MEMERINTAHKAN YANG MAKRUF DAN MELARANG YANG MUNGKAR

MEMERINTAHKAN YANG MAKRUF DAN MELARANG YANG MUNGKAR

Allah Ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104)

PENJELASAN

Makruf adalah segala bentuk ibadah yang diketahui dan ditetapkan oleh syariat, baik ucapan, perbuatan, maupun batin. Mungkar adalah segala bentuk kemaksiatan seperti kekafiran, kefasikan, kedurhakaan, kedustaan, adu domba, dan membicarakan keburukan orang lain yang diingkari dan dilarang oleh syariat.

Hukum memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar adalah fardu kifayah. Jika sebagian orang telah melaksanakannya, maka tujuan dari memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar telah terpenuhi. Jika belum seorang pun melaksanakannya, maka setiap muslim wajib memenuhinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar.” (QS Ali Imran: 104)

Sebagaimana ayat di atas dakwah dimulai dangan menyeru kepada kebaikan, kemudian memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Demikian itu karena menyeru kepada kebaikan harus didahulukan sebelum memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.

Menyeru kepada kebaikan (menunjukkan kebaikan) terwujud dengan menjelaskan kebaikan kepada manusia, seperti mengajak salat, zakat, haji dan puasa, berbuat baik kepada kedua orang tua, dan menyambung silaturahmi. Setelah itu barulah memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Ia memerintahkan orang yang meremehkan salat dangan berkata kepadanya, “Salatlah,” sambil memegang tangannya.

Tahap selanjutnya adalah mengubah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihl wa sallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dangan tangannya. Jika tidak mampu, maka mengubah dangan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka mengubah dangan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,” bukan mengatakan, “Berlemah-lembutlah kepadanya,” karena tahap ini adalah tahap mengubah kemungkaran.

Jika tidak mampu mengubah dengan tangan, maka mengubah dangan lisan. Mengubah dengan lisan merupakan tingkatan dalam mengubah kemungkaran. Jika kamu tidak mampu mengubah dengan lisan, maka kamu mengingkari kemungkaran dangan hati, yaitu dengan membenci dan menentang kemungkaran tersebut.

Memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar harus memperhatikan hal-hal berikut:

1️⃣ Hendaklah orang yang hendak memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar mengetahui mana yang makruf dan mana yang mungkar. Jika ia tidak mengetahui yang makruf, maka ia tidak boleh memerintahkan hal tersebut.

Seseorang terkadang memerintahkan sesuatu yang disangkanya makruf, padahal sesuatu itu mungkar. Oleh karena itu, hendaklah ia mengetahui perkara-perkara makruf yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah ia mengetahui juga perkara-perkara mungkar yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika ia tidak mengetahui perkara mungkar, maka ia tidak boleh melarangnya.

Bisa jadi ia mencegah sesuatu, padahal sesuatu itu baik. Karena ulahnya itu, orang yang dicegah telah kehilangan kebaikan. Bisa jadi ia melarang sesuatu, padahal sesuatu itu diperbolehkan. Akibatnya, ia telah menyulitkan orang lain dengan melarang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan oleh Allah Ta’ala.

Banyak saudara kita tergesa-gesa dalam melarang yang mungkar. Mereka melarang perkara-perkara mubah yang mereka kira mungkar, sehingga menyulitkan orang yang ia larang untuk melakukan kebaikan.

Jadi, janganlah kamu memerintahkan sesuatu kecuali kamu mengetahui bahwa sesuatu itu makruf, dan janganlah kamu melarang sesuatu kecuali kamu mengetahui bahwa sesuatu itu mungkar.

2️⃣ Mengetahui dangan pasti bahwa orang yang diperintahkan untuk berbuat yang makruf dan dilarang dari berbuat yang mungkar benar-benar telah meninggalkan yang makruf atau melakukan yang mungkar. Janganlah kamu menuduh orang lain telah meninggalkan yang makruf atau telah berbuat yang mungkar, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS al-Hujurat: 12)

Jika kamu melihat orang lain tidak salat bersamamu di masjid, belum tentu ia tidak salat di masjid. Bisa jadi ia salat di masjid lain atau sedang uzur. Oleh karena itu, janganlah kamu mengingkarinya sampai kamu mengetahui benar bahwa ia tidak salat berjamaah tanpa uzur.

Tidak mengapa kamu menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, kami tidak menjumpaimu di masjid.” Tetapi, jika kamu mengingkarinya atau lebih keras dari itu, seperti berbicara tentangnya di sebuah majelis, maka hal ini tidak diperbolehkan, karena kamu tidak mengetahui keadaannya secara pasti.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencoba memahami seseorang terlebih dahulu sebelum memerintahkan.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa seseorang masuk masjid pada hari Jumat ketika Nabi shallallahu ‘alalhi wa sallam sedang berkhotbah. Orang itu langsung duduk dan tidak melaksanakan salat tahiatul masjid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَصَلَّيْتَ

Apakah kamu sudah salat?

Ia menjawab, “Belum.”

Beliau berkata,

قُمْ، فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ

Bangunlah, kemudian salatlah dua rakaat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Beliau tidak memerintahkan orang itu salat dua rakaat sebelum bertanya, “Apakah kamu sudah salat?” Padahal secara zahir orang itu masuk masjid dan langsung duduk tanpa melaksanakan salat dua rakaat terlebih dahulu. Namun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir orang itu sudah salat sedangkan beliau tidak menyadarinya. Oleh karena itu, beliau bertanya, “Apakah kamu sudah salat?” Setelah dijawab, “Belum,” barulah beliau memerintahkan, “Berdirilah, kemudian salatlah dua rakaat.”

Demikian juga dalam melarang yang mungkar. Kita tidak boleh mengingkari orang lain kecuali kamu betul-betul mengetahui bahwa ia melakukan kemungkaran. Ketika kamu melihal seorang laki-laki bersama seorang perempuan di dalam mobilnya, kamu tidak boleh langsung menuduhnya bahwa ia telah melakukan kemungkaran. Bisa jadi perempuan itu saudarinya, atau istrinya, atau ibunya. Hingga kamu benar-benar mengetahui dengan pasti bahwa perempuan itu bukan mahramnya, barulah kamu boleh melarangnya.

Intinya, orang yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar harus mengetahui bahwa perkara itu adalah perkara makruf yang harus diperintahkan atau perkara mungkar dan harus dilarang. Ia juga harus mengetahui bahwa perintah atau larangan itu telah sampai kepada perkara yang memang membutuhkan perintah dan larangan. Selain itu, orang yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar hendaklah bersikap lembut dalam melakukannya. Jika ia bersikap lembut, maka Allah Ta’ala akan memberinya sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap kasar. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ، يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

Sesungguhnya Allah Mahalembut, mencintai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekasaran.” (HR Muslim)

Jika kamu kasar dalam menasehati orang lain, bisa jadi orang itu pergi meninggalkanmu dan mengambil kemuliaan melalui jalan dosa, serta tidak melaksanakan apa yang kamu perintahkan. Sebaliknya, jika kamu datang dangan lembut, maka kelembutan itu akan bermanfaat baginya.

Diceritakan bahwa dahulu ada seorang ahli hisbah yang suka memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Suatu ketika ia melewati orang yang sedang memanfaatkan untanya untuk mengambil air dari sumur. Ketika itu azan Magrib tengah berkumandang. Kebiasaan orang ketika mengambil air dangan memanfaatkan unta adalah menyenandungkan syair untuk meringankan beban unta, karena unta -Mahasuci Allah- menjadi tenang dangan senandung syair.

Sang ahli hisbah datang bersama teman-temannya. Ia berbicara kepada orang yang sedang mengambil air dangan ucapan yang buruk. Orang yang sedang mengambil air dalam keadaan lelah sehingga marahnya tersulut. Ia memukul sang ahli hisbah dangan tongkat pemukul unta yang panjang.

Sang ahli hisbah buru-buru meninggalkan orang itu. Ia pergi ke masjid dan bertemu seorang syekh yang merupakan cucu Syekh Muhammad Abdul Wahab rahimahullah. Sang ahli hisbah berkata, “Aku tadi telah berbuat demikian dan demikian. Lalu orang itu memukulku dangan tongkatnya.”

Keesokan harinya, syekh pergi menemui orang yang mengambil air itu sebelum matahari tenggelam. Ia meletakkan terompahnya di atas kayu di sekitar saluran air, lalu berwudu. Kemudian azan Magrib berkumandang. Beliau berdiri seakan-akan hendak mengambil terompahnya seraya berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, semoga Allah membalasmu dangan kebaikan. Kamu mengharapkan kebaikan dangan pekerjaanmu ini, dan kamu akan mendapatkannya. Tetapi sekarang sudah azan. Jika kamu pergi ke masjid dan salat Magrib lalu kembali lagi, tentu kamu tidak akan kehilangan apa-apa.” Ucapan yang lembut itu membuat orang itu berkata, “Semoga Allah membalasmu dangan kebaikan. Kemarin ada orang menegurku dengan keras. Ia menghardikku dan berkata kepadaku, “Kamu mengharapkan kebaikan dengan pekerjaanmu, maka tidak ada kebaikan bagimu.” Aku tidak bisa menahan diri sehingga aku memukulnya dangan tongkatku.” Syekh berkata, “Perkara ini tidak perlu disertai dangan pukulan. Kamu orang yang berakal. Berbicaralah kepadanya dangan lembut.” Orang itu meletakkan tongkatnya, lalu pergi ke masjid untuk salat Maghrib.

Sang ahli hisbah dipukul karena ia bermuamalah dangan cara yang kasar, sedangkan sang syekh bermualah dangan cara yang lembut. Jika kita tidak menemukan contoh dalam masalah ini, maka hendaklah kita merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ، يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ

Sesungguhnya Allah Mahalembut, mencintai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekasaran.” (HR Muslim)

Beliau juga bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

Kelembutan tidak ditemukan pada sesuatu melainkan memperindahnya, dan dicabut dari sesuatu melainkan menodainya.” (HR Muslim)

Oleh karena itu, orang yang memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar hendaklah menjaga sikap ini, yaitu lembut dalam beramar makruf dan bernahi mungkar.

3️⃣ Kemungkaran yang dilarang tidak beralih ke kemungkaran yang lebih besar. Jika kemungkaran yang dilarang beralih ke kemungkaran yang kerusakannya lebih besar, maka kita tidak boleh melarangnya untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Jika dua kemungkaran berbenturan pada waktu yang bersamaan, maka kita mencukupkan diri dangan kerusakan yang lebih kecil.

Misalnya: Seseorang hendak merokok di depanmu. Kamu ingin melarangnya dan mengusirnya dari tempat itu, tetapi kamu tahu bahwa jika ia dilarang, ia akan pergi ke tempat berkumpulnya para peminum khamar. Sudah jelas bahwa dosa meminum khamar lebih besar daripada dosa merokok. Dalam keadaan demikian, kamu jangan melarangnya merokok. Usahakan kamu menyelesaikan permasalah ini dangan cara yang lebih baik supaya kemungkaran yang timbul tidak lebih besar.

Diceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah melewati kaum Tartar di Syam. Beliau mendapati mereka sedang minum khamar. Waktu itu beliau bersama seorang temannya. Beliau tidak menegur kaum itu. Temannya bertanya, “Kenapa engkau tidak melarang mereka?” Beliau menjawab, “Jika kita melarang mereka, mereka akan merendahkan harga diri orang-orang Islam dan merampas harta mereka. Kerusakan ini lebih parah daripada kerusakan minum khamar.” Karena khawatir mereka akan melakukan hal yang lebih buruk dari minum khamar, beliau pun meninggalkan mereka. Sikap beliau itu menunjukkan pemahaman beliau yang dalam.

Yang penting adalah bahwa kewajiban memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar tidak boleh mengandung unsur yang mudaratnya lebih besar, atau dosanya lebih besar. Jika perintah atau larangan itu menimbulkan unsur tersebut, maka kita wajib menghindari kerusakan yang lebih besar dan mengambil kerusakan yang lebih kecil. Ini adalah kaidah yang masyhur di kalangan ulama.

4️⃣ Terdapat perbedaan di antara ulama, apakah dalam memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, orang yang menyampaikannya harus terlebih dahulu melaksanakan apa yang diperintahkan atau menjauhi apa yang dilarang sebelum menyampaikannya? Yang sahih adalah hal itu tidak disyaratkan. Ia wajib memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar walaupun ia tidak melakukan yang makruf tersebut atau tidak menghindari yang mungkar tersebut. Tetapi ia menanggung dosanya. Ia wajib memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, sebab jika ia tidak memerintahkan yang makruf dan tidak melarang yang mungkar hanya karena ia tidak melaksanakan yang makruf dan tidak menjauhi yang mungkar itu, tentu dosanya berlipat ganda. Oleh karena itu, ia wajib memerintahkan yang makruh dan melarang yang mungkar, walaupun ia melakukan kemungkaran dan meninggalkan kebaikan itu.

Berdasarkan tabiat fitrah manusia, umumnya seseorang tidak akan memerintahkan orang lain dangan sesuatu yang tidak ia lakukan. Ia merasa malu untuk melarang orang lain dari melakukan sesuatu sementara ia sendiri melakukannya. Tetapi ia wajib memerintahkan apa yang diperintahkan syariat walaupun ia sendiri belum dapat melaksanakannya, dan melarang dari berbuat mungkar yang diingkari oleh syariat walaupun ia sendiri belum dapat meninggalkannya, karena keduanya punya kewajiban yang terpisah.

Kemudian, hendaklah tujuan orang yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar adalah untuk memperbaiki masyarakat dan menegakkan syariat Allah, bukan untuk balas dandam kepada orang yang berbuat maksiat atau untuk memenangkan diri sendiri. Jika ia berniat dangan niat seperti itu, niscaya Allah tidak akan menurunkan berkah kepada apa yang ia perintahkan dan ia larang. Hendaklah ia seperti seorang dokter yang ingin mengobati pasien. Niat utamanya adalah menegakkan syariat Allah. Niat kedua adalah memperbaiki perilaku manusia. Demikian juga dalam melarang. Dengan demikian, ia menjadi pembaharu yang saleh. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita penunjuk dan pembaharu yang saleh. Sesungguhnya Dia adalah Zat yang Mahadermawan.

Pada bagian terakhir ayat di atas Allah Ta’ala berfirman “Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Kata mereka mengarah pada umat ini, yaitu mereka yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. al-Muffih adalah orang yang memenangkan tuntutannya dan selamat dari bencana.

Firman Allah Ta’ala: “Mereka itulah orang-orang yang beruntung,” memberi batasan bahwa keberuntungan hanya bagi orang-orang yang memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar, serta yang menyeru (mengajak) kepada kebaikan.

Baca juga: MENGINGKARI KEMUNGKARAN

Baca juga: ANJURAN UNTUK SEGERA BERBUAT BAIK

Baca juga: TIDAK ADA KETAATAN KECUALI DALAM HAL YANG MAKRUF

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah