Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR Abu Dawud, al-Bukhari dan Ahmad. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa)
PENJELASAN
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa mendatangi dukun.” Dukun adalah orang-orang yang berada di kabilah-kabilah Arab yang didatangi setan. Setan mengabarkan kepada mereka berita-berita langit yang didengarnya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lalu membenarkannya.” Yakni mengatakan benar dan berkata, “Dia benar.” Membenarkan berita artinya menegaskan dan mengatakan bahwa berita itu benar.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang dikatakannya,” bermakna umum untuk apa saja yang dikatakan oleh dukun. Bahkan kata-kata yang mungkin saja benar tetap tidak boleh dibenarkan, karena pada dasarnya kata-kata mereka dusta.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Yaitu ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihissalam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ؛ نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُ
“Dan sungguh (al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Rabb seluruh alam yang dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril).” (QS asy-Syu’ara’: 192-193)
قُلْ نَزَّلَهٗ رُوْحُ الْقُدُسِ مِنْ رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
“Katakanlah, ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an itu dari Rabb-mu dengan kebenaran.” (QS an-Nahl: 102)
Dengan demikian kita tahu bahwa pendapat yang kuat terkait hadis qudsi adalah Kalamullah secara makna. Adapun lafaznya berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau tiru dari Allah. Jika kita tidak menyatakan demikian, tentu sanad hadis qudsi lebih tinggi daripada al-Qur’an, karena Rasulullah meriwayatkan hadis qudsi secara langsung dari Allah, sementara al-Qur’an melalui perantara Malaikat Jibril.
Jika hadis qudsi lafaznya dari Allah, tentu hukum-hukum al-Qur’an berlaku padanya, karena syariat tidak membedakan dua hal yang sama. Padahal, seperti kita ketahui bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak berlaku pada hadis qudsi. Membaca al-Qur’an adalah ibadah, sedangkan membaca hadis qudsi tidak dinilai ibadah. al-Qur’an dibaca dalam salat, sedangkan hadis qudsi tidak dibaca dalam salat. Lafaz al-Qur’an adalah mukjizat, sedangkan lafaz hadis qudsi bukan mukjizat. Seandainya kalamnya dari Allah, tentu hadis qudsi merupakan mukjizat, karena Kalamullah tidak sama seperti kalam manusia. Juga berdasarkan kesepakatan ulama, jika seorang musyrik datang meminta perlindungan untuk mendengar Kalamullah, lalu kita perdengarkan kepadanya hadis-hadis qudsi, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa si musyrik itu telah mendengarkan Kalamullah. Ini semua menunjukkan bahwa hadis qudsi bukan Kalamullah. Inilah pendapat yang sahih dari dua pendapat ulama tentang hal ini. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa hadis qudsi lafaznya dari Allah.
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana Anda mensahihkan pendapat ini padahal Nabi menisbatkan hadis qudsi kepada Allah dengan bersabda, “Allah Ta’ala berfirman,” dan isi yang disampaikan adalah yang beliau ucapkan?”
Kami jawab: Ini sama seperti yang Allah firmankan tentang Musa, Fir’aun dan Ibrahim. Musa berkata demikian dan demikian, Fir’aun berkata demikian dan demikian, Ibrahim berkata demikian dan demikian, padahal kita tahu bahwa lafaz tersebut bukan perkataan mereka karena bahasa mereka bukan Bahasa Arab. Kata-kata tersebut hanya dinukil dari mereka. Buktinya, kisah-kisah di dalam al-Qur’an berbeda dari segi panjang dan pendeknya kisah, dan juga kata-katanya. Ini berarti Allah menukil kisah-kisah tersebut secara makna. Namun demikian, Allah menisbatkannya kepada sumber kisah, seperti yang Allah Ta’ala firmankan:
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖٓ اِنَّنِيْ بَرَاۤءٌ مِّمَّا تَعْبُدُوْنَۙ اِلَّا الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَاِنَّهٗ سَيَهْدِيْنِ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali (kalian menyembah) Allah yang menciptakanku.” (QS az-Zukhruf: 26-27)
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘alaihissalam:
قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهِ اسْتَعِيْنُوْا بِاللّٰهِ وَاصْبِرُوْاۚ اِنَّ الْاَرْضَ لِلّٰهِ ۗيُوْرِثُهَا مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Musa berkata kepada kaumnya, ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS al-A’raf: 128)
Allah Ta’ala berfirman tentang Fir’aun:
قَالَ لِلْمَلَاِ حَوْلَهٗٓ اِنَّ هٰذَا لَسٰحِرٌ عَلِيْمٌ
“Dia (Fir’aun) berkata kepada para pemuka di sekelilingnya, ‘Sesungguhnya dia (Musa) ini pasti seorang tukang sihir yang pandai.’” (QS.asy-Syu’ara: 34)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “terhadap apa (al–Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammadi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ahli sunah mengatakan bahwa setiap kalimat yang mensifati al-Qur’an diturunkan dari Allah, maka kalimat itu menunjukkan ketinggian Zat Allah, dan menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah. Hal itu karena ‘turun’ adalah perpindahan dari atas ke bawah, dan kalam tentu bersumber dari siapa yang mengucapkannya.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “maka ia telah kufur terhadap apa (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Alasannya, Allah menyebut melalui firman-Nya apa yang diturunkan kepada Muhammad:
قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib kecuali Allah.” (QS an-Naml: 65)
Rangkaian kalam dalam ayat ini adalah metode pembatasan yang paling kuat karena mengandung penafian dan penegasan. Artinya, orang yang membenarkan perkataan dukun terkait ilmu gaib padahal ia tahu bahwa tidak ada yang mengetahui hal gaib kecuali Allah, maka ia telah kafir dengan kekafiran akbar yang mengeluarkannya dari agama. Namun jika ia tidak tahu dan ia tidak meyakini bahwa di dalam al-Qur’an ada kedustaan, maka ia kafir dengan kekafiran di bawah kekafiran (kekafiran yang tidak mengeluarkannya dari agama).
Baca juga: BOLEHKAH MENDATANGI DUKUN DAN BERTANYA KEPADANYA?
Baca juga: HARAMNYA MENDATANGI DUKUN ATAU PERAMAL
Baca juga: AL-QUR’AN MEMBERI SYAFAAT PADA HARI KIAMAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)