Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebilah pedang pada hari Perang Uhud, lalu bersabda,
مَنْ يَأْخُذُ مِنِّي هَذَا؟
“Siapa yang akan mengambil pedang ini dariku?”
Para sahabat mengacungkan tanganya. Masing-masing dari mereka berkata, “Aku, aku.”
Beliau bersabda,
فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ؟
“Siapa yang akan mengambilnya dengan memenuhi haknya?”
Para sahabat menahan diri, lalu Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.”
Maka dia (Abu Dujanah) mengambilnya, lalu memenggal kepala orang-orang musyrik dengan pedang itu. (HR Muslim)
Nama Abu Dujanah adalah Simak bin Kharasyah.
Perkataannya “ahjama al-qawm” berarti mereka berhenti atau tidak maju.
Sedangkan “falaqa bihi” berarti ia membelah, dan “hama al-musyrikin” berarti kepala-kepala mereka.
PENJELASAN
Dalam hadis ini, Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dalam Perang Uhud, salah satu peperangan besar yang beliau pimpin secara langsung.
Gunung Uhud terletak dekat Madinah. Peperangan ini terjadi karena kaum Quraisy, setelah mengalami kekalahan pada Perang Badar dan kehilangan para pemimpin serta pembesar mereka, ingin membalas dendam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun datang ke Madinah dengan maksud menyerang beliau.
Ketika mengetahui kedatangan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat. Sebagian sahabat menyarankan agar tetap bertahan di Madinah. Jika musuh memasuki kota, mereka bisa dihujani anak panah dari dalam rumah-rumah yang menjadi benteng pertahanan. Namun, sebagian lainnya —terutama para pemuda dan mereka yang tidak ikut serta dalam Perang Badar— menyarankan agar keluar menghadapi musuh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya, mengenakan baju perangnya, kemudian keluar dan memerintahkan kaum muslimin untuk keluar menghadapi musuh di Uhud.
Maka kaum muslimin dan kaum Quraisy bertemu di Uhud. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun para sahabat dalam barisan yang tertata dengan sangat baik. Beliau menempatkan para pemanah yang mahir dalam memanah —berjumlah lima puluh orang— di atas gunung dan menunjuk Abdullah bin Jubair radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin mereka.
Beliau bersabda kepada mereka,
لَا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ، وَابْقَوْا فِي مَكَانِكُمْ، سَوَاءٌ كَانَتْ لَنَا أَوْ عَلَيْنَا
“Jangan tinggalkan posisi kalian. Tetaplah di tempat kalian, baik kita menang maupun kalah.”
Ketika kedua pasukan berhadapan, kaum musyrik mengalami kekalahan dan lari mundur. Sementara itu, kaum muslimin mulai mengumpulkan harta rampasan perang.
Para pemanah yang berada di atas gunung berkata, “Turunlah, kita ambil dan kumpulkan harta rampasan perang.”
Pemimpin mereka mengingatkan mereka dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka agar tetap di tempat mereka, baik kemenangan berpihak kepada kaum muslimin maupun kekalahan. Mereka radhiyallahu ‘anhum mengira bahwa perang telah selesai, karena mereka melihat kaum musyrik telah lari dan hanya tersisa sedikit dari mereka.
Ketika pasukan berkuda Quraisy melihat bahwa gunung telah kosong dari para pemanah, mereka menyerang kaum muslimin dari belakang, lalu bercampur dengan kaum muslimin. Maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Yang Mahaperkasa dan Mahabijaksana Jalla wa ‘Ala. Sebanyak tujuh puluh orang dari kaum muslimin gugur sebagai syuhada, di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikenal sebagai Singa Allah dan Singa Rasul-Nya.
Ketika kaum muslimin mengalami musibah besar ini, mereka berkata, “Dari mana (datangnya musibah) ini? Bagaimana mungkin kami dikalahkan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kami? Kami adalah tentara Allah, sedangkan mereka bersama setan-setan dan merupakan tentara setan.”
Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada mereka:
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“Ataukah ketika musibah (kekalahan) menimpa kalian, padahal kalian telah menimpakan (kekalahan) dua kali lipat darinya (kepada musuh kalian pada Perang Badar), kalian berkata, ‘Dari mana ini (datang kepada kami)?’ Katakanlah: ‘Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri.’” (QS Ali Imran: 165)
Kalian sendirilah penyebabnya, karena kalian telah bermaksiat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
حَتَّىٰ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِّن بَعْدِ مَا أَرَاكُم مَّا تُحِبُّونَ
“(Ingatlah) ketika kalian lemah dan berselisih dalam urusan (perang), serta mendurhakai (perintah Rasul) setelah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (QS Ali Imran: 152)
Artinya, terjadi sesuatu yang kalian benci.
Maka terjadilah apa yang telah terjadi, sebagai bagian dari hikmah-hikmah agung yang disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam Surah Ali ‘Imran.
al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah membahasnya dengan sangat baik dalam kitabnya Zad al-Ma’ad. Aku belum pernah melihat pembahasan sebaik itu dalam menjelaskan hikmah-hikmah agung dari peperangan ini.
Yang penting dalam kisah ini adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebilah pedang, lalu berkata kepada para sahabatnya, “Siapa yang akan mengambil pedang ini dariku?”
Semua sahabat berkata, “Kami akan mengambilnya.” Mereka mengangkat dan mengulurkan tangan mereka seraya berkata, “Aku, aku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang akan mengambilnya dengan memenuhi haknya?”
Para sahabat menahan diri, karena mereka tidak tahu apa haknya. Mereka khawatir haknya sangat besar sehingga mereka tidak mampu memenuhinya. Mereka juga takut tidak sanggup menjalankannya, sehingga mereka telah mengambil pedang itu dengan janji kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi kemudian tidak dapat memenuhinya.
Namun, Allah memberi taufik kepada Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu sehingga ia berkata, “Aku akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.”
Ia pun mengambil pedang itu dengan memenuhi haknya, yaitu menggunakannya untuk menyerang musuh hingga pedang itu patah. Ia benar-benar menunaikan haknya dengan bertempur dengannya, hingga membelah kepala orang-orang musyrik.
Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa seseorang seharusnya segera melakukan kebaikan dan tidak menunda-nundanya, serta meminta pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Jika ia meminta pertolongan kepada Allah dan berbaik sangka kepada-Nya, maka Allah pasti akan menolongnya.
Banyak orang mungkin merasa bahwa ibadah itu terlalu banyak atau menganggapnya sangat berat, sehingga mereka merasa tidak sanggup dan akhirnya mundur. Namun, kepada mereka dikatakan, “Mintalah pertolongan kepada Allah, bertawakallah kepada-Nya.”
Jika kamu meminta pertolongan kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, dan melakukan hal-hal yang diridhai-Nya ‘Azza wa Jalla, maka bergembiralah dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menolongmu, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah (menjadi penolong) baginya.” (QS ath-Thalaaq: 3)
Dalam hadis ini juga terdapat dalil tentang baiknya perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya. Beliau tidak memberikan pedang itu secara khusus kepada orang tertentu, melainkan menjadikannya terbuka untuk semua orang.
Demikian pula, orang yang Allah jadikan sebagai pemimpin bagi suatu kaum tidak boleh berlaku pilih kasih terhadap siapa pun, dan tidak bertindak dengan cara yang dapat dianggap sebagai bentuk pilih kasih. Jika ia bersikap pilih kasih atau bertindak dengan cara yang dianggap sebagai bentuk pilih kasih, hal itu akan menyebabkan perpecahan di antara kaumnya, dan ini dapat berdampak buruk terhadap persatuan mereka.
Adapun jika seseorang memiliki keistimewaan atau keunggulan yang tidak dimiliki oleh orang lain, lalu ia diberikan sesuatu secara khusus, tetapi dengan penjelasan kepada kelompoknya bahwa pemberian itu karena keunggulan tersebut yang tidak ada pada mereka, maka hal ini tidak mengapa.
Baca juga: JAGALAH ALLAH, NISCAYA ALLAH MENJAGAMU
Baca juga: SABAR DALAM BERDAKWAH WALAU DISAKITI KAUMNYA
Baca juga: IKHLAS DALAM BERAMAL DAN MENAFKAHKAN HARTA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)