Kahin (dukun) adalah orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib atau isi hati. Ia meramalkan sesuatu yang akan terjadi dengan bantuan setan atau jin yang menguping pembicaraan malaikat di langit. Mereka (para kahin) mendatangi jin dan meminta informasi tentang berbagai peristiwa, lalu jin menyampaikannya kepada mereka.
Rammal (peramal dengan pasir) adalah orang yang melangkah atau memukul di atas pasir, lalu menggunakan pola yang terbentuk sebagai panduan untuk mengetahui perkara-perkara gaib yang akan terjadi di masa depan.
Munajjim (astrolog/ahli nujum) adalah orang yang mengamati bintang-bintang dan menggunakan posisi serta gerakannya untuk meramalkan berbagai kejadian di muka bumi, seperti peperangan, kemenangan, kebahagiaan, kesedihan, dan lain-lain yang termasuk dalam perkara gaib.
Arraf mencakup setiap orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib, seperti dukun, ahli nujum, peramal dan orang yang membaca pada telapak tangan atau cangkir.
Semua itu hanyalah perbuatan setan yang mencuri dengar perkara-perkara yang diputuskan di langit, lalu memberitahukannya kepada setan lain hingga akhirnya sampai ke telinga setan berwujud manusia, seperti dukun, peramal, atau ahli nujum. Mereka kemudian mencampurkan kebenaran yang didengarnya dengan seratus kebohongan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خَضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ. فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُو السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُو السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ– فَيَسْمَعُ ا الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ. ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوْ الْكَاهِنِ. فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا. وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ. فَيُقَالُ أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنْ السَّمَاءِ
“Ketika Allah menetapkan satu perkara di langit, para malaikat mengepakkan sayap-sayap mereka karena tunduk kepada firman-Nya, seolah-olah (firman Allah yang didengarnya itu) gemerincing rantai yang berada di atas batu besar sehingga memekakkan mereka. Apabila rasa takut telah hilang di hati mereka, mereka berkata, ‘Apa yang difirmankan Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘(Perkataan) yang benar, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar’ sehingga terdengarlah oleh pencuri berita langit (jin) dan pencuri berita langit yang lain. (Mereka bersusun), sebagian di atas sebagian yang lain.” Sufyan, salah seorang perawi hadis ini menggambarkannya dengan memiringkan telapak tangannya dan merenggangkan jari-jemarinya. “Apabila para pencuri berita langit itu mencuri dengar berita itu, mereka menyampaikannya kepada yang berada di bawahnya, lalu yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang berada di bawahnya lagi hingga sampailah ke lidah tukang sihir atau dukun. Terkadang jin-jin itu terkena panah-panah api (meteor) sebelum menyampaikan berita itu. Dan terkadang jin-jin itu sempat menyampaikan berita itu sebelum terkena panah-panah api, lalu dengan berita yang didengarnya tukang sihir atau dukun melakukan seratus kedustaan. Orang-orang yang mendatangi tukang sihir atau dukun berkata, ‘Bukankah dia telah mengabarkan kepada kita demikian dan demikian pada hari ini dan hari itu?’ Akhirnya tukang sihir atau dukun pun dipercaya karena satu kalimat yang telah didengarnya dari langit.” (HR al-Bukhari)
Dukun, peramal, ahli nujum, dan sejenisnya semuanya kafir kepada Allah karena mengaku mengetahui perkara gaib yang Allah khususkan bagi Diri-Nya sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗوَمَا يَشْعُرُوْنَ اَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ
“Katakanlah, ‘Tidak seorang pun di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib, kecuali Allah.’ Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (QS an-Naml: 65)
Allah Ta’ala juga berfirman:
عٰلِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖٓ اَحَدًا
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu.” (QS al-Jin: 26)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS al-An’am: 59)
Dahulu, sebelum Nabi diutus, jumlah setan yang mencuri dengar perkara-perkara yang diputuskan di langit cukup banyak. Setelah kenabian, jumlah mereka berkurang karena Allah menjaga langit dengan panah-panah api (meteor). Kebanyakan yang disampaikan jin kepada kekasih mereka dari kalangan manusia disebut kasyaf, karamah, dan walayah. Akibatnya, banyak manusia terperdaya oleh mereka. Manusia mengira mereka adalah wali-wali Allah, padahal mereka adalah wali-wali setan, sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًاۚ يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِّنَ الْاِنْسِ ۚوَقَالَ اَوْلِيَاۤؤُهُمْ مِّنَ الْاِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَّبَلَغْنَآ اَجَلَنَا الَّذِيْٓ اَجَّلْتَ لَنَا
“Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman), ‘Wahai golongan jin, kalian telah banyak (menyesatkan) manusia.’ Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, ‘Ya Rabb kami, kami telah saling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan buat kami telah datang.’” (QS al-An’am: 128)
التَّنْجِيمْ atau “perbintangan,” adalah mengambil dalil berdasarkan posisi bintang-bintang untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi. Orang yang melakukan perbintangan mengaitkan apa yang sedang atau akan terjadi di bumi dengan gerakan-gerakan bintang, kemunculan dan tenggelamnya, serta jarak dan kedekatannya, dan hal-hal semisal itu.
Ilmu perbintangan adalah salah satu jenis sihir. Hukumnya haram karena dibangun di atas sangkaan-sangkaan yang tidak ada hakikatnya. Tidak ada hubungan antara apa yang terjadi di bumi dengan apa yang terjadi di langit. Oleh karena itu, ketika terjadi gerhana matahari di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari meninggalnya Ibrahim, putra beliau, dan orang-orang berkata, “Gerhana matahari terjadi karena meninggalnya Ibrahim,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian dan kelahiran seseorang.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan an-Nasa-i)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan batilnya hubungan antara peristiwa-peristiwa di bumi dengan posisi bintang-bintang. Dan memang demikianlah yang sebenarnya. Ilmu perbintangan dengan tujuan seperti ini adalah salah satu jenis sihir yang menyebabkan prasangka dan emosi jiwa yang tidak memiliki hakikat. Masa depan manusia diramal berdasarkan kebohongan. Akibatnya, manusia terjatuh ke dalam prasangka buruk, pesimisme, dan kebingungan yang tiada ujungnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita agar kita tidak datang kepada dukun, peramal dan ahli nujum untuk bertanya kepada mereka lalu membenarkan apa yang mereka katakan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka dia telah kufur dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya sesuatu kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR Muslim)
Kedua hadis di atas menyiratkan sejumlah hukum berikut:
🏀 Barangsiapa mendatangi dukun atau orang yang mengaku mampu mengetahui perkara-perkara gaib, lalu membenarkan apa yang dia katakan, maka dia kafir. Hal itu karena dia mendustakan al-Qur’an yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang perkara-perkara gaib adalah khusus bagi Allah Ta’ala. Dengan membenarkan dukun tersebut, ia telah mengakui bahwa sang dukun mampu mengetahui perkara-perkara gaib dan menyampaikannya.
🏀 Barangsiapa mendatangi dukun atau orang yang mengaku mampu mengetahui perkara-perkara gaib untuk bertanya tentang suatu hal, tetapi tidak membenarkannya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas.
🏀 Barangsiapa mendatangi dukun atau orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib untuk mengujinya dan mengetahui keadaannya dengan tetap mengingkarinya, lalu perkaranya diajukan agar dukun atau orang tersebut mendapatkan hukuman, maka dia tidak berdosa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa dia mendapatkan pahala karena telah berupaya mencegah efek buruk dari dukun-dukun dan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib serta memutus kegiatan mereka.
Dalilnya adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendatangi Ibnu Shayyad. Ketika itu Nabi menyembunyikan sesuatu untuk Ibnu Shayyad pada diri beliau. Kemudian beliau bertanya kepadanya tentang apa yang beliau sembunyikan itu. Ibnu Shayyad berkata, “ad-Dukh.” Maksudnya kabut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْسَأْ. فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
“Diamlah engkau dalam keadaan hina, karena engkau tidak lebih dari seorang dukun.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sebagian orang memanfaatkan munculnya bintang-bintang untuk mencari tahu waktu-waktu tertentu, musim, dan pergantian musim. Perbuatan ini tidak mengapa dan tidak berdosa. Contohnya adalah ucapan seseorang bahwa jika bintang tertentu muncul, maka musim hujan akan datang, atau waktu untuk memeram buah telah tiba, atau hal-hal semisal itu.
Baca juga: LARANGAN MENDATANGI DUKUN DAN MEMBENARKAN PERKATAANNYA
Baca juga: MENGANGGAP ENTENG PERKARA YANG MEMBINASAKAN
Baca juga: HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN MANDI