Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan kesalahan umatku karena aku: ketidaksengajaan, kelupaan, dan keterpaksaan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
PENJELASAN
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي) “Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan kesalahan umatku karena aku.”
Huruf ‘lam’ di sini berfungsi sebagai alasan. Artinya, Allah Ta’ala memaafkan kesalahan umatku karena aku. Kesalahan yang dimaafkan oleh Allah adalah kesalahan yang sifatnya ketidaksengajaan, kelupaan, dan keterpaksaan.
Ketidaksengajaan adalah perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja.
Kelupaan adalah ketidaksadaran terhadap sesuatu yang sebelumnya sudah diketahui.
Keterpaksaan adalah perbuatan haram yang dipaksakan pada seseorang yang tidak bisa ia elakkan.
Ketiga uzur ini disebutkan pula dalam al-Qur’an.
Terkait ketidaksengajaan dan kelupaan, Allah Ta’ala berfirman:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS al-Baqarah: 286)
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu jika kalian khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hati kalian.” (QS al-Ahzab: 5)
Terkait keterpaksaan, Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِهٖٓ اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah ia beriman, (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman. (Ia tidak berdosa). Tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS an-Nahl: 106)
Allah Ta’ala tidak memberlakukan putusan kafir pada orang yang dipaksa. Berarti perbuatan-perbuatan lain yang tingkatannya lebih rendah dari kekafiran tentu lebih dimaafkan oleh Allah.
Faedah Hadis
1️⃣ Keluasan rahmat Allah Ta’ala dan kelembutan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memaafkan kesalahan yang mereka lakukan dalam tiga bentuk tersebut. Jika berkehendak, Allah tentu menghukum siapa pun yang menyelisihi perintah-Nya dalam kondisi apa pun.
2️⃣ Larangan-larangan yang terkait dengan ibadah atau selain ibadah, jika tidak sengaja dilakukan, lupa atau dipaksa, tidak berefek hukum apa pun pada pelakunya untuk hal-hal yang berkenaan dengan hak Allah. Adapun melakukan larangan yang berkenaan dengan hak manusia tidak ditolelir dari sisi pertanggungjawaban, meskipun dosanya dimaafkan. Dengan demikian, hukum semua larangan tidak berlaku dengan tiga uzur ini (tidak sengaja, lupa, dan dipaksa). Seolah-olah ia tidak pernah melakukannya tanpa terkecuali.
Larangan yang berkenaan dengan hak Allah
Contoh ketidaksengajaan: Mengira boleh berbicara, seseorang berbicara saat salat. Dalam hal ini, salatnya tidak batal karena ia tidak tahu dan kesalahannya dilakukan tanpa sengaja. Terdapat nas terkait contoh ini.
Suatu ketika Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallahu ‘anhu salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mendengar seseorang bersin lalu memuji Allah. Mu’awiyah pun mengucapkan, “Yarhamukallah.” Orang-orang menatap Mu’awiyah dengan tatapan mengingkari. Mu’awiyah berkata, “Celakalah ibuku! Kenapa kalian memelototiku?” Orang-orang pun menepuk-nepuk paha sendiri agar Mu’awiyah diam.
Setelah salat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kasih sayang dan kelembutan terhadap orang-orang yang beriman memanggilnya.
Mu’awiyah berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusannya. Sungguh, aku belum pernah melihat seorang guru yang paling baik dalam mengajar melebihi beliau. Beliau tidak membenci, membentak, atau memukulku. Beliau hanya berkata,
إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya di dalam salat ini tidak patut ada percakapan manusia, karena salat hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.” (HR Muslim)
Sisi dalil dari hadis ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Mu’awiyah mengulang salat. Andai wajib diulang, beliau pasti memerintahkannya, seperti beliau memerintahkan orang yang salat tidak tuma’ninah untuk mengulangi salatnya.
Contoh kelupaan: Ketika sedang salat, seseorang mendengar pintu rumahnya diketuk. Karena tidak sadar ia sedang salat, ia berkata, “Silakan masuk!” Dalam hal ini, salatnya tidak batal, karena ia lupa dan tidak sengaja.
Contoh keterpaksaan: Seseorang dipaksa untuk makan pada siang hari bulan Ramadan, lalu ia makan. Karena dipaksa, maka puasanya tidak batal.
Dalam hal ini, disyaratkan bahwa orang yang memaksa mampu melakukan paksakan. Jika ia tidak mampu, maka hal itu bukan paksaan. Misalnya, seseorang mengancam dengan berkata, “Hai fulan, makanlah kurma ini! Jika tidak, aku akan memukulmu.” Akan tetapi, ia adalah orang yang lebih lemah dari orang yang dipaksa, dan orang yang dipaksa dapat meraihnya dengan satu tangan lalu membantingnya. Hal seperti ini bukan paksaan, karena orang yang dipaksa mampu menghindari ancaman orang yang memaksa.
Contoh-contoh lain: Seseorang berbuka puasa karena mengira matahari sudah terbenam. Tetapi ternyata matahari belum terbenam. Seseorang berbuka puasa begitu mendengar azan yang dikiranya untuk wilayahnya. Tetapi ternyata azan itu bukan untuk wilayahnya dan di wilayahnya waktu azan belum masuk. Pada kedua kasus ini mereka tidak wajib mengkada puasa, karena mereka tidak tahu. Kalau mereka tahu bahwa matahari belum terbenam atau waktu azan di wilayahnya belum masuk, tentu mereka tidak berbuka puasa.
Ada nas terkait contoh ini. Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa orang-orang berbuka puasa di sore hari yang mendung di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu matahari terlihat. (HR al-Bukhari) Artinya, mereka berbuka puasa sebelum matahari terbenam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk mengkada puasa. Seandainya wajib dikada, tentu beliau memerintahkannya, karena selaku utusan Allah, beliau berkewajiban menyampaikannya. Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengkada, berarti hal itu termasuk bagian dari syariat. Jika merupakan bagian dari syariat, hal itu tentu terjaga dan riwayatnya sampai ke kita. Tetapi ternyata tidak seperti itu. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak wajib mengkada puasa tersebut.
Sebagian ulama berpendapat wajib mengkada, berdasarkan perkataan sebagian ulama. Sikap kami dalam hal ini, adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kalian beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” ( QS an-Nisa’: 59)
Dan firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ
“Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS asy-Syura: 10).
Putusannya ada pada Allah Ta’ala, bukan pada manusia manapun.
Nas lain terkait contoh ini adalah tentang seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Ia berkata, “Wahai, Rasulullah, celaka aku!”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
مَا لَكَ
“Ada apa denganmu?”
Ia berkata, “Aku berhubungan badan dengan istriku, padahal aku sedang berpuasa.” (Dalam riwayat lain, “Aku berhubungan badan dengan istriku di bulan Ramadan.”)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا
“Apakah kamu memiliki budak yang dapat dimerdekakan?”
Ia menjawab, “Tidak!”
Beliau bertanya,
فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
“Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Beliau bertanya lagi,
فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا
“Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?”
Ia menjawab, “Tidak.”
Rasulullah terdiam. Lalu beliau diberi satu ‘irq kurma.
Beliau bertanya,
أَيْنَ السَّائِلُ
“Mana orang yang bertanya tadi?”
Ia menjawab, “Aku.”
Beliau berkata,
خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ
“Ambillah kurma ini dan sedekahkanlah!”
Orang itu berkata, “Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada di dua ujung kota Madinah ini satu keluarga pun yang lebih fakir dari keluargaku.”
Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai gigi taringnya kelihatan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Sedekahkanlah kepada keluargamu!” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ahmad. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Kesimpulan dari hadis ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kafarat bagi orang tersebut, meski ia tidak tahu adanya kafarat atas pelanggaran yang ia lakukan.
Contoh lain: Seseorang yang hidup di negara non muslim masuk Islam. Ia berzina karena mengira berzina diperbolehkan. Dalam hal ini, ia tidak dihukum karena tidak tahu bahwa zina adalah haram dan ia pun baru masuk Islam. Ucapannya di depan hakim dapat diterima. Tetapi, jika seseorang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin dan mengaku tidak tahu bahwa zina adalah haram, maka ucapannya tidak dapat diterima. Ia harus dihukum.
Contoh lain: Seseorang berzina dan tahu bahwa zina adalah haram, tetapi tidak tahu bahwa hukum zina bagi orang yang sudah pernah menikah adalah dirajam. Ia berkata, “Seandainya aku tahu hukumannya dirajam, tentu aku tidak berzina.” Dalam hal ini, ia tetap dihukum rajam. Ketidaktahuan akan risiko dari suatu perbuatan bukanlah uzur. Uzur hanya berlaku jika seseorang tidak mengetahui hukum.
Larangan yang berkenaan dengan hak manusia
Terkait larangan yang berkenaan dengan hak manusia, tanggung jawabnya tidak gugur meskipun dosanya dimaafkan.
Contoh: Seseorang menangkap seekor kambing orang lain karena mengira kambing itu miliknya. Ia menyembelihnya dan memakan dagingnya. Setelah itu ia sadar bahwa kambing itu milik orang lain. Dalam hal ini, ia harus bertanggungjawab, karena berkaitan dengan hak sesama manusia. Pada dasarnya hak-hak manusia tidak mengenal toleransi, meski pelaku tidak berdosa karena tidak sengaja mengambil barang milik orang lain.
Contoh lain: Seseorang dipaksa membunuh orang lain. Orang yang memaksa berkata, “Bunuhlah fulan atau kau kubunuh.” Orang yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya. Orang yang dipaksa pun akhirnya membunuh fulan. Dalam hal ini, pembunuh yang dipaksa membunuh harus dihukum mati, karena paksaan tidak ditolelir dalam hak sesama manusia.
Jika si pelaku berkata, “Aku yakin, jika aku tidak membunuh fulan, orang yang memaksaku pasti membunuhku,” maka kami katakan, “Apakah kamu berhak mempertahankan hidup dengan cara membunuh orang lain?” Tentu tidak. Karena itu, jika pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tidak dihindari, maka kami tentu tidak bisa menghindar untuk memberlakukan hukum kisas sesuai tuntutan syariat Islam.
Contoh lain: Seorang yang kuat dan kekar memegang orang yang sudah balig dan berakal. Kemudian ia melempar orang itu ke tubuh orang ketiga hingga orang ketiga mati. Dalam hal ini, orang yang dipegang dan dilempar tidak bertanggung jawab atas kematian orang ketiga, karena ia bukan pelakunya. Ia hanya alat bagi orang yang kuat dan kekar untuk membunuh orang ketiga. Hukum kisas hanya terjadi pada orang yang kuat dan kekar.
Perintah yang berkenaan dengan hak Allah
Hadis dari Ibnu Abbas ini berlaku secara umum untuk setiap larangan yang berkenaan dengan hak Allah. Adapun hak-hak Allah yang berupa perintah, maka semuanya harus dikerjakan dan dikada, tidak gugur dengan apa pun (meskipun tidak sengaja, lupa atau dipaksa). Hanya saja, dosanya gugur jika pelaksanaannya ditunda karena uzur.
Contoh: Seseorang memakan daging unta setelah wudu. Ia tidak tahu bahwa memakan daging unta membatalkan wudu. Ia salat setelah makan daging unta. Dalam hal ini, ia harus mengulang wudu dan salat lagi. Kewajiban dapat dilakukan kembali karena ketidaktahuan. Berbeda dengan larangan yang tidak dapat diralat, karena sudah dikerjakan. Oleh karena itu, kami katakan bahwa, jika seseorang meninggalkan kewajiban, maka ia harus mengerjakannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْنَسِيَهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa tertidur (hingga tidak) salat atau lupa, maka kerjakanlah (salat itu) saat teringat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaklumi penundaan salat karena tidur atau lupa, tetapi tidak memaklumi kada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengkada.
Terkait ketidaktahuan, dalilnya adalah tentang orang yang salat secara tidak tuma’ninah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang laki-laki masuk masjid dan salat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sudut masjid. Setelah salat, laki-laki itu mendatangi Nabi dan memberi salam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembali dan salaatlah, sebab engkau belum melakukan salat.”
Orang itu mengulangi salatnya dan (setelah itu) mengucapkan salam (kepada Nabi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi kepadanya,
لَهُ ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah dan salatlah, sebab engkau belum melakukan salat.”
Pada kali ketiga, orang itu berkata, “Ajarilah aku salat!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ، فَكَبِّرْ وَاقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ وَتَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika engkau hendak salat, berwudulah dengan sempurna, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, dan bacalah al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau rukuk dengan tenang, kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri dengan tenang, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga engkau duduk dengan tenang, kemudian sujudlah hingga engkau sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga engkau berdiri dengan tenang, kemudian lakukanlah semua itu dalam semua salatmu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ketidaktahuan di sini tidak dapat ditolerir, karena salat hukumnya wajib. Kewajiban dapat dilakukan kembali meskipun sebelumnya tidak mengetahui.
Tanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang itu untuk mengulang salat-salat sebelumnya, meskipun secara tegas orang itu mengatakan bahwa seperti itulah salat yang ia lakukan sehingga ia minta agar Rasulullah mengajarkannya salat. Bagaimana jawabannya, sementara kamu mengatakan bahwa kewajiban-kewajiban tidak gugur karena ketidaktahuan, meski dosanya dimaafkan, tetapi ia tetap harus mengerjakannya secara kada?
Jawab: Ulama berbeda pendapat tentang hal ini; apakah kewajiban-kewajiban gugur karena ketidaktahuan secara mutlak ataukah gugur bagi yang tidak lalai saja?
Secara zahir kewajiban-kewajiban gugur karena ketidaktahuan, jika waktu tidak memungkinkan. Ini diperkuat oleh hadis yang kami sebut di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang itu untuk mengkada salat-salat sebelumnya. Beliau hanya memerintahkan mengulang salat yang itu saja, karena salat-salat sebelumnya tidak mungkin dikerjakan kembali. Salat yang itu dituntut untuk dikerjakan kembali, karena waktunya masih ada.
Dari keterangan di atas dapat diambil faedah penting lain bahwa kebanyakan orang Arab pedalaman tidak mengetahui bahwa gadis yang telah haid wajib berpuasa meskipun usianya masih sangat muda. Mereka mengira bahwa seorang perempuan diwajibkan berpuasa apabila telah menginjak usia 15 tahun, meski sudah haid sejak usia 11 tahun misalnya. Itu berarti ia tidak berpuasa selama lima tahun. Jika kasusnya demikian, apakah ia wajib mengkada puasa?
Jawabannya adalah ia tidak wajib mengkada, karena ia tidak tahu dan tidak lalai. Di lingkungannya tidak ada orang yang dapat memberi penjelasan tentang hal itu. Selain itu, pihak keluarga juga berkata, “Kamu masih kecil, belum wajib berpuasa.” Demikian pula halnya dalam masalah salat
Orang-orang seperti ini dimaafkan, karena secara umum kewajiban-kewajiban tidak dibebankan melainkan dengan adanya ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS al-Isra’: 15)
Adapun orang yang lalai harus mengkada kewajiban-kewajiban yang ditinggalkanya. Misalnya, seorang awam berkata kepada temannya yang sama-sama awam, “Wahai fulan, kamu wajib melakukan itu.” Temannya menjawab, “Itu tidak wajib.” Ia berkata, “Tanyakanlah kepada ulama.” Temannya menolak dengan berkata, “Aku tidak mau bertanya kepada ulama, karena Allah Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian bertanya (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian (justru) menyusahkan kalian.’ (QS al-Ma’idah: 101)
Kita katakan bahwa orang seperti ini telah lalai. Oleh karena itu, ia wajib mengkada semua kewajiban yang ditinggalkannya.
Perintah yang berkenaan dengan hak manusia
Seperti itu pula kewajiban yang terkait hak orang lain, seperti zakat yang ditinggalkan karena tidak tahu. Contohnya adalah orang yang sudah bertahun-tahun tidak membayar zakat untuk harta yang wajib dizakati karena tidak tahu. Ia wajib membayar zakat untuk tahun-tahun sebelumnya, karena pembayaran zakat tidak mengenal batas waktu tertentu yang zakat itu lewat jika waktu pembayarannya lewat. Demikian juga, jika sengaja tidak mengeluarkan zakat selama lima tahun misalnya, maka ia wajib membayar zakat yang lima tahun itu.
Orang yang tidak membayar zakat bertahun-tahun karena tidak tahu tetap wajib membayar zakat, karena zakat terkait dengan hak orang lain, yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Hanya saja, orang itu tidak berdosa, karena ia tidak tahu.
Baca juga: LARANGAN KERAS MENUNDA SALAT ASAR HINGGA SINAR MATAHARI MEMERAH
Baca juga: LARANGAN MEMBERI PUJIAN
Baca juga: LARANGAN BANYAK TERTAWA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)