SIFAT SALAT NABI – RUKUK DAN TATA CARANYA

SIFAT SALAT NABI – RUKUK DAN TATA CARANYA

Usai mengucapkan surat, orang yang salat terdiam sejenak untuk mengatur nafas lalu membungkukkan badan untuk rukuk. Dalam hal ini anggota badan yang bungkuk adalah punggung.

Diam selesai membaca dan ketika hendak rukuk disebutkan dalam hadis dari Samurah bin Jundab radhiyallahu ‘anhu, bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam dua kali, yaitu ketika masuk ke dalam salat (setelah takbiratul ihram) dan ketika selesai mengucapkan Fatihah al-Kitab dan satu surat ketika hendak rukuk. Namun hal itu diingkari oleh Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu. Mereka pun menulis surat kepada Ubay radhiyallahu ‘anhu di kota Madinah berkenaan dengan itu. Ubay menjawab, “Samurah yang benar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadis hasan,” dan Ibnu Majah)

Rukuk bertujuan mengagungkan Allah Ta’ala, karena rukuk adalah bentuk pengagungan. Itulah mengapa banyak orang melakukan hal serupa terhadap raja atau penguasa. Mereka menundukkan badan di hadapan raja atau penguasa, bahkan rukuk hingga sujud. Waliyadzu billah. Intinya, rukuk menunjukkan pengagungan oleh orang yang melakukannya terhadap obyek rukuknya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَأمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ

Adapun dalam rukuk, maka agungkanlah Rabbmu!” (HR Muslim)

Yakni, agar pengagungan dalam bentuk ucapan bergabung bersama pengagungan dalam bentuk perbuatan.

Saat mulai membungkukkan badan dan bersamaan dengan gerakan membungkuk seseorang juga bertakbir. Ia tidak boleh bertakbir ketika sudah dalam posisi rukuk sempurna. Jadi, takbir diucapkan saat beralih dari posisi berdiri ke posisi rukuk sempurna.

Sebagian ahli fikih mengatakan bahwa takbir yang diucapkan sebelum gerakan membungkuk atau takbir yang belum selesai diucapkan ketika rukuk telah sempurna merusak salat. Mereka beralasan bahwa takbir adalah ucapan perpindahan antara dua rukun. Jika ucapan takbir dimasukkan ke rukun yang pertama, yaitu berdiri, maka salat menjadi tidak sah. Jika takbir dimasukkan ke rukun yang kedua, yaitu rukuk, maka salat juga menjadi tidak sah. Pada kedua rukun itu tidak disyariatkan takbir.

Tidak diragukan bahwa pendapat ini perlu diteliti keabsahannya. Memang benar bahwa takbir adalah isyarat perpindahan yang diucapkan saat berpindah. Akan tetapi, bila dikatakan bahwa takbir yang diucapkan sebelum gerakan membungkuk atau takbir yang belum selesai diucapkan ketika rukuk telah sempurna membatalkan salat, jelas ini memberatkan orang yang salat, sebab banyak kaum muslimin sekarang ini bertakbir sebelum gerakan membungkuk atau masih bertakbir ketika posisi sudah rukuk sempurna.

Sungguh aneh ijtihad yang dilakukan oleh orang jahil dimana mereka mengatakan bahwa takbir tidak diucapkan sebelum rukuk agar tidak didahului oleh makmum. Ini adalah ijtihad yang merusak ibadah sendiri agar ibadah orang lain sah. Sudah jelas bahwa seorang makmum tidak diperbolehkan mendahului imam. Jadi, seandainya seorang makmum sejak mendengar takbir langsung membungkukkan badan untuk rukuk sehingga ia mendahului imam, tentu kesalahan itu terletak pada makmum tersebut.

Oleh karena itu, aku tegaskan bahwa kita bertakbir saat mulai membungkukkan badan dan upayakan takbir selesai sebelum rukuk sempurna. Jika takbir belum selesai ketika rukuk telah sempurna, maka hal itu tidak mengapa. Pendapat yang mengatakan bahwa salat menjadi rusak adalah pendapat yang lemah. Pendapat ini tidak mungkin diamalkan kecuali dengan bersusah-payah.

Ketika hendak rukuk kedua tangan diangkat hingga sejajar dengan kedua bahu atau kedua daun telinga, sebagaimana dijelaskan pada pembahasan takbiratul ihram. Dalilnya adalah hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir untuk rukuk. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kedua tangan di sini adalah kedua telapak tangan, sesuai dengan kaidah, “Bila tangan dimutlakkan, maka yang dimaksud adalah telapak tangan.”

Kemudian kedua tangan diletakkan pada kedua lutut dengan jari-jari merentang. Orang yang rukuk harus bertelekan (bertumpu) dengan kedua tangan pada lutut, bukan sekedar kedua tangan menempel pada lutut.

Jari-jari yang merentang adalah jari-jari yang terbuka, dan tidak mengepal. Orang yang rukuk seolah-olah mencengkeram kedua lututnya dengan jari-jari kedua tangannya.

Posisi punggung ketika rukuk adalah lurus mendatar. Orang yang rukuk tidak melengkungkan punggungnya dan tidak pula merendahkan bagian depan punggungnya sehingga seperti orang yang hendak menjulurkan wajah ke tanah. Hal itu dijelaskan dalam as-Sunnah dimana Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam rukuk, beliau tidak pernah mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.” (HR Muslim)

Demikian juga hadis riwayat Imam Ahmad, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu meluruskan dan meratakan punggungnya.” (HR Ahmad)

Ini menunjukkan sempurnanya beliau meluruskan punggung, sehingga punggung dan kepala sejajar, sementara punggung lurus.

Demikian pula, kedua lengan dijauhkan dari tubuh selama tidak menyulitkan. Jika posisi itu mengganggu orang di sebelahnya, maka tidak boleh mengamalkan sunah sambil mengganggu orang lain. Gangguan itu dapat merusak konsentrasi orang di sebelahnya. Bahkan dikhawatirkan itu termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا

Orangorang yang menyakiti orangorang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab: 58)

Gangguan yang dimaksud dalam ayat ini adalah gangguan ucapan dan perbuatan.

Rukuk yang wajib adalah membungkukkan badan hingga lebih dekat kepada rukuk yang sempurna daripada berdiri yang sempurna. Artinya, orang yang melihatnya tahu bahwa ia sedang rukuk.

Baca juga: MENGUCAPKAN AL-FATIHAH

Baca juga: MENGUCAPKAN AAMIIN

Baca juga: MENGUCAPKAN SURAT AL-QUR’AN SEUSAI AL-FATIHAH

Baca juga: POSISI KAKI SAAT BERDIRI

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih