TATA CARA UMRAH PRAKTIS

TATA CARA UMRAH PRAKTIS

Banyak hadis Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan ibadah umrah. Disebutkan dalam salah satu di antaranya bahwa ibadah umrah dapat menghapus dosa. Apakah ibadah umrah wajib atau sunah? Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama. Di antara dalil yang mewajibankan umrah adalah hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulallah, apakah perempuan wajib berjihad?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لَا قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ

Ya. Bagi kalian kewajiban jihad, tetapi tidak dengan berperang, yaitu dalam ibadah haji dan umrah.” (HR Ahmad)

Ibnu Khuzaimah menjelaskan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Ya. Bagi kalian kewajiban jihad, tetapi tidak dengan berperang, yaitu dalam ibadah haji dan umrah.” Ini sebagai dalil yang jelas bahwa hukum umrah adalah wajib, seperti halnya haji. Tampak jelas bahwa sabda beliau, “Bagi kalian,” menunjukan bahwa umrah adalah wajib. Tidak mungkin diperbolehkan perkataan, “Bagi seseorang ada perkara sunah yang tidak wajib.”

Senada dengan hadis di atas adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam. Beliau bersabda,

الْإِسْلامُ، أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَأَنْ تُقِيمَ الصَّلاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَحُجَّ وَتَعْتَمِرَ وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ، وَتَتِمَّ الْوُضُوءَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ

Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Engkau mengerjakan salat, mengeluarkan zakat, melakukan ibadah haji dan umrah, mandi ketika tertimpa janabah, menyempurnakan wudu, dan berpuasa Ramadan.”

Jibril kembali bertanya, “Apakah jika aku melaksanakan semua itu aku menjadi seorang muslim?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ

Ya.”

Jibril berkata, “Engkau telah berkata benar.” (HR Ibnu Khuzaimah dan ad-Daruquthni)

Di antara hadis yang menunjukkan keutamaan umrah adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Ibadah umrah dengan ibadah umrah lainnya adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya. Sedangkan bagi haji mabrur tidak ada balasan untuknya melainkan Surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Demikian juga dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

Ikutilah ibadah haji dan umrah dengan ibadah haji dan umrah lainnya, karena sesungguhnya kedua ibadah tersebut dapat mengikis kefakiran dan dosa, sebagaimana pandai besi mengikis karat pada besi.” (HR an-Nasa-i. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Tata Cara Umrah

Orang yang melakukan umrah memakai pakaian ihram sejak dari mikat, baik melalui jalur darat, laut, maupun udara. Dan ini wajib dilakukan. Sedangkan orang yang sudah berada di area dalam mikat, seperti orang yang tinggal di Jedah atau Bahrah, memakai pakaian ihram dan berniat ihram dari tempat tinggalnya. Bila khawatir melalui jalur udara mikat terlewatkan, hendaklah ia berniat ihram sebelum mikat. Dengan demikian, ia telah meyakinkan dirinya bahwa ia telah berihram tepat di atas mikat atau sebelumnya.

Ia dianjurkan mandi sebagaimana mandi janabah (mandi besar), memakai minyak wangi yang paling harum, jika ada, di rambut dan jenggotnya. Setelah itu, ia mengenakan izar dan rida’ (pakaian ihram) yang berwarna putih. Adapun perempuan, ia boleh berpakaian sesuai keinginannya, asalkan pakaian itu menutup aurat. Ia tidak boleh bersolek dan berhias.

Jika sebelum ihram bertepatan dengan waktu salat, maka ia mengerjakan salat fardu agar ia berniat ihram setelah salat fardu. Jika tidak bertepatan dengan waktu salat fardu dan tersedia waktu untuk salat sunah, maka tidak mengapa ia mengerjakan salat sunah sehingga ia berniat ihram setelah salat sunah.

Berniat masuk umrah adalah dengan mengucapkan,

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، (لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ عُمْرَةً)

Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. (Aku sambut panggilan-Mu, ya Allah, untuk menunaikan ibadah umrah.)” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Laki-laki dianjurkan mengucapkannya dengan mengangkat suara, sedangkan perempuan cukup didengar oleh diri sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي و مَنْ مَعِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ

Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku agar aku memerintahkan para sahabat yang bersamaku untuk mengangkat suara mereka ketika bertalbiah.” (HR Abu Dawud. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘annhu, dia bertutur: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ibadah haji dengan naik kendaraan dan memakai kain beludru. Semuanya senilai empat dirham atau tidak sampai. Kemudian beliau bersabda,

اللَّهُمَّ حَجَّةٌ، لَا رِيَاءَ فِيهَا وَلَا سُمْعَةَ

Ya Allah, aku menunaikan ibadah haji. Tidak ada riya’ dan sombong di dalamnya.” (HR Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Ia terus mengucapkan talbiah sehingga kalimat itu sebagai syiarnya. Ia terus mengucapkannya hingga terputus ketika akan memulai tawaf di Ka’bah.  Ia menyibukkan diri dengan dzikir ketika tawaf, sa’i dan lainnya.

Jika memungkinkan, sebelum masuk ke tanah suci Makkah, ia mandi terlebih dahulu, karena perkara tersebut dianjurkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa Ibnu Umar apabila masuk batas kota Makkah berhenti dari mengucapkan talbiah, kemudian menginap di Dzi Thuwa. Keesokan harinya ia salat Subuh dan mandi. Ia mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ia boleh masuk kota Makkah dari jalan mana saja yang mudah baginya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ طَرِيقٌ وَمَنْحَرٌ

Semua jalan di lembah Makkah adalah jalan dan tempat untuk menyembelih.” (HR Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk kota Makkah dari dataran tinggi karena jalan itu adalah jalan yang ada di hadapannya. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia bercerita, “Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika datang ke kota Makkah masuk dari arah dataran tinggi, lalu keluar dari dataran rendah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Orang yang masuk ke kota Makkah boleh masuk dari arah manapun. Akan tetapi, yang lebih utama adalah datang dari arah Ka’bah, dalam rangka mencontoh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau masuk dari arah tersebut, yaitu dari sisi yang lebih tinggi yang sekarang menjadi pintu al-Ma’lah.”

Disunahkan ketika akan masuk Masjidilharam mendahulukan kaki kanan sambil berdoa,

بسم الله، اللّهُـمَّ صَلِّ عَلـى مُحمَّـد، اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Dengan menyebut nama Allah. Semoga selawat tercurah kepada Nabi Muhammad. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR Muslim)

atau menambahkan,

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Aku berlindung kepada Allah yang Mahaagung dan dengan wajah-Nya yang Mulia, serta kekuasaan-Nya yang abadi dari setan yang terkutuk.” (HR Abu Dawud. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Doa ini juga dibaca ketika masuk ke dalam masjid-masjid yang lain.

Tidak ada riwayat yang sahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang bacaan khusus ketika pertama kali melihat Ka’bah. Oleh karena itu, ia boleh membaca doa sesuai keinginan dan hafalannya. Dia juga boleh berdoa dengan doa yang dipanjatkan oleh Amirul mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu,

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلَامُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ

Ya Allah, Engkau adalah Salam dan dari-Mu keselamatan. Oleh karena itu, hidupkan kami dengan keselamatan.” (HR al-Baihaqi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani).

Setelah itu, ia segera menuju tempat Hajar Aswad untuk menciumnya jika memungkinkah. Bila tidak, ia cukup mengusapnya dengan tangan atau tongkat, kemudian mencium bekas mengusap tadi. Jika itu pun sulit dilakukan, ia cukup menghadap ke arah Hajar Aswad, lalu mengisyaratkan dengan tangannya ke arah Hajar Aswad sambil mengucapkan, “Allahu Akbar.”

Telah tetap sebuah atsar dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma secara mauquf bahwa ia biasa membaca bismillah lalu bertakbir. (Sunan al-Baihaqi)

Jika ia tidak mungkin mencium Hajar Aswad, janganlah ikut orang-orang berdesak-desakan untuk mencium Hajar Aswad. Ia disunahkan mengusap Hajar Aswad dengan tangan kanan. Jika tidak mungkin mengusap, maka dia terus berlalu saja, tidak perlu mengisyaratkan dan bertakbir kembali, sebab tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ia tidak boleh mencium bangunan Ka’bah, tidak boleh mencium serta mengusap rukun-rukunnya selain Hajar Aswad.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang berziarah ke kuburan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam atau kuburan para nabi dan orang-orang saleh, seperti sahabat dan ahli bait tidak boleh mengusap atau menciumnya. Tidak ada di muka bumi ini benda mati yang disyariatkan untuk dicium kecuali Hajar Aswad. Hal ini sebagaimana telah sahih dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah secara tegas menyatakan, ‘Demi Allah, sungguh aku mengetahui bahwa engkau (Hajar Aswad) hanya sebongkah batu yang tidak mampu memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Kalaulah aku tidak melihat Rasulallah shalallahu ‘alaihi wa sallam menciummu tentu aku tidak akan menciummu.’” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam melanjutkan, “Oleh karena itu, tidak pernah dianjurkan menurut kesepakatan para imam seseorang mencium atau mengusap dua rukun Ka’bah yang berada setelah rukun Hajar Aswad, demikian pula tembok Ka’bah. Mereka juga sepakat tidak boleh mencium atau mengusap Maqam Ibrahim, kubah emas di masjid Quds, tidak pula makam para nabi dan orang-orang saleh.”

Telah sahih dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau biasa membaca doa antara dua rukun, yaitu rukun Yamani dan Hajar Aswad,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta jagalah kami dari siksa api Neraka.” (HR Abu Dawud. Dihasankan oleh Syekh al-Albani)

Setelah itu, ia tawaf mengelilingi Ka’bah dengan memosisikan Ka’bah di sebelah kirinya. Ia melakukannya di belakang Hijr Ismail sebanyak tujuh putaran, dimulai dari Hajar Aswad. Dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad dihitung satu putaran.

Ketika bertawaf hendaklah ia menjadikan kain ihramnya di bawah ketiak tangan kanannya dan diselendangkan di pundak kiri sehingga tangan kiri tertutup.

Ia disunahkan berjalan cepat pada tiga putaran pertama yang dimulai dari Hajar Aswad ke Hajar Aswad. Kemudian dia berjalan seperti biasa pada putaran berikutnya. (HR Muslim)

Tidak ada dzikir khusus dalam tawaf. Dengan demikian, ia boleh membaca al-Qur’an atau dzikir-dzikir yang ia hafal dan inginkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada dzikir khusus dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam tawaf, baik perintah yang berupa ucapan maupun pembelajaran. Akan tetapi, dibolehkan baginya berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan.”

Setelah tawaf, ia menuju Maqam Ibrahim sambil membaca firman Allah Ta’ala:

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّى

Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim tempat salat.” (QS al-Baqarah: 125)

Kemudian ia mengerjakan salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Disunahkan dalam salat itu ia membaca surat al-Kafirun setelah al-Fatihah pada rakaat pertama, dan surat al-Ikhlas setelah al-Fatihah pada rakaat kedua. Seusai salat, ia menuju tempat air zam-zam untuk meminum airnya dan menuangkannya ke atas kepala.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang air zam-zam,

إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ وَإِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ وشفاء سُقمٍ

Sesungguhnya zam-zam adalah air berkah. Ia adalah makanan yang mengenyangkan serta obat dari penyakit.” (HR al-Baihaqi. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Kemudian ia kembali lagi ke Hajar Aswad, bertakbir, lalu mengusapnya, sesuai dengan urutan sebelum tawaf tadi. Hal ini berdasarkan hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu yang menyifati haji Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Kemudian beliau mendatangi Maqam Ibrahim, lalu menjadikan maqam itu berada di tengah-tengah beliau dan Ka’bah. Selanjutnya beliau salat, lalu membaca pada dua rakaat tersebut surat al-Ikhlas dan al-Kafirun. Seusai salat beliau mendatangi Hajar Aswad, lalu mengusapnya.” (HR Muslim)

Selanjutnya ia menuju tempat sai untuk mengerjakan sai antara bukit Shafa dan bukit Marwah.

Jika sudah mendekati bukit Shafa, hendaklah ia membaca firman Allah Ta’ala:

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barangsiapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Mahamensyukuri kebaikan lagi Mahamengetahui.” (QS al-Baqarah: 158)

Dilanjutkan mengucapkan,

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

Aku memulai dengan apa yang dengannya Allah memulai.”

Kemudian ia naik ke bukit Shafa, menghadap Ka’bah hingga ia melihatnya (jika memungkinkan). Kemudian mengucapkan,

اللهُ أكبَر، اللهُ أكبر، اللهُ أكبر، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كَلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَعَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yang memiliki kekuasaan dan segala puji bagi-Nya. Mahamenghidupkan dan mematikan, dan Mahamampu atas segala sesuatu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Yang akan memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan yang akan menghancurkan sendiri seluruh golongan musuh.” (HR Muslim)

Ia membaca dzikir itu tiga kali, dan berdoa di antara ketiganya.

Kemudian ia turun menuju tanda hijau (sekarang terdapat lampu hijau di sebelah kiri dan kanan jalur sai). Manakala sampai di tanda hijau tersebut, ia berjalan cepat sampai tanda berikutnya. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari potongan hadis Jibril yang panjang: “Kemudian beliau turun menuju Marwah. Sampai di tengah lembah beliau berjalan cepat. Ketika sudah melewatinya beliau berjalan seperti biasa.” (HR Muslim)

Para ulama menjelaskan, “Adapun perempuan tidak disyariatkan berjalan cepat. Dia berjalan hingga bukit Marwah, lalu naik di atasnya dan melakukan seperti apa yang dilakukan saat di bukit Shafa, yaitu mulai dengan menghadap kiblat, bertakbir dan bertahlil, lalu berdoa. Seusai itu, maka putaran pertama telah sempurna.

Kemudian ia kembali ke bukit Shafa dengan berjalan biasa. Ketika sampai tanda hijau ia berjalan cepat seperti sebelumnya. Begitu sampai di bukit Shafa, maka itu terhitung sebagai putaran kedua. Demikian seterusnya hingga ia menyempurnakan tujuh putaran. Ia memulai sai dari bukit Shafa dan mengakhirinya di bukit Marwah.

Ia boleh naik kendaraan yang sekarang berupa kursi roda, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memulai sai dengan berjalan. Ketika mulai banyak orang, beliau naik hewan tunggangan.

Ia disunahkan memperbanyak dzikir dan doa sesuai dengan kemampuan. Sekiranya ia berdoa saat sai dengan doa ini, maka hal itu bagus, karena telah tetap dari beberapa sahabat,

رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ، إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأكْرَمُ

Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahapemurah.” (HR Abu Syaibah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani)

Jika telah selesai pada putaran ketujuh, yaitu ketika berada di bukit Marwah, ia disunahkan memendekkan atau mencukur rambut. Apabila jeda waktu antara umrah dan haji cukup lama, rambut itu mungkin telah tumbuh kembali. Hendaklah ia mencukur semua sisi rambut kepalanya, tidak boleh mencukur sebagian saja. Adapun perempuan, ia cukup mencukur ujung rambutnya seruas jari tangan. Dengan amalan terakhir ini, maka ibadah umrahnya telah sempurna sehingga ia boleh kembali kepada apa yang tadinya terlarang saat berihram.

Baca juga: LIHATLAH KEPADA ORANG YANG LEBIH MISKIN DARI KALIAN

Baca juga: MEMERINTAHKAN YANG MAKRUF DAN MELARANG YANG MUNGKAR

Baca juga: KISAH NABI IBRAHIM – HAJAR DAN ISMAIL SERTA KISAH AIR ZAMZAM

(Dr Amin bin ‘Abdullah asy-Syaqawi)

Fikih