163. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
“Waktu shalat Zhuhur adalah ketika matahari tergelincir dan bayangan seseorang sama panjang dengan tubuhnya, selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu shalat ‘Ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (syafaq) belum hilang. Waktu shalat Isya adalah hingga pertengahan malam. Waktu shalat Subuh adalah dari terbitnya fajar hingga terbitnya matahari.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
164. Diriwayatkan olehnya (Muslim) dari hadis Buraidah tentang waktu ‘Ashar:
وَالشَّمْسُ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ
“Ketika matahari masih putih dan bersih.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
165. Dari hadis Abu Musa:
وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Ketika matahari masih tinggi.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
PENJELASAN
Penulis rahimahullah berkata dalam kitabnya Bulughul Maram: Kitab Shalat
Setelah ia rahimahullah selesai menyebutkan pembahasan tentang thaharah dan hal-hal yang berkaitan dengannya, ia kemudian menyebutkan pembahasan tentang shalat.
Shalat adalah bentuk penghambaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ucapan dan gerakan yang diketahui, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang agung. Ia adalah rukun Islam yang paling ditekankan setelah dua kalimat syahadat, dan merupakan amal ibadah yang paling utama dalam agama ini.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?”
Beliau menjawab,
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا
“Shalat pada waktunya.”
Aku bertanya, “Lalu apa setelah itu?”
Beliau menjawab,
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
“Berbakti kepada kedua orang tua.”
Aku bertanya lagi, “Lalu apa setelah itu?”
Beliau menjawab,
ٱلْجِهَادُ فِي سَبِيلِ ٱللّٰهِ
“Jihad di jalan Allah.”
Ibnu Mas’ud berkata: Beliau menyampaikan tiga hal itu kepadaku. Seandainya aku terus meminta tambahan, niscaya beliau akan menambahkannya kepadaku. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Shalat tidak gugur dari siapa pun. Adapun zakat gugur dari orang fakir; puasa gugur dari orang yang tidak mampu; dan haji tidak wajib kecuali atas orang yang mampu. Namun shalat tidak gugur dari siapa pun. Bahkan seseorang harus tetap shalat dalam setiap keadaan. Shalat adalah kewajiban atas kaum muslimin, bahkan fardhu ‘ain menurut ijma’ (kesepakatan para ulama).
Barang siapa mengingkari kewajibannya dan berkata bahwa shalat tidak wajib —jika ia seorang yang tidak tahu, seperti orang yang baru masuk Islam dan belum mengenal hukum-hukum Islam, atau orang yang tumbuh di pedalaman yang jauh dan tidak mengetahui apa pun tentang hukum-hukum Islam— maka ia diajarkan tentang kewajiban shalat. Jika ia tetap bersikeras dan mengingkari (setelah diajarkan), maka ia menjadi kafir dan murtad.
Begitu pula, jika seseorang mengingkari kewajiban shalat padahal ia hidup di tengah-tengah kaum muslimin di kota atau desa yang penduduknya mengetahui hukum-hukum Allah, maka ia murtad dan kafir.
Adapun orang yang meninggalkan shalat karena meremehkannya, padahal ia mengakui kewajibannya, maka al-Kitab, as-Sunnah, serta ucapan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam telah menunjukkan bahwa ia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam –wal’iyadzu billah– sebagaimana orang yang mengingkari kewajiban shalat.
Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak dianggap, karena pihak yang menyelisihi telah terbantahkan dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, serta ijma’ para ulama dari kalangan sahabat dan imam-imam terdahulu. Oleh karena itu, siapa pun yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, maka ia kafir, murtad, dan keluar dari Islam –wal’iyadzu billah.
Ia tidak berhak mewarisi dan tidak diwarisi. Apabila ia mati, maka tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Tidak boleh dikatakan padanya, “Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah dia.” Bahkan jenazahnya dibawa ke suatu tempat di tanah terbuka, lalu digali untuknya sebuah lubang –yang bukan kuburan– lalu ditimbun di dalamnya sebagaimana bangkai keledai ditimbun, karena ia kafir. Bahkan orang kafir secara asal lebih rendah jalannya daripada keledai dan seluruh hewan lainnya, kecuali jika ia bertobat dan Allah memberi hidayah kepadanya serta ia menegakkan shalat, maka ia telah kembali ke dalam Islamnya. Shalat yang dahulu ia tinggalkan tidak lagi dituntut darinya. Maksudnya, tobat itu menggugurkan dosa-dosa sebelumnya. Seandainya seseorang telah meninggalkan shalat selama satu bulan atau seminggu, lalu ia menyesal dan datang kepada kita dalam keadaan bertobat, maka kita katakan kepadanya, “Sesungguhnya tobat menghapus dosa-dosa yang telah lalu.” Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ، وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang. Dan kembalilah kepada Rabb kalian serta berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian, lalu kalian tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian sebelum azab datang kepada kalian secara tiba-tiba, sedangkan kalian tidak menyadarinya.’” (QS az-Zumar: 53–55)
Shalat dinamakan “shalat” karena ia merupakan penghubung (shilah) antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Dalam shalatnya, ia berdiri di hadapan Allah, bermunajat kepada-Nya dengan firman-Nya, bertasbih kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Oleh karena itu, shalat adalah taman dari taman-taman ibadah, yang di dalamnya terkandung semua jenis ibadah. Dalam shalat terdapat bacaan al-Qur’an, dzikir, tasbih, doa, berdiri, ruku’, duduk, dan sujud. Tidak akan kamu temukan ibadah lain yang menghimpun jenis-jenis ibadah sebanyak yang dihimpun oleh shalat.
Shalat difardukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara. Ia langsung dari Allah kepada Rasul-Nya. Allah mewajibkan shalat atas beliau saat beliau berada di atas langit, bukan di bumi.
Shalat pertama kali difardhukan atas beliau sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam. Namun Allah ‘Azza wa Jalla memberikan keringanan kepada hamba-Nya, sehingga shalat menjadi lima waktu saja. Lima shalat secara amalan dan pelaksanaan, tetapi nilainya di timbangan (amal) adalah lima puluh. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Alhamdulillah.
Syarat paling penting dalam shalat adalah waktu. Namun penulis rahimahullah mendahulukan tentang thaharah (bersuci) karena hukumnya lebih banyak daripada waktu.
Kemudian ketika ia memulai Kitab Shalat, ia memulainya dengan waktu, dan menyebutkan secara rinci penetapan waktu-waktu shalat lima waktu sebagaimana ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena shalat tidak sah kecuali pada waktunya yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.” QS an-Nisa’: 103)
Maka shalat tidak sah jika dilakukan sebelum masuk waktunya. Jika seseorang menyangka bahwa waktu shalat telah masuk lalu ia pun shalat, namun setelah itu ternyata diketahui bahwa ia shalat sebelum masuk waktu, maka ia harus mengulangi shalatnya.
Adapun shalat yang dilakukan sebelum waktu tersebut terhitung sebagai shalat sunah (nafilah), ia diberi pahala atasnya karena ia telah beribadah kepada Allah dengan shalat itu, tanggung jawabnya belum gugur sampai ia mengulangi shalat tersebut.
Para ulama berkata, “Meskipun yang dilakukan sebelum waktunya hanyalah takbiratul ihram, maka itu tidak mencukupi baginya hingga waktu benar-benar telah masuk. Seluruh rangkaian shalat harus dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal ini, wajib berhati-hati dari tergesa-gesa dalam shalat setelah mendengar adzan dari sebagian muadzin yang tidak cermat terhadap waktu. Sebab, sebagian muadzin –semoga Allah memberi hidayah kepada kita dan mereka– mengumandangkan adzan sebelum waktunya, bahkan terkadang hingga sepuluh menit sebelum waktunya.
Ini adalah hal yang berbahaya –berbahaya bagi diri muadzin dan bagi orang-orang yang mendengar adzannya. Maka janganlah kita tertipu dengan adzan sebagian muadzin yang tidak peduli terhadap waktu. Mereka mengumandangkan adzan sebelum waktunya. Tunggulah dan berhati-hatilah demi agamamu dan dirimu sendiri.
Demikian pula, shalat tidak sah jika dilakukan setelah keluar waktunya, kecuali karena udzur (alasan yang dibenarkan secara syar’i). Contoh udzur adalah: Seseorang tertidur dan tidak ada yang membangunkannya; Seseorang lupa karena kesibukan yang menumpuk sehingga hatinya tersibukkan dan tidak sadar sampai waktu habis; Seseorang jahil tentang waktu shalat, ia tidak tahu bahwa waktu akan berlalu secepat itu. Orang-orang seperti ini diberi udzur. Mereka boleh mengerjakan shalat setelah keluar waktu.
Jika ia tidak memiliki udzur, misalnya sengaja menunda shalat hingga keluar waktu, maka shalatnya tidak diterima. Tanggung jawabnya belum gugur dengannya. Ia wajib bertobat kepada Allah. Jika tobatnya benar-benar tulus, maka sesungguhnya itu menggugurkan darinya tuntutan untuk shalat.
Contohnya: Seseorang mengetahui bahwa waktu shalat telah masuk, tapi ia tidak peduli, dan tetap dalam kesibukannya atau dalam tidurnya, maka jika ia shalat setelah habis waktunya, shalat itu tidak diterima dan tidak bermanfaat baginya, karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.” (QS an-Nisa’: 103)
Tidak datang dalam syariat bahwa seseorang shalat setelah keluar waktu lalu diterima darinya, kecuali jika ia memiliki udzur. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَٰلِكَ
“Barang siapa tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaklah ia menunaikannya ketika mengingatnya. Tidak ada kafarat kecuali itu.”
Kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS Thaha: 14) (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Waktu-waktu shalat yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah telah mengisyaratkan hal itu dalam Kitab-Nya, maka sudah semestinya bagi seseorang untuk menyegerakan shalat di awal waktu, karena lebih sesuai dengan sunah, lebih cepat dalam membebaskan tanggung jawab, dan lebih sempurna dalam berlomba-lomba menuju kebaikan.
Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?”
Beliau menjawab,
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا
“Shalat pada waktunya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Maka jelaslah bahwa shalat tepat waktu merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Termasuk dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau menyegerakan shalat di awal waktu, tetapi setelah mengerjakan sunah-sunah yang dianjurkan sebelum shalat tersebut, yaitu shalat sunah rawatib sebelumnya, seperti shalat Fajar dan Zhuhur. Nabi ‘alaihishshalatu wassalam mengerjakan shalat Ashar ketika matahari masih terang benderang berwarna putih, sampai-sampai seorang sahabat Nabi ‘alaihishshalatu wassalam bisa kembali ke rumahnya yang berada di ujung kota Madinah sementara matahari masih tampak bersinar. Ini menunjukkan bahwa beliau menyegerakan pelaksanaan shalat. Demikian pula shalat Zhuhur, beliau mengerjakannya ketika matahari sudah tergelincir, tetapi setelah terlebih dahulu mengerjakan shalat sunah rawatibnya, karena beliau ‘alaihishshalatu wassalam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum shalat Zhuhur, yaitu empat rakaat dengan dua kali salam. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Adapun shalat Maghrib, maka beliau mengerjakannya ketika telah wajib (masuk waktunya), tetapi setelah mengerjakan shalat sunah sebelumnya, karena shalat Maghrib memiliki shalat sunah sebelumnya yang bukan rawatib. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihishshalatu wassalam,
صَلُّوا قَبْلَ المَغْرِبِ، صَلُّوا قَبْلَ المَغْرِبِ، صَلُّوا قَبْلَ المَغْرِبِ
“Shalatlah sebelum Maghrib, shalatlah sebelum Maghrib, shalatlah sebelum Maghrib,” kemudian pada yang ketiga beliau bersabda,
لِمَنْ شَاءَ
“Bagi siapa yang menghendaki.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud)
Adapun shalat Isya, maka Nabi ‘alaihishshalatu wassalam kadang-kadang menyegerakannya dan kadang-kadang mengakhirkannya, tergantung pada keadaan berkumpulnya para sahabat. Jika beliau melihat mereka telah berkumpul, maka beliau menyegerakan, dan jika beliau melihat mereka terlambat datang, maka beliau mengakhirkan. Namun, sesungguhnya beliau menyukai untuk mengakhirkan shalat Isya, bahkan pernah pada suatu malam beliau menunda hingga sebagian besar malam telah berlalu, kemudian beliau keluar dan melaksanakan shalat, lalu bersabda,
إِنَّهُ لَوَ قْتُهَا، لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
“Sesungguhnya ini adalah waktunya (yang utama), kalau bukan karena aku khawatir memberatkan umatku.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Tetapi jika para sahabat sudah berkumpul, maka Rasulullah ‘alaihishshalatu wassalam tidak membiarkan mereka menunggu dan tidak menunda shalat, melainkan langsung melaksanakan shalat bersama mereka. Ini menunjukkan bahwa imam sepatutnya memperhatikan keadaan makmum dalam perkara seperti ini.
Adapun shalat Subuh, “beliau mengerjakannya saat masih gelap,” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim) yaitu beliau mengerjakannya di waktu sangat awal, sedemikian awalnya hingga beliau selesai dari shalat itu sementara seseorang hanya bisa mengenali orang yang duduk di sebelahnya saja. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim) Hal ini menunjukkan bahwa beliau menyegerakan pelaksanaannya, namun —sebagaimana telah disebutkan sebelumnya— hal itu tetap dilakukan setelah shalat sunah rawatib, dan shalat rawatib pada waktu fajar terdiri dari dua rakaat yang ringan. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Sabda Nabi, “Waktu shalat ‘Ashar adalah selama matahari belum menguning,” maksudnya adalah bahwa waktu Ashar masih berlangsung hingga matahari menguning, yaitu menjadi berwarna kuning. Hal ini berbeda-beda tergantung pada musim. Yang penting adalah bahwa jika warna matahari telah berubah menjadi kuning, maka waktu Ashar telah berakhir. Meskipun demikian, dalam hadis yang sahih telah ditegaskan bahwa waktunya masih berlanjut hingga matahari terbenam. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari) Namun, waktu antara matahari mulai menguning hingga terbenam tidak boleh dijadikan waktu shalat kecuali dalam keadaan darurat.
Sabda Nabi, “Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (syafaq) belum hilang,” maksudnya waktu Maghrib dimulai dari terbenamnya matahari hingga hilangnya cahaya merah (syafaq). Syafaq adalah warna merah yang mengikuti matahari setelah terbenam. Jika cahaya merah itu telah hilang, maka masuklah waktu shalat Isya yang berlangsung hingga tengah malam. Setelah itu, waktu empat shalat fardhu berakhir, dan waktu dari tengah malam hingga terbit fajar bukanlah waktu untuk shalat-shalat fardhu.
Kita mengetahui pertengahan malam dengan cara membagi waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari menjadi dua bagian yang sama, maka pertengahan malam adalah batas akhir waktunya. Kadang-kadang juga dikatakan: kita membagi waktu antara terbenamnya matahari dan terbitnya fajar menjadi dua bagian, maka akhir dari separuh pertama adalah waktu berakhirnya shalat Isya.
Sabda Nabi, “Waktu shalat Subuh adalah dari terbitnya fajar hingga terbitnya matahari,” maksudnya adalah sampai matahari terbit. Namun, sangat penting untuk berhati-hati dan waspada dalam memastikan waktu terbit fajar, karena terbitnya fajar —terutama di zaman kita sekarang ini dengan banyaknya cahaya lampu— sering kali samar, sehingga jangan tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat maupun adzan. Sebaiknya tunggulah hingga fajar benar-benar terlihat setelah adzan.
Dahulu, sebagian orang mengumandangkan adzan Subuh terlalu dini karena hanya mengandalkan jadwal waktu shalat yang ada di tangan masyarakat, padahal jadwal tersebut ternyata lebih awal lima menit dari waktu sebenarnya. Oleh karena itu, sebaiknya muadzin menunggu lima menit setelah jadwal yang beredar sekarang ini, karena berdasarkan perhitungan astronomi yang akurat, telah terbukti bahwa jadwal tersebut mendahului waktu fajar sekitar lima menit sepanjang tahun —khususnya untuk shalat Subuh.
Jika seseorang mengerjakan shalat sebelum masuk waktunya, bahkan hanya mendahului sebesar takbiratul ihram saja, maka shalatnya tidak sah. Maka dari itu, sikap hati-hati adalah hal yang wajib, dan tidak mengapa jika muadzin menunda adzan lima menit, lalu orang-orang shalat setelah adzan tersebut dengan keyakinan, in sya Allah.
Baca juga: PETUNJUK NABI TENTANG DARAH HAIDH DAN DARAH ISTIHADHAH
Baca juga: INTERAKSI SUAMI ISTRI DI MASA HAIDH
Baca juga: HUKUM TALAK, HAIDH, DAN NIFAS
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)