Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ
“Tidak seorang pun dari kalian diselamatkan oleh amalnya.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ، سَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَاغْدُوا وَرُوحُوا، وَشَىْءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ. وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
“Tidak juga aku. Hanya saja Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku. Oleh karena itu, beramallah kalian sesuai sunah, dan berlaku–imbanglah. Berangkatlah di pagi hari dan sore hari, dan (lakukanlah) sedikit waktu (untuk salat) di malam hari. Pertengahanlah, pertengahanlah, niscaya kalian akan sampai.” (HR al-Bukhari)
PENJELASAN
Hadis ini mengandung dasar-dasar agama yang agung. Di antaranya adalah bahwa amal semata tidak cukup menyelamatkan seseorang dari azab Allah Ta’ala dan beruntung mendapatkan Surga-Nya. Akan tetapi, ia sangat membutuhkan rahmat Allah Ta’ala dan ampunan-Nya.
Sebagian salaf berkata, “Mereka selamat dari Neraka karena ampunan. Mereka masuk Surga karena rahmat Allah. Mereka terpaut dalam hal derajat selaras dengan amal.”
Jika ada yang berkata, “Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kalian karena amal yang telah kalian kerjakan.” (QS az-Zukhruf: 72)
dan Allah Ta’ala berfirman:
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu,’” (QS al-Haqqah: 24)
maka jawabannya adalah bahwa huruf ba’ yang berfungsi menafikan dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (لَنْ يَدْ خُلُ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ) “Seseorang tidak akan masuk Surga karena amalnya,” adalah huruf ba’ pengganti dan perbandingan. Sebesar apapun amal seseorang, amal itu tidak akan cukup menyelamatkannya dari azab Allah dan beruntung meraih Surga-Nya, meskipun amal itu adalah amal yang paling utama, yaitu amal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana suatu amal sebanding dengan Surga Allah Ta’ala, sedangkan Surga adalah kekal dan merupakan nikmat yang paling besar. Berapa lama seorang mukmin hidup di dunia hingga amalnya sebanding dengan Surga Allah? Oleh karena itu, tidak ada amal yang sebanding dengan Surga.
Adapun ba’ dalam firman Allah Ta’ala, (بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ) “Karena perbuatan yang telah kalian kerjakan,” (QS az-Zukhruf: 72), dan firman-Nya, (بِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ) “Karena amal yang telah kalian kerjakan pada hari-hari yang telah lalu,” (QS al-Haqqah: 24) adalah ba’ as-sabab. Maksudnya, amal saleh merupakan penyebab seseorang masuk Surga dan selamat dari Neraka. Penyebab tidak berdiri sendiri, melainkan harus dari rahmat Allah Ta’ala dan ampunan-Nya.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadis ini terdapat dalil bagi ahli kebenaran bahwa seseorang tidak berhak mendapat pahala dan Surga karena ketaatannya. Adapun firman Allah Ta’ala:
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
‘Masuklah ke dalam Surga karena apa yang telah kalian kerjakan.’ (QS an-Nahl: 32)
dan firman-Nya:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
‘Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kalian karena perbuatan yang telah kalian kerjakan.’ (QS az-Zukhruf: 72) serta ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa amal memasukkan seseorang ke dalam Surga, maka ayat-ayat tersebut tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas. Makna ayat-ayat tersebut adalah bahwa seseorang masuk Surga dengan sebab amalnya, petunjuk untuk beramal, dan hidayah untuk beramal dengan ikhlas dan menerimanya dengan rahmat Allah dan keutamaan-Nya. Dengan demikian, benarlah bahwa dia tidak masuk Surga dengan sekadar amal yang ia kerjakan. Demikianlah maksud hadis-hadis di atas. Dan benar kiranya bahwa dia masuk Surga dengan amal -maksudnya dengan sebabnya-. Demikian itu termasuk rahmat Allah. Wallahu a’lam.”
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala:
اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَۗ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيَقْتُلُوْنَ وَيُقْتَلُوْنَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ وَالْقُرْاٰنِۗ وَمَنْ اَوْفٰى بِعَهْدِهٖ مِنَ اللّٰهِ فَاسْتَبْشِرُوْا بِبَيْعِكُمُ الَّذِيْ بَايَعْتُمْ بِهٖۗ وَذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka, dengan memberikan Surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kalian lakukan itu. Dan demikian itulah kemenangan yang agung,” (QS at-Taubah: 111)
maka kita katakan bahwa Allah Ta’ala mengajak hamba-hamba-Nya berbicara dengan sesuatu yang mereka mengenalnya antar sesama mereka. Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai penjual, sebagaimana Dia menjadikan mereka sebagai orang yang meminjamkan dalam firman-Nya:
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, Allah melipat–gandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki). Dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah: 245)
Padahal pihak yang meminjamkan adalah pihak yang membutuhkan, sementara Allah Ta’ala adalah Mahakaya, dan selain Allah adalah fakir terhadap-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ
“Wahai manusia, kalianlah yang memerlukan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Mahaterpuji.” (QS Fathir: 15)
Tatkala pinjaman dikembalikan untuk kali kedua kepada pemiliknya, sedangkan sedekah kembali kepada pemberinya dengan melimpah di akhirat, Allah Ta’ala menamakan hal itu dengan pinjaman, padahal itu tidak menyerupai pinjaman dalam segala sisi. Demikian pula di sini, Allah Ta’ala memotivasi para hamba untuk mengerahkan jiwa mereka demi Allah dengan sesuatu yang mereka mengenalnya antara sesama mereka, dengan menjadikan mereka sebagai penjual terhadap diri mereka, padahal tidak menyerupai jual beli secara persis.
Bagaimana menjadikan Surga sebagai harga untuk amal saleh, sedangkan amal saleh dan petunjuk merupakan nikmat dari Allah Ta’ala?
al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Manakala mewujudkan pandangan, Surga dan amal merupakan keutamaan dari Allah Ta’ala dan rahmat atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Karena itulah para penduduk Surga berkata ketika memasukinya:
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدٰىنَا لِهٰذَاۗ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَآ اَنْ هَدٰىنَا اللّٰهُ ۚ لَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukan kami ke (Surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang membawa kebenaran.” (QS al-A’raf: 43)
Manakala mereka mengakui nikmat Allah Ta’ala atas mereka berupa Surga dan sebab-sebabnya berupa hidayah, mereka memuji Allah Ta’ala atas itu semua. Mereka diberi imbalan berupa panggilan:
اَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
“Itulah Surga yang telah diwariskan kepada kalian, karena apa yang telah kalian kerjakan.” (QS al-A’raf: 43)
Allah Ta’ala menyukai para hamba yang menisbatkan keutamaan kepada-Nya, segala puji untuk-Nya, dan menisbatkan aib dan dosa kepada diri mereka sendiri. Bilamana penduduk Surga mengucapkan perkataan yang Allah Ta’ala menyukainya, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukan kami ke (Surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang membawa kebenaran.” (QS al-A’raf: 43), jawabnya adalah “Itulah Surga yang telah diwariskan kepada kalian, karena apa yang telah kalian kerjakan.” (QS al-A’raf: 43) Allah Ta’ala memuji mereka dengan amal mereka.
Sebagian salaf berkata, “Seorang hamba bila berdosa lalu berkata, ‘Wahai Rabb-ku, Engkau telah menetapkan (hal ini) atasku.’ Rabb-nya membalas, ‘Engkau telah berbuat dosa dan maksiat.’ Jika ia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah berbuat salah dan dosa.’ Rabb-nya menjawab, ‘Aku telah menetapkan itu atasmu dan telah menakdirkannya. Dan Aku akan mengampunimu.’”
Di antara kandungan hadis ini adalah pelipat-gandaan kebaikan yang tidak terjadi melainkan karena keutamaan Allah Ta’ala dan rahmat-Nya. Pengampunan dosa dan kesalahan terwujud dengan pengampunan Allah Ta’ala. Jika Allah Ta’ala menghendaki seorang hamba mendapatkan rahmat, maka Allah akan mengaruniakannya berbagai kenikmatan, mengampuni segala kesalahannya, dan melipatgandakan seluruh kebaikannya. Sekiranya tersisa satu kebaikan saja baginya, niscaya Allah Ta’ala melipat-gandakan kebaikan itu hingga dia masuk Surga. Jika Allah Ta’ala menghendaki seorang hamba sengsara, maka Dia akan menghisab orang itu atas seluruh nikmat yang Allah karuniakan kepadanya. Apakah ia telah memenuhi hak nikmat-nikmat Allah dengan mensyukurinya? Amal-amal baik seorang hamba tidak dapat memenuhi hak sebagian nikmat Allah Ta’ala atas hambanya sehingga nikmat tersebut masih tersisa tanpa terpenuhi haknya. Ditambah lagi dosa-dosa dan kezaliman. Dalam keadaan demikian seorang hamba pasti celaka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ عُذِّبَ
“Barangsiapa yang perhitungan amalnya dipersulit, maka dia akan diazab.”
Dan dalam riwayat lain,
مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
“Barangsiapa yang perhitungan amalnya dipersulit, maka dia akan celaka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Jika Allah Ta’ala menghendaki seorang hamba selamat, maka Dia memperlakukannya dengan keutamaan-Nya. Bila Allah menghendaki seorang hamba binasa, maka Dia memperlakukannya dengan keadilan-Nya.
Sebagian salaf berkata, “Bila keutamaan Allah dibentangkan, maka tidak tersisa bagi seorang pun kejelekannya. Bila datang keadilan-Nya, maka tidak tersisa bagi seorang pun kebaikannya.” Dengan demikian amal semata tidaklah menyelamatkan seseorang dari azab Allah dan beruntung mendapat Surga-Nya.
Dahulu Dawud ath-Tha’i bersungguh-sungguh dalam beribadah dan beramal saleh hingga Muharib bin Dutsar berkata, “Sekiranya Dawud hidup di zaman umat-umat terdahulu, niscaya Allah Ta’ala menceritakan kisahnya kepada kita.”
Ketika Dawud ath-Tha’i meninggal dunia, selepas pemakamannya Ibnu as-Sammak berdiri sambil memujinya dengan kesalehan amalnya. Lalu Ibnu as-Sammak menangis. Orang-orang pun ikut menangis dan membenarkan perkataannya. Mereka menjadi saksi atas pujian Ibnu as-Sammak kepada Dawud ath-Tha’i. Oleh karena itu, Abu Bakr an-Nahsyali berdiri seraya berkata, “Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah dia. Janganlah Engkau jadikan dia bersandar pada amalnya.”
Bagaimana pun amal seorang hamba, jika dipasrahkan kepada dirinya, niscaya dia celaka.
Allah Ta’ala berfirman:
فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS Ali Imran: 195)
Iman, hijrah, jihad dan mati syahid tidak cukup hingga Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan hamba dan memasukkan mereka ke dalam Surga. Tidak ada jalan lain untuk mereka kecuali ampunan Allah Ta’ala dan rahmat-Nya.
Sebagian salaf berkata, “Akhirat adalah antara ampunan Allah dan Neraka, sedangkan dunia adalah antara perlindungan Allah atau kebinasaan.”
Dahulu Muhammad bin Wasi’ meninggalkan para sahabatnya ketika ajal menjemputnya dengan berkata, “Alaikumussalam, ke Neraka atau ampunan Allah.”
Ketika amal merupakan sebab yang mengantarkan kepada rahmat Allah Ta’ala, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saddiduu wa qaaribuu.”
Maksud dari as-sadaad adalah tengah-tengah dalam beribadah, sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak diragukan bahwa petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk dan yang paling baik, sebagaimana yang selalu beliau ucapkan dalam khotbahnya,
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah (al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)
Dengan demikian, as-sadaad adalah engkau mengambil petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tepat dalam menjalankan petunjuk dan sunahnya tidak mungkin dilakukan, maka hendaklah kalian mendekatkan diri kepada petunjuk yang penuh berkah itu.
Baca juga: MEREALISASIKAN TAUHID MENYEBABKAN MASUK SURGA TANPA HISAB
Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL
Baca juga: BERKEMBANGNYA ILMU DAN TEKNOLOGI MERUPAKAN BERKAH PENGAJARAN DARI ALLAH
(Syekh Dr Ahmad Farid)