Allah Ta’ala berfirman:
اِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّكُمْ فُرْقَانًا وَّيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ
“Jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapus segala kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS al-Anfal: 29)
Pada ayat ini terdapat tiga faedah yang agung:
Faedah pertama: “Dia akan memberikan kepadamu furqan.”
Maksudnya, Allah menjadikan untuk kalian kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, serta antara yang membahayakan dan yang bermanfaat. Hal ini mencakup ilmu, di mana Allah membuka pintu-pintu ilmu bagi seseorang yang tidak dibukakan untuk orang lain.
Dengan ketakwaan, seseorang dapat memperoleh tambahan petunjuk, ilmu, dan hafalan. Oleh karena itu, disebutkan dari Imam Syafi’i rahimahullah bahwa dia pernah berkata, ” Aku mengadukan kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku. Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Ia memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat dosa.”
Tidak diragukan lagi, semakin bertambah ilmu seseorang, semakin bertambah pula pengetahuannya. Bersamaan dengan itu, kemampuannya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, serta antara yang merugikan dan yang bermanfaat, juga akan meningkat. Hal ini mencakup apa yang Allah bukakan bagi seseorang berupa pemahaman. Sebab, ketakwaan adalah sebab bagi kekuatan pemahaman. Dengan kekuatan pemahaman inilah, seseorang dapat memperoleh tambahan ilmu.
Kamu akan melihat dua orang yang sama-sama menghafal satu ayat dari Kitab Allah. Salah satunya mampu menggali tiga hukum darinya, sementara yang lainnya mampu menggali empat, lima, sepuluh, atau bahkan lebih, sesuai dengan tingkat pemahaman yang Allah karuniakan kepadanya.
Ketakwaan adalah sebab bertambahnya pemahaman, dan di antara hal yang termasuk dalam pemahaman ini adalah firasat. Allah memberikan kepada orang yang bertakwa firasat yang dengannya ia dapat membedakan, bahkan di antara sesama manusia. Dengan hanya melihat seseorang, ia dapat mengetahui apakah orang tersebut seorang pendusta atau jujur, atau apakah dia orang yang saleh atau fasik. Bahkan, ia mungkin dapat menilai seseorang tanpa pernah berinteraksi dengannya atau mengetahui apa pun tentangnya, semata-mata karena firasat yang Allah karuniakan kepadanya.
Termasuk dalam hal ini adalah apa yang diberikan kepada orang-orang yang bertakwa berupa karamah-karamah yang tidak diberikan kepada orang lain. Di antaranya adalah kejadian-kejadian luar biasa yang dialami oleh banyak sahabat dan tabi’in, radhiyallahu ‘anhum.
Suatu hari, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu sedang menyampaikan khotbah di atas mimbar di Madinah. Di tengah-tengah khotbahnya, tiba-tiba dia berkata, “Wahai Sariyah, ke gunung! Wahai Sariyah, ke gunung!” Para jamaah pun merasa heran, bertanya-tanya kepada siapa beliau berbicara dan mengapa beliau mengucapkan hal itu di tengah khotbah.
Ternyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlihatkan kepada Umar tentang keadaan pasukan muslim di Irak yang dipimpin oleh Sariyah bin Zunaim. Musuh saat itu telah mengepung pasukan tersebut. Allah memperlihatkan situasi itu kepada Umar, seakan-akan beliau melihatnya secara langsung. Maka, Umar pun berkata kepada komandannya, “Wahai Sariyah, ke gunung!” Maksudnya adalah agar pasukan berlindung di gunung untuk menyelamatkan diri dari kepungan musuh.
Sariyah, sang komandan, mendengar perintah tersebut meskipun dia berada di Irak, jauh dari tempat Umar berada. Lalu, dia segera memimpin pasukannya untuk berlindung di gunung sesuai dengan arahan tersebut.
Ini termasuk bagian dari ketakwaan, karena seluruh karamah yang diberikan kepada para wali merupakan balasan atas ketakwaan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Yang penting adalah bahwa salah satu dampak dari ketakwaan adalah Allah Ta’ala menganugerahkan kepada orang-orang yang bertakwa kemampuan membedakan (furqan). Dengan furqan tersebut, mereka mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang saleh dan yang fasik, serta berbagai hal lainnya yang tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertakwa.
Faedah kedua: “Menghapus segala kesalahan.”
Penghapusan dosa dilakukan melalui amal-amal saleh, karena amal saleh memiliki kemampuan untuk menghapus dosa-dosa. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jumat ke Jumat berikutnya, dan dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR Muslim)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا
“Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Maka, penghapusan dosa dilakukan melalui amal-amal saleh. Hal ini menunjukkan bahwa jika seseorang bertakwa kepada Allah, Allah akan memudahkan baginya untuk melaksanakan amal-amal saleh yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.
Faedah ketiga: “Mengampuni (dosa-dosa).”
Maksudnya adalah bahwa Allah memudahkan kalian untuk beristighfar dan bertobat. Sesungguhnya, ini merupakan salah satu nikmat dari Allah kepada hamba-Nya, yaitu memudahkan mereka untuk beristighfar dan bertobat.
Di antara ujian bagi seorang hamba adalah ketika dia mengira bahwa dosa-dosa yang dia lakukan bukanlah dosa, sehingga dia terus melakukannya –wal ‘iyadzubillah–. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah, ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi: 103-104)
Banyak orang tidak meninggalkan dosa karena dosa tersebut telah dihiasi baginya –wal ‘iyadzubillah–, sehingga dia terbiasa dengannya dan merasa sulit untuk melepaskan diri dari dosa itu. Namun, jika dia bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah akan memudahkannya untuk meninggalkan dosa-dosanya hingga Allah mengampuninya. Bahkan, bisa jadi Allah mengampuni dosa-dosanya karena ketakwaannya, sehingga ketakwaannya menjadi penebus bagi kesalahan-kesalahannya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para sahabat yang ikut dalam Perang Badar radhiyallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ، فَقَدْ غَفَرْتُ
“Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dosa-dosa mereka diampuni karena apa yang telah mereka capai dalam peperangan tersebut, yaitu berupa pahala yang sangat besar.
Firman Allah Ta’ala:
وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.” (QS al-Anfal: 29)
Maksudnya, Allah adalah Pemilik karunia yang agung, yang tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi atau menyamai-Nya. Jika Allah memiliki sifat ini, maka mintalah karunia tersebut kepada-Nya, Mahasuci dan Mahatinggi Dia, dengan cara bertakwa dan kembali kepada-Nya.
Dan Allah Mahamengetahui.
Baca juga: DOA AGAR DIJADIKAN PEMIMPIN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
Baca juga: ORANG PALING MULIA, ORANG PALING BERTAKWA
Baca juga: PENYEBAB DOSA KECIL MENJADI BESAR
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)