Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa ampunan dari dosa besar yang sudah tidak lagi dikerjakan dan tidak diiringi dengan yang semisalnya lebih bisa diharapkan daripada dosa kecil yang biasa dilakukan.” Perumpamaannya seperti tetes-tetes air yang jatuh terus menerus di atas batu. Tetes-tetes itu dapat menimbulkan bekas pada batu tersebut. Seandainya tetes-tetes air itu dikumpulkan untuk dituangkan sekaligus, tentu air tersebut tidak menimbulkan bekas apa-apa. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ
“Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara kontinyu walaupun sedikit.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Di antara penyebab dosa kecil menjadi besar adalah sebagai berikut:
1. Menganggap kecil sebuah dosa
Setiap kali dosa dianggap besar oleh seseorang, ia akan menjadi kecil di sisi Allah. Setiap kali dosa dianggap kecil, ia menjadi besar di sisi Allah. Orang yang menganggap besar sebuah dosa hatinya akan menjauh dan membenci dosa tersebut.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika melihat dosa-dosanya, orang mukmin merasa dirinya berada di kaki gunung. Ia takut gunung itu runtuh menimpanya. Sebaliknya, orang fajir melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu berkata, ‘Ah, cuma segini!’” (HR al-Bukhari dan at-Tirmidzi)
2. Tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan penghormatan terhadap kemuliaan-Nya
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah tidak memiliki pengetahuan tentang Allah dan penghormatan terhadap kemuliaan-Nya. Orang yang menyadari keagungan siapa yang didurhakainya akan melihat dosa kecil sebagai dosa besar. Begitu pula sebaliknya.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh kalian telah melakukan suatu perbuatan yang di mata kalian lebih kecil dan lebih lembut daripada rambut, padahal di masa Rasulullah kami menganggapnya sebagai dosa yang membinasakan.” (HR al-Bukhari dan Ahmad)
Bilal bin Saad berkata, “Janganlah kamu melihat kecilnya dosa, akan tetapi lihatlah keagungan siapa yang kamu durhakai.”
3. Gembira dan bangga telah berbuat dosa kecil
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah gembira dan bangga telah melakukan dosa kecil, seperti ucapan seseorang “Lihatlah, bagaimana kurobek-robek kehormatan si Fulan dan kubeberkan kejelekannya hingga ia malu” atau “Lihatlah, bagaimana kujual laris barang dagangan yang palsu ini serta bagaimana kuperdaya dan kutipu para pembeli,” dan yang semisalnya.
4. Meremehkan satr (tabir) Allah, kemurahan dan penundaan siksa-Nya
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah meremehkan tabir Allah dan penundaan siksa-Nya. Pelaku maksiat tidak menyadari bahwa penundaan siksa bisa jadi merupakan bukti kemurkaan Allah dengan memberikan kesempatan baginya untuk menambah dosa.
5. Melakukan kemaksiatan lalu menyebutkannya di hadapan orang lain
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah melakukan kemaksiatan lalu menyebutkannya di hadapan orang lain.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ. وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا. وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ. وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan diampuni dosanya, kecuali para mujahirin (orang-orang yang terang-terangan menampakkan dosanya). Di antara perbuatan mujaharah (menampakkan dosa) adalah seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, padahal (perbuatannya) itu telah ditutupi oleh Allah. Di pagi harinya ia berkata, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu,’ padahal ia telah melalui malam dengan ditabiri Rabbnya. Tapi pagi harinya ia malah menyingkap tabir Allah itu dari dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
6. Kedudukan pelaku maksiat sebagai ulama panutan
Jika sebuah dosa dilakukan oleh seorang ulama, maka dosanya lebih besar dibandingkan bukan ulama. Ulama mesti berhati-hati dalam bergaul dengan penguasa dan orang zalim. Di antara kebiasaan penguasa adalah memakai pakaian dari sutra, dan di antara kejahatan orang zalim adalah membuka aib orang lain demi kepentingan dirinya. Jika ulama yang bergaul dengan mereka tidak mengingkari perbuatan mereka dan tidak menasihatinya, bahkan terlibat dalam kemaksiatan itu, maka kemana pun ia melangkah dosa-dosanya akan selalu mengiringinya. Setelah mati, kejelekannya akan tetap ada, kemudian menyebar di dunia.
Alangkah beruntungnya orang mati yang dosanya turut mati bersamanya.
Dalam sebuah hadis disebutkan,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa menghidupkan perbuatan buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakan setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)
Dengan demikian, seorang ulama harus meninggalkan perbuatan dosa dan merahasiakan dosa jika terlanjur melakukannya.
Dosa ulama berlipatganda jika melakukan kemaksiatan. Pahalanya pun berlipatganda jika melakukan kebajikan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang istri-istri Nabi:
يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ مَنْ يَّأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُّضٰعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِۗ وَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا؛ وَمَنْ يَّقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَآ اَجْرَهَا مَرَّتَيْنِۙ وَاَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيْمًا
“Wahai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Yang demikian itu mudah bagi Allah. Barangsiapa di antara kalian tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebajikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rezeki yang mulia baginya.” (QS al-Ahzab: 30-31).
7. Kemuliaan waktu
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah melakukan dosa kecil di waktu yang dimuliakan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada lagi keperluan Allah walaupun ia meninggalkan makan dan minum (puasa).” (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Sekalipun perkataan dan perbuatan dusta haram di waktu kapanpun, namun pengharamannya semakin kuat di waktu-waktu yang mulia, seperti bulan Ramadan. Ibnu Hazm rahimahullah menegaskan bahwa puasa seseorang akan rusak akibat perbuatan maksiat yang ia lakukan dengan sengaja dan dalam keadaan sadar.
8. Kemuliaan tempat
Di antara penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah melakukan dosa kecil di tempat yang dimuliakan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُّرِدْ فِيْهِ بِاِلْحَادٍۢ بِظُلْمٍ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ
“…Dan barangsiapa bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya Kami akan menimpakan sebagian siksa yang pedih kepadanya.” (QS al-Hajj: 25)
Sebagian ulama berkata bahwa siapa pun yang ingin bermaksiat di Tanah Haram, maka Allah akan langsung mengazabnya. Dahulu orang-orang kafir memuliakan Makkah al-Mukaramah. Kemudian Makkah bertambah mulia dan menjadi tanah suci dengan datangnya Islam. Dahulu para sahabat sangat berhati-hati jika tinggal di Tanah Haram, karena kemaksiatan yang dilakukan di sana lebih besar dosanya.
9. Tidak ada rasa takut kepada Allah
Ibnu Abi al-’Izz berkata, “Terkadang dosa besar yang dilakukan disertai rasa malu, takut dan menganggapnya kesalahan besar akan menjadi dosa kecil. Sebaliknya, dosa kecil yang dilakukan tanpa diiringi rasa malu, tidak peduli, tidak takut dan meremehkannya akan menjadi besar.”
Perkara ini bermuara di dalam hati, yakni sesuatu yang lebih dari sekadar perbuatan. Manusia mengetahui hal itu dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Tambahan:
Terkadang dosa orang yang memiliki banyak kebaikan diampuni, sedangkan dosa orang selainnya tidak diampuni.
Dasarnya adalah kisah Hatib bin Abi Balta’ah sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى مَنْ شَهِدَأَهْلِ بَدْرًا، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Sesungguhnya ia turut dalam perang Badar. Tahukah engkau bahwa Allah telah mengetahui perihal ahli Badar, lalu berfirman, ‘Berbuatlah sesuka kalian. Aku telah mengampuni kalian.’” (HR al-Bukhari)
10. Saat dorongan untuk berbuat dosa lemah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ: شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Ada tiga golongan yang Allah tidak mengajaknya berbicara pada Hari Kiamat, tidak menyucikannya, dan bagi mereka azab yang pedih: orang tua yang berzina, penguasa yang berdusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim)
al-Qadhi Iyadh rahimahullah menjelaskan, “Sebabnya adalah mereka berbuat dosa padahal mereka jauh dari godaan untuk melakukannya; tidak ada desakan kuat pada diri mereka untuk berbuat dosa. Siapapun tidak boleh berbuat dosa jika tidak ada desakan atau dorongan kuat untuk melakukannya. Oleh karena itu, perbuatan mereka itu serupa dengan pembangkangan dan penghinaan terhadap hak Allah. Mereka tidak memiliki alasan untuk bermaksiat selain untuk melanggar larangan Allah.”
Orang tua yang dianugerahi kesempurnaan akal dan ilmu memiliki dorongan syahwat dan hasrat yang lemah terhadap lawan jenis. Dia pun memiliki penyaluran yang halal. Kapan pun ia bisa menyalurkan hasratnya kepada istrinya. Lalu, bagaimana mungkin ia berzina? Sementara itu, dorongan zina pada pemuda disebabkan oleh matangnya libido, sedikitnya ilmu, kuatnya syahwat, mudanya usia, dan tidak adanya sarana untuk menyalurkan hasrat tersebut.
Demikian pula seorang imam (penguasa). Tak seorang pun dari rakyatnya ia takuti, sebab manusia umumnya berbohong kepada orang yang ia takuti atau ia mintai manfaatnya. Apabila sebab-sebab berbohong dan berpura-pura tidak ia miliki, mengapa ia mesti berbohong kepada rakyatnya?
Begitu pula orang miskin yang tidak memiliki harta. Kita tahu bahwa penyebab utama kesombongan, takabur, dan merasa lebih dari orang lain adalah kekayaan dunia. Apabila sebab-sebab kesombongan tidak ia miliki, mengapa ia mesti sombong dan menghina orang lain?
Maka, perbuatan orang tua yang berzina, penguasa yang berbohong, dan orang miskin yang sombong tidak lain adalah dalam rangka meremehkan hak-hak Allah. Wallahu a’lam.
Baca juga: AMALAN PENGHAPUS DOSA KECIL DAN DOSA BESAR
Baca juga: AMALAN PENGHAPUS DOSA KECIL, TIDAK DOSA BESAR
Baca juga: DOA UNTUK MENGAKHIRI MAJELIS
(Syaikh Dr Ahmad Farid)