Pada musim haji berikutnya, yaitu tahun ketiga belas kenabian, serombongan besar kaum muslimin Madinah datang ke Makkah untuk melaksanakan haji. Mereka bergabung bersama jamaah haji lain dari Madinah dalam jumlah besar yang dipimpin oleh al-Bara’ bin Ma’rur.
Kaum muslimin dari kalangan Anshar ini saling bertanya satu sama lain, sampai kapan mereka membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah sementara beliau terus dikejar-kejar di pegunungan Makkah dalam keadaan ketakutan.
Mereka berkomunikasi secara rahasia dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menentukan waktu dan tempat pertemuan. Dalam pertemuan itu mereka akan membuat kesepakatan yang lebih besar dan akan menjadi kesepakatan terpenting dalam sejarah Islam.
Mereka berjanji bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Aqabah pada satu hari dari hari-hari tasyriq.
Di malam yang telah dijanjikan, mereka tidur bersama kaum mereka di tempat peristirahatan mereka. Ketika malam telah melewati dua pertiganya, mereka pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berjalan mengendap-endap hingga berkumpul di sebuah lembah di Aqabah. Mereka terdiri dari tujuh puluh tiga laki-laki dan dua perempuan, yaitu Nasibah binti Ka’ab (Ummu Umarah) dan Asma’ binti Amru bin Adi (Ummu Mani’).
Mereka berkumpul di lembah tersebut menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau datang bersama pamannya al-Abbas bin Abdul Muththalib yang saat itu masih memeluk agama kaumnya. al-Abbas hadir ingin memastikan pertemuan itu.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk, al-Abbas berkata, “Wahai orang-orang Khazraj (orang-orang Arab menamakan perkampungan Anshar dengan al-Khazraj, baik yang dari Khazraj sendiri maupun yang dari Aus), sesungguhnya Muhammad adalah bagian dari kami, sebagaimana kalian ketahui. Kami melindunginya dari kaum kami, dari orang-orang yang berpendapat sama dengan kami tentangnya. Oleh karena itu, ia berada dalam perlindungan kaumnya dan jaminan keamanan di negerinya. Namun ia lebih suka bergabung dan bersama dengan kalian. Jika kalian yakin dengan apa yang akan kalian janjikan kepadanya dan melindunginya dari orang-orang yang menentangnya, maka kalian akan menanggung apa yang kalian janjikan. Sesungguhnya ia berada dalam perlindungan dan jaminan keamanan kaumnya.”
Kaum muslimin Anshar berkata, “Kami telah mendengar apa yang engkau katakan. Berbicaralah wahai Rasulullah! Ambillah untukmu dan untuk Rabbmu apa yang engkau sukai.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-Qur’an, menyeru mereka kepada Allah, dan memotivasi mereka untuk masuk Islam.
Beliau berkata, “Aku mengambil baiat kalian untuk melindungiku, sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian.”
al-Barra’ bin Ma’rur memegang tangan beliau dan berkata, “Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi, kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi keluarga kami. Baiatlah kami, wahai Rasulullah. Demi Allah, kami ahli berperang dan ahli persenjataan yang kami warisi dari generasi ke generasi.”
Ketika al-Barra’ sedang berbicara kepada Rasulullah, ucapannya dipotong oleh Abul Haitsam bin at-Tayyihan yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki ikatan dengan orang-orang Yahudi yang akan kami putus. Jika kami melakukannya dan kemudian Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata, “Tidak! Darah(ku) bersama darah (kalian). Kehormatan(ku) adalah kehormatan (kalian). Jadi, aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku. Aku memerangi orang-orang yang kalian perangi dan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai dengannya.”
Setelah menyepakati syarat-syarat baiat dan sebelum melaksanakannya, dua orang Anshar yang telah masuk Islam pada musim haji tahun kesebelas dan keduabelas kenabian, yaitu al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah dan Asad bin Zurarah menjelaskan kepada kaumnya hakikat dan besarnya konsekwensi dari baiat ini agar mereka dapat melakukan baiat berdasarkan ilmu dan keyakinan yang penuh, sekaligus mengetahui dan memastikan kesiapan orang-orang Anshar untuk berjihad dan menggapai syahid.
al-Abbas bin Nadhlah berkata, “Apakah kalian mengetahui, atas apa kalian membaiat orang ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
al-Abbas bin Nadhlah berkata, “Sesungguhnya kalian membaiatnya untuk memerangi orang-orang kulit merah dan kulit hitam. Jika nantinya kalian merasa harta kalian habis karena musibah dan para pemimpin kalian terbunuh, kemudian kalian menyerahkannya, maka hendaklah kalian melakukannya dari sekarang, karena hal itu, demi Allah, merupakan kehinaan di dunia dan di akhirat. Tetapi, jika kalian merasa bahwa kalian akan menepati apa yang kalian janjikan kepadanya berupa pengorbanan harta dan para pemimpin kalian, maka lakukanlah baiat ini, karena sesungguhnya itu merupakan kebaikan di dunia dan di akhirat.”
Mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan melakukan baiat dengan mengorbankan harta dan para pemimpin kami. Apa yang akan menjadi milik kami, wahai Rasulullah jika kami menepati baiat?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Surga.”
Mereka berkata, “Ulurkan tanganmu!”
Beliau mengulurkan tangannya dan mereka pun membaiat kepada beliau.
Ketika orang-orang bangkit untuk melakukan baiat, As’ad bin Zurarah berkata, “Perlahan-lahanlah, wahai penduduk Yatsrib! Sesungguhnya kita tidak sedang melecut punggung unta untuk menemuinya, melainkan karena kita mengetahui bahwa ia adalah Rasulullah, dan bahwa mengeluarkannya pada hari ini berarti meninggalkan orang-orang Arab secara keseluruhan, membunuh orang-orang terbaik dari kalian, dan pedang-pedang akan menggigit kalian. Jika kalian bisa bersabar menghadapi itu, maka ambillah ia, dan pahala kalian ada di sisi Allah. Namun jika kalian khawatir akan diri kalian, maka tinggalkanlah ia, karena itu lebih bisa diterima di sisi Allah.”
Mereka berkata, “Wahai As’ad, jauhkanlah tanganmu dari kami! Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan baiat ini dan kami tidak akan menyia-nyiakannya.”
Ketika As’ad telah yakin akan sikap kaumnya, ia meletakkan tangannya di atas tangan Rasulullah −yakni menyalaminya−, kemudian diikuti oleh yang lain satu persatu untuk membaiat kepada Rasulullah yang menjanjikan Surga bagi yang menepatinya.
Tentang cara baiat dua perempuan yang hadir di sana, orang-orang mengira bahwa mereka membaiat kepada Rasulullah dengan bersalaman. Itu tidak benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersalaman dengan perempuan. Beliau hanya mengambil janji mereka. Ketika mereka telah menyatakannya, beliau berkata, “Pergilah! Sesungguhnya kalian telah melakukan baiat.”
Setelah pembaiatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pilihlah untukku dua belas orang naqib (pemimpin) kalian untuk menjadi pemimpin bagi kaumnya.”
Mereka memilih dua belas orang: sembilan dari Khazraj, tiga dari Aus. Mereka adalah: Ubadah bin ash-Shamit, al-Barra’ bin Ma’rur, Abdullah bin Rawahah, Sa’ad bin ar-Rabi’, Abu Umamah As’ad bin Zurarah, Sa’ad bin Ubadah, al-Mundzir bin Amru, Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Khaitsamah, Abdullah bin Haram, Rafi’ bin Malik dan Abul Haitsam bin at-Tayyahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para naqib, “Kalian bertanggung jawab atas kaum kalian dalam menjamin mereka, sebagaimana para hawariyyin bertanggung jawab menjamin Isa bin Maryam. Dan aku adalah penjamin bagi kaumku −yakni kaum muslimin−.”
Baca sebelumnya: BAIAT AQABAH PERTAMA
Baca setelahnya: ISI BAIAT AQABAH KEDUA
(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)