175. Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam lafaz Muslim disebutkan:
لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Tidak ada shalat setelah shalat Fajar.”
176. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu: Tiga waktu di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat di dalamnya dan menguburkan jenazah kami di waktu-waktu tersebut: ketika matahari terbit dengan sinarnya hingga ia meninggi, ketika matahari berada tepat di atas kepala hingga ia tergelincir, dan ketika matahari condong menjelang terbenam.”
177. Adapun hukum kedua menurut Imam Syafi’i bersumber dari hadis Abu Hurairah dengan sanad yang lemah, yang menyebutkan: “Kecuali pada hari Jumat.”
178. Demikian pula diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Qatadah dengan kandungan yang serupa.
PENJELASAN
Hadis-hadis ini menjelaskan tentang waktu-waktu larangan shalat.
Adapun hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam.”
Di dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa pada dua waktu tersebut (yaitu setelah Subuh hingga terbit matahari, dan setelah Ashar hingga terbenam matahari) tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk melakukan shalat sunah, kecuali jika shalat tersebut memiliki sebab. Jika ada sebab, maka tidak mengapa melakukannya, karena jika ada sebab, hilanglah larangan yang menjadi alasan dilarangnya shalat pada dua waktu tersebut.
Adapun sabda beliau, “Setelah Subuh”, maksudnya adalah tidak ada shalat setelah shalat Subuh, bukan setelah terbitnya fajar (Subuh). Maka larangan ini berkaitan dengan shalat, dan juga berkaitan dengan shalat seseorang secara pribadi. Jika kamu memasuki waktu tersebut dan belum melaksanakan shalat Subuh, maka kamu boleh melakukan shalat sunah. Namun yang lebih utama adalah tidak menambah dari dua rakaat sunah fajar.
Adapun shalat Ashar, maka hukumnya juga terikat dengan pelaksanaan shalat Ashar. Selama kamu belum shalat Ashar, maka kamu boleh melaksanakan shalat sunah, meskipun orang-orang di sekitarmu telah shalat. Apabila kamu sudah menunaikan shalat Ashar, maka janganlah melaksanakan shalat sunah lagi hingga matahari terbenam.
Adapun jika shalat memiliki sebab, seperti shalat Tahiyatul Masjid atau shalat Gerhana menurut pendapat yang menganggapnya sunah, maka shalat itu boleh dilakukan. Karena hal yang terlarang yang menjadi sebab adanya larangan —yaitu menyerupai orang-orang kafir— telah hilang dengan adanya sebab tersebut. Jika shalat dilakukan karena adanya sebab, maka shalat itu dikaitkan dengan sebabnya, dan kekhawatiran penyerupaan pun menjadi tidak relevan.
Adapun hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk melakukan shalat atau menguburkan jenazah pada tiga waktu tertentu. Ia berkata, “Tiga waktu di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat di dalamnya dan menguburkan jenazah kami di waktu-waktu tersebut.”
Waktu yang pertama adalah ketika matahari terbit hingga ia meninggi seukuran satu tombak, yang berdurasi kira-kira seperempat jam. Maka sejak terbitnya matahari hingga kira-kira seperempat jam setelahnya tidak diperbolehkan melaksanakan shalat ataupun menguburkan jenazah. Seandainya kita telah sampai di pemakaman dengan membawa jenazah, lalu matahari terbit sementara kita belum menguburkannya, maka kita wajib menunggu hingga matahari meninggi seukuran tombak, yaitu kira-kira seperempat jam, dan tidak boleh menguburkan jenazah dalam waktu tersebut.
Waktu yang kedua adalah ketika matahari matahari berada pada posisi tegak lurus di tengah hari hingga tergelincir ke barat. Maksudnya adalah pada pertengahan siang hari, sekitar sepuluh menit sebelum matahari tergelincir, hingga matahari benar-benar tergelincir ke barat. Dalam waktu ini, kita tidak diperbolehkan melaksanakan shalat maupun menguburkan jenazah. Seandainya kita menggali kubur dan telah menyelesaikannya hingga tersisa sepuluh menit menjelang shalat Zhuhur, maka kita tidak boleh menguburkan jenazah hingga matahari tergelincir ke barat.
Waktu yang ketiga adalah ketika matahari condong menuju terbenam, artinya condong dan bersiap-siap tenggelam, dan itu terjadi ketika tersisa waktu satu tombak sebelum matahari terbenam. Pada saat itu, kita tidak diperbolehkan menguburkan jenazah, begitu pula tidak diperbolehkan melakukan shalat, kecuali shalat yang memiliki sebab. Shalat yang memiliki sebab boleh dilakukan kapan pun. Jika kita sampai di pemakaman dengan membawa jenazah dan masih harus menggali kuburnya, lalu matahari hampir tenggelam seukuran satu tombak, maka jenazah tersebut tidak boleh dikuburkan hingga matahari benar-benar terbenam.
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa boleh menguburkan mayit di malam hari, dan tidak mengapa jika dilakukan pada malam hari, selama kita telah melakukan apa yang diwajibkan berupa memandikannya, mengafaninya, dan menyalatinya. Maka ia boleh dikuburkan meskipun setelah shalat Isya’, dan tidak ada masalah dalam hal itu.
Dalam hadis Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dan hadis ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu terdapat penjelasan mengenai waktu-waktu larangan (untuk shalat), yaitu lima waktu jika dirinci, dan tiga waktu jika diringkas.
Adapun secara ringkas, maka waktu-waktu tersebut adalah:
1. Dari setelah shalat Fajar (Subuh) hingga matahari terbit setinggi tombak.
2. Ketika matahari tegak hingga tergelincir, yakni ketika matahari tergelincir, yaitu sekitar sepuluh menit sebelum tergelincirnya matahari.
3. Dari setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam.
Adapun secara terperinci, maka waktu-waktu itu adalah:
1. Dari setelah shalat Subuh hingga matahari terbit.
2. Dari terbitnya matahari hingga naik setinggi satu tombak, yaitu sekitar seperempat hingga sepertiga jam setelah terbit.
3. Ketika matahari tepat di tengah langit hingga tergelincir ke barat.
4. Dari setelah shalat Ashar hingga matahari mulai condong menuju terbenam, yakni ketika jarak antara matahari dan terbenamnya seukuran satu tombak.
5. Dari saat itu (yakni setelah condong menuju terbenam) sampai matahari benar-benar terbenam.
Maka ini adalah lima waktu larangan, yang berbeda dari tiga waktu larangan yang disebut secara ringkas. Adapun tiga waktu tersebut adalah: dari terbit matahari hingga naik setinggi tombak, saat matahari berada di tengah langit hingga tergelincir, dan ketika matahari mulai condong menuju terbenam hingga benar-benar terbenam. Pada tiga waktu ini, tidak diperbolehkan melaksanakan shalat dan tidak diperbolehkan menguburkan jenazah.
Waktu-waktu yang dilarang untuk shalat memiliki beberapa pengecualian. Pertama, shalat fardhu; maka kapan pun kamu mengingatnya, kerjakanlah, baik di waktu malam maupun siang, karena tidak ada larangan untuk shalat fardhu. Kedua, shalat yang memiliki sebab, seperti Tahiyyatul Masjid. Kamu boleh menunaikannya kapan pun kamu masuk masjid, baik setelah shalat Subuh, atau setelah shalat Ashar, atau menjelang terbenamnya matahari, atau pada waktu kapan pun.
Ketiga, dua rakaat shalat thawaf; apabila seseorang berthawaf di Ka’bah, maka ia boleh menunaikan dua rakaat thawaf kapan pun waktunya. Keempat, shalat sunah wudhu; jika seseorang berwudu di waktu kapan pun, maka disunahkan baginya untuk shalat dua rakaat, bahkan meskipun setelah Ashar atau Subuh. Kelima, shalat sunah Fajar (qabliyah Subuh); jika kamu luput darinya dan masuk masjid dalam keadaan orang-orang sedang mengerjakan shalat Subuh, maka kamu boleh menunaikannya setelah shalat, karena ia memiliki sebab.
Kaidahnya adalah bahwa setiap shalat sunah yang memiliki sebab boleh dilakukan di waktu kapan pun selama sebab itu ada.
Baca juga: WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU DAN PENTINGNYA MENJAGANYA
Baca juga: WAKTU-WAKTU SHALAT YANG UTAMA DAN LARANGAN TIDUR SEBELUM ISYA’
Baca juga: WAKTU MINIMAL UNTUK MENDAPATKAN SHALAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)