MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUJAHIRIN DAN ANSHAR

MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUJAHIRIN DAN ANSHAR

Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, kebanyakan dari mereka tidak memiliki apapun, karena mereka telah meninggalkan seluruh harta benda mereka di Makkah. Meskipun mereka bukan petani dan tidak terbiasa bertani, sementara orang-orang Anshar adalah para petani, orang-orang Anshar tetap memberikan bantuan semampu mereka. Mereka memberikan kurma, bahkan juga kebun-kebun untuk digarap. Separuh hasil perkebunan itu diberikan kepada kaum Muhajirin, namun ada juga diberikan seluruhnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, “Sesungguhnya saudara-saudara kalian dari kaum Muhajirin telah meninggalkan harta dan anak-anak mereka. Mereka datang kepada kalian dengan meninggalkan segalanya.

Orang-orang Anshar pun menimpali, “Bagikanlah kebun-kebun kurma ini antara kami dan saudara-saudara kami! Bagikan pula harta-harta kami kepada mereka bersama kami!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana jika dengan cara yang lain?

Mereka pun bertanya, “Bagaimana itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Mereka adalah kaum yang tidak terbiasa bertani. Maka ajaklah mereka bekerja bersama kalian, lalu bagilah hasilnya dengan mereka.”

Orang-orang Anshar menyambut dengan penuh keikhlasan, “Baiklah! Kami mendengar dan menaati.”

Ketika Allah membuka Khaibar bagi kaum muslimin, kaum Muhajirin tidak lagi membutuhkan harta-harta yang sebelumnya diberikan kepada mereka. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengembalikan kebun kurma yang pernah dihadiahkan kepada beliau, setelah kaum muslimin berhasil menaklukkan Bani Quraizhah dan Bani an-Nadhir.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang Anshar merupakan bukti nyata dari kecintaan mereka dan sikap mereka yang mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri. Atas kemuliaan itu, Allah pun memberikan kesaksian dalam firman-Nya: “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan beriman sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mencintai orang-orang yang berhijrah ke tempat mereka. Mereka tidak menyimpan keinginan dalam hati terhadap apa yang diberikan kepada (kaum) Muhajirin, dan mereka mengutamakan (kaum) Muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga dalam keadaan membutuhkan.” (QS al-Hasyr: 9)

Bahkan kebaikan mereka sampai pada batas dimana mereka mengatakan kepada Rasulullah, “Jika engkau mau, ambillah rumah-rumah kami!”

Namun beliau menolaknya dengan cara yang baik. Sebagai gantinya, beliau membangun rumah-rumah untuk para sahabat di atas tanah yang dihibahkan oleh kaum Anshar, serta di atas tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kaum Anshar untuk memberikan bagian tanah Bahrain kepada mereka. Namun mereka berkata, “Tidak, kecuali engkau juga memberikan hal yang sama kepada saudara-saudara kami dari kalangan Muhajirin.”

Beliau berkata, “Tunggulah hingga kalian bertemu denganku kelak. Sesungguhnya, sepeninggalku nanti, kalian akan menjumpai para pemimpin yang egois.”

Mereka sama sekali tidak ragu dalam menjamu tamu-tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapar. Namun, beliau tidak menemukan apa pun di rumah istri-istrinya yang bisa diberikan kepadanya. Beliau pun meminta para sahabat untuk menjamunya. Seorang sahabat dari kalangan Anshar menyanggupi, meskipun ia hanya memiliki makan malam yang cukup untuk istri dan anak-anaknya. Ia pun menidurkan anak-anaknya, lalu memberikan makanan keluarganya kepada tamu tersebut. Ia duduk menemani tamunya, sementara istrinya mematikan lampu dan berpura-pura seolah mereka ikut makan bersama. Padahal, malam itu mereka lewati dalam keadaan lapar.

Berkenaan dengan peristiwa ini, Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka juga dalam keadaan memerlukan.” (QS al-Hasyr: 9)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menetapkan suatu aturan yang dapat memperbaiki kondisi ekonomi kaum Muhajirin, serta membuat mereka merasa bahwa mereka bukan beban bagi saudara-saudara mereka dari kalangan Anshar. Oleh karena itu, pada tahun pertama hijrah, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa pengumuman tentang persaudaraan dilakukan di rumah Anas bin Malik. Riwayat lain menyebutkan bahwa hal itu terjadi di masjid. Ada juga yang berpendapat bahwa peristiwa tersebut terjadi dua kali: pertama, persaudaraan antara sesama kaum Muhajirin yang dilakukan di Makkah; dan kedua, persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam ikatan kebenaran. Mereka saling menjaga dan saling mewarisi ketika salah seorang wafat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Jumlah mereka mencapai sembilan puluh orang: empat puluh lima dari kalangan Muhajirin dan empat puluh lima dari kalangan Anshar. Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa jumlah mereka seratus orang, lima puluh dari masing-masing kelompok.

Salah satu tujuan dari persaudaraan ini adalah karena sebagian kaum Muhajirin lebih kuat dalam hal harta, keluarga, dan kekuatan dibandingkan yang lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara yang kuat dan yang lemah, agar yang lemah mendapatkan penguatan dan yang kuat memperoleh dukungan dari yang lemah. Contohnya adalah persaudaraan beliau dengan Ali radhiyallahu ‘anhu. Sejak sebelum masa kenabian, beliau telah mengasuh Ali, dan pengasuhan itu terus berlanjut setelah beliau diangkat menjadi nabi.

Demikian pula persaudaraan antara Hamzah radhiyallahu ‘anhu dan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu. Meskipun Zaid adalah pelayan mereka, hubungan persaudaraan di antara keduanya sangat kuat. Keduanya sama-sama berasal dari kalangan Muhajirin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan dirinya dengan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu; Zubair dengan Ibnu Mas’ud; Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin ar-Rabi’; Salman al-Farisi dengan Abu Darda; Abu Ubaidah dengan Abu Thalhah; Umar bin Khaththab dengan Utban bin Malik; dan Abu Bakr dengan Kharijah bin Zaid radhiyallahu ‘anhum.

Salah satu bentuk nyata dari penerapan ikatan persaudaraan adalah kisah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu dan Sa’ad bin ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu. Saat itu, Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang Anshar yang paling kaya. Aku akan membagi separuh hartaku denganmu. Pilihlah salah satu dari kedua istriku yang engkau sukai, maka akan kuceraikan dia untukmu. Setelah masa ‘iddahnya selesai, aku akan menikahkannya denganmu.”

Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Semoga Allah memberkahimu dalam keluargamu dan hartamu. Aku tidak membutuhkan itu. Tunjukkanlah kepadaku pasar tempat orang berdagang!”

Setelah ditunjukkan pasar Bani Qainuqa’, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu segera pergi ke sana dan membeli keju serta mentega. Hari demi hari, ia terus berdagang di pasar hingga tidak lagi membutuhkan bantuan harta dari saudaranya, Sa’ad bin ar-Rabi’. Kemudian ia menikahi seorang wanita Anshar dan memberinya mahar berupa emas seberat biji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memintanya untuk mengadakan walimah, meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan para sahabat untuk menghilangkan rasa asing dalam diri kaum Muhajirin, agar mereka terhibur setelah berpisah dari keluarga dan kerabat, serta agar mereka saling menguatkan satu sama lain. Ketika Islam telah kokoh, berbagai ikatan menyatu, keterasingan pun sirna, dan kaum Muhajirin mulai berbaur dalam kehidupan baru serta belajar mencari rezeki. Maka Allah membatalkan hukum waris yang sebelumnya berlaku dalam ikatan persaudaraan tersebut, dan menyisakan ukhuwah Islamiyah di antara mereka.

Terkait hal ini, Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Anfal: 75)

Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali jika kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab (Allah).” (QS al-Ahzab: 6)

Hal itu terjadi pada saat Perang Badar. Namun, ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa hal itu terjadi setelah Perang Uhud..

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa yang dihapus dari sistem persaudaraan hanyalah hukum waris, sedangkan kewajiban untuk saling menolong, memenuhi kebutuhan saudara, dan memberi nasihat tetap berlaku. Selain itu, antara dua orang yang dipersaudarakan masih dimungkinkan untuk saling mewarisi melalui wasiat.

Di antara bukti bahwa sistem persaudaraan tetap berlangsung meskipun tanpa hak waris adalah persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara Salman al-Farisi dan Abu Darda. Padahal, Salman masuk Islam antara Perang Uhud dan Perang Khandaq. Demikian pula persaudaraan antara Muawiyah bin Abu Sufyan dan al-Hutayt at-Tamimi, sementara Muawiyah baru masuk Islam pada saat penaklukan Kota Makkah, sedangkan al-Hutayt masuk Islam ketika datang bersama utusan Bani Tamim pada awal tahun kesembilan Hijriyah, yang dikenal sebagai Tahun Delegasi. Begitu juga dengan persaudaraan antara Ja’far bin Abu Thalib dan Mu’adz bin Jabal. Ja’far kembali dari Habasyah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru saja pulang dari Khaibar, yaitu pada awal tahun ketujuh Hijriyah.

Baca sebelumnya: MEMBANGUN MASJID

Baca setelahnya: PIAGAM MADINAH: KONSTITUSI PERDAMAIAN PERTAMA DI DUNIA ISLAM

(Prof Dr Mahdi Rizqullah Ahmad)

Kisah Sirah Nabawiyah