Doa ketika duduk di antara dua sujud adalah,
رَبِّ اغْفِرْلِي، وَارْحَمْنِيِ، وَاهْدِنِيْ، وَاجْبُرْنِيْ، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِيْ
“Ya Rabb, ampunilah aku, rahmatilah aku, tunjukilah aku, perbaikilah keadaanku, sehatkanlah aku, dan berilah aku rezeki.”
Doa ini dibaca oleh imam, makmum, atau orang yang shalat sendirian. Ini adalah doa yang diberkahi dan tepat.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana imam mengkhususkan kata ganti (untuk dirinya) dalam berdoa, padahal telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَؤُمَّنَّ أَحَدُكُمْ فَيَخُضُّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ دُونَهُمْ، فَإِنْ فَعَلَ فَقَدْ خَانَهُمْ
“Janganlah salah seorang dari kalian mengimami lalu mengkhususkan doa untuk dirinya sendiri tanpa (mendoakan) orang lain. Barang siapa melakukan hal itu, sungguh ia telah mengkhianati mereka.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, kitab, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Jawabannya adalah bahwa hal itu (larangan) berkaitan dengan doa yang diaminkan oleh makmum. Apabila imam mengkhususkan (doa tersebut untuk dirinya sendiri), maka dia telah mengkhianati para makmum. Seperti doa qunut, yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma dengan bentuk tunggal: (اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ) “Ya Allah, berilah aku petunjuk bersama orang-orang yang Engkau beri petunjuk.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad) Maka jika imam mengucapkan: (اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ), itu adalah suatu bentuk pengkhianatan, karena makmum akan mengucapkan “Aamiin”, sementara imam hanya berdoa untuk dirinya sendiri dan meninggalkan makmum. Maka hendaklah imam mengucapkan: (اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ) “Ya Allah, berilah kami petunjuk bersama orang-orang yang Engkau beri petunjuk,” dan janganlah ia mengkhususkan dirinya sendiri dalam doa tanpa menyertakan makmum dalam doa yang diaminkan oleh makmum, karena hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap makmum.
Jika ada yang berkata: “Imam berdoa dengan mengatakan: (اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ), lalu berkata kepada makmum, (قُلْ: وَأَنَا مَعَكَ) ‘Katakanlah: dan aku bersamamu,’” maka kami katakan, “Ini tidak sah, karena yang disyariatkan bagi makmum adalah mengucapkan ‘Aamiin’. Oleh karena itu, imam harus menggunakan lafaz doa yang mencakup imam dan makmum.”
Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan di antara dua sujud,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَعَافِنِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, sehatkanlah aku, tunjukilah aku, dan berilah aku rezeki.” (HR Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia dahulu mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْ لِي، رَبِّ اغْفِرْ لِي
“Ya Rabb, ampunilah aku. Ya Rabb, ampunilah aku.” (HR Abu Dawud)
Dan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي
“Ya Rabb, ampunilah aku, rahmatilah aku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, dan tunjukilah aku.” (HR Ahmad)
Dalam salah satu riwayat ditambahkan,
وَاجْبُرْنِيْ
“dan perbaikilah keadaanku.” (HR Ahmad)
Ucapan “Ya Rabb, ampunilah aku.” Pengampunan mencakup dua permintaan: penutupan dan pengampunan. Sebab, kata maghrifah diambil dari kata mighfar, yaitu pelindung kepala yang dikenakan seseorang dalam peperangan untuk melindungi diri dari panah. Pelindung ini berfungsi sebagai penutup dan juga perlindungan. Dengan demikian, “Ya Rabb, ampunilah aku,” artinya tutupilah dosa-dosaku agar tidak seorang pun selain Engkau yang mengetahuinya, karena seseorang tentu tidak ingin orang lain mengetahui maksiat yang telah dilakukannya. Selain itu, ampunilah aku janganlah Engkau menghukumku karenanya.
Ucapan “dan rahmatilah aku,” maknanya adalah takdirkanlah (tetapkanlah) rahmat untukku yang dengannya tercapai hal yang kuinginkan dan hilang hal yang kutakutkan.
Ucapan, “Sehatkanlah aku,” artinya sehatkanlah aku dari penyakit fisik dan non-fisik. Penyakit fisik adalah penyakit badan, sedangkan penyakit non-fisik adalah penyakit hati. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari keduanya, yakni sehatkanlah aku dari penyakit hati dan penyakit badan.
Ucapan, “Perbaikilah keadaanku,” maksudnya tutupilah kekuranganku, karena manusia selalu dalam keadaan kurang, entah dalam bentuk meremehkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang haram. Oleh karena itu, kamu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia menutupi kekuranganmu. Manusia juga kurang dalam ilmu dan hafalan. Ia seringkali mengetahui sesuatu lalu melupakannya. Untuk itu, mintalah kepada Allah agar Dia menutupi setiap kekurangan yang datang padamu.
Ucapan, “Berilah aku rezeki,” maksudnya berilah aku rezeki berupa rezeki materi yang dengannya tubuh mendapat nutrisi, dan rezeki maknawi yang dengannya hati mendapat makanan.
Rezeki materi adalah yang dengannya tubuh mendapat nutrisi, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Rezeki maknawi adalah seperti iman, ilmu, amal saleh, dan selainnya dari hal-hal yang bermanfaat bagi manusia di akhirat.
Yang umum terjadi pada manusia adalah seseorang mengucapkan kata ini tanpa menyadari bahwa ia sedang meminta kepada Allah dua jenis rezeki: rezeki materi bagi tubuh dan rezeki hati bagi roh. Maka sepatutnya bagi kita untuk menghadirkan makna-makna ini agar kita memperoleh pahala dan keutamaan.
Baca sebelumnya: SIFAT SHALAT NABI – DUDUK DI ANTARA DUA SUJUD
Baca setelahnya: SIFAT SHALAT NABI – SUJUD KEDUA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

