cukup dengan menuangkan air sekali untuk menyucikannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menuangkan air pada tempat kencing tersebut tanpa memberikan perintah untuk mengulanginya.

Apabila najis berada di atas tanah dan memiliki wujud fisik, seperti kotoran, darah, atau yang serupa, maka wujud najis tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum tempatnya dicuci. Namun, jika najis tersebut tidak memiliki wujud fisik, seperti air kencing yang meresap ke dalam tanah, maka tidak perlu menghilangkan tanah yang menyerapnya. Cukup dengan menuangkan air di atasnya, karena air mampu menyucikannya.

10. Kencing manusia adalah najis. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyucikan tanah dari najis tersebut, dan hal ini sudah menjadi ketetapan syariat. Bahkan, terdapat ancaman bagi orang yang tidak menjaga diri dan bersuci dari kencingnya, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut, in sya Allah Ta’ala. (HR Muslim)

11. Salah satu syarat sahnya shalat adalah kesucian tempat. Karena masjid merupakan tempat untuk melaksanakan shalat, maka kesuciannya menjadi keharusan. Jika kesucian tempat tidak disyaratkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk menyiramkan satu ember air pada tempat kencing tersebut.

12. Tidak diperbolehkan membiarkan najis di dalam masjid, demikian pula tidak diperbolehkan membiarkan sampah di masjid, meskipun sampah tersebut suci. Hal ini karena masjid harus dijaga dari segala sesuatu yang mengganggu kebersihan dan kesucian. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةَ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ

Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, bahkan hingga sebutir kotoran kecil yang dikeluarkan seseorang dari masjid.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Artinya, bahkan hal yang kecil sekalipun, jika seseorang mengeluarkannya dari masjid, ia mendapatkan pahala.

13. Membersihkan masjid termasuk fardhu kifayah, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siramlah dengan air di atas kencingnya.” Dalam perintah ini, beliau tidak mengarahkan kepada semua orang, tetapi hanya memerintahkan agar najis tersebut dibersihkan. Oleh karena itu, kewajiban ini termasuk fardhu kifayah. Jika sudah dilaksanakan oleh seseorang, baik petugas yang ditunjuk maupun bukan, kewajiban ini dianggap selesai. Namun, jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban tersebut berpindah kepada setiap orang yang mengetahui adanya najis, sehingga mereka harus membersihkannya sendiri atau menunjuk seseorang untuk melakukannya.

14. Wajib bagi kita untuk membersihkan lantai masjid dari najis, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar lantai masjid disucikan. Selain itu, dianjurkan pula membersihkannya dari hal-hal yang mengganggu, meskipun bukan berupa najis. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku, bahkan hingga sebutir kotoran kecil yang dikeluarkan seseorang dari masjid.”

15. Keindahan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajar dan kebijaksanaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendidik. Orang yang jahil diberi perlakuan sesuai dengan kondisinya. Nabi tidak menegurnya dengan kasar, tidak mencelanya, dan tidak menunjukkan wajah masam, tetapi berbicara dengan lembut.

16. Keindahan cara mengajar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat ketika beliau menjelaskan bahwa masjid tidak layak digunakan untuk hal-hal yang mengganggu atau mengotori. Masjid didirikan sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, untuk shalat, berdzikir, dan membaca al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

17. Tidak diperbolehkan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan urusan dunia di dalam masjid. Hal ini mencakup larangan menjual atau membeli, mengumumkan barang hilang, serta melakukan pekerjaan untuk mencari penghasilan di dalamnya. Jika seseorang, misalnya, bekerja sebagai penjahit yang menjahit atau memperbaiki pakaian di masjid, maka perbuatan tersebut haram. Sebab, masjid tidak dibangun untuk kepentingan duniawi, tetapi sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Kesimpulannya, penulis rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam Kitab Thaharah karena alasan-alasan berikut: kencing adalah najis, masjid harus disucikan, dan tanah dapat disucikan dengan menuangkan air yang cukup di atasnya.

Baca juga: HUKUM NAJIS JIKA BERUBAH MENJADI BENTUK LAIN

Baca juga: HUKUM KENCING DAN KOTORAN MANUSIA

Baca juga: SIKSA KUBUR BAGI PENGADU DOMBA DAN ORANG YANG ENGGAN BERSUCI

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih