HARI KIAMAT – KEADAAN MANUSIA KETIKA DIKUMPULKAN

HARI KIAMAT – KEADAAN MANUSIA KETIKA DIKUMPULKAN

Manusia dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكُمْ مَحْشُورُونَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا

Sesungguhnya kalian akan dikumpulkan (kepada Allah) dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan.”

Kemudian beliau membaca:

كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ

Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati. Sungguh Kami akan melaksanakannya.” (QS al-Anbiya’: 104) (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hufat (tidak beralas kaki) yaitu tidak bersandal atau bersepatu; ‘urat (telanjang) yakni tidak berpakaian; dan ghurlan (tidak dikhitan) yaitu tidak satu pun berkurang pada tubuhnya. Daging di ujung penis yang dahulu di dunia dikhitan dikembalikan ke tempat semula pada Hari Kiamat, karena Allah Ta’ala berfirman:

كَمَا بَدَأْنَآ اَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيْدُهٗ

Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.” (QS al-Anbiya: 104)

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُحْشَرُالنَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا

Manusia dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kaum perempuan dan kaum laki-laki melihat (aurat) satu sama lain?”

Beliau menjawab,

يَاعَائِشَةِ، الْأَ مْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَلِكَ

Wahai Aisyah, perkaranya lebih berat daripada sekadar memerhatikan hal itu.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

 مِنْ أَنْ يَنْظُرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ

…daripada sekedar melihat satu sama lain.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Manusia dihidupkan kembali dalam keadaan utuh, tidak berkurang sedikit pun. Mereka kembali dalam keadaan seperti itu. Laki-laki dan perempuan berbaur jadi satu.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kaum perempuan dan kaum laki-laki melihat (aurat) satu sama lain?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Aisyah, perkaranya lebih berat daripada sekedar memerhatikan hal itu – dalam riwayat lain – daripada sekadar melihat satu sama lain.”

Meskipun memungkinkan untuk saling melihat, namun mereka tidak saling melihat karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِ؛ وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِ؛ وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِ؛ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِ

Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS Abasa: 34-37)

Laki-laki tidak melihat perempuan, begitu pula sebaliknya. Bahkan bapak lari dari anak dan istrinya karena khawatir ia dituntut untuk mengembalikan hak mereka. Dalam keadaan demikian, tidak mungkin laki-laki melihat perempuan atau sebaliknya. Perkaranya lebih besar dan lebih dahsyat daripada sekedar melihat satu sama lain.

Beberapa nash hadis mengabarkan bahwa setiap orang yang mati akan dibangkitkan bersama pakaian yang ia kenakan sewaktu meninggal dunia.

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa tatkala mendekati ajal ia meminta pakaian baru. Kemudian ia pun mengenakannya, lalu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمَيِّتَ يُبْعَثُ فِيْ ثِيَابِهِ الَّتِيْ يَمُوْتُ فِيْهَا

Sesungguhnya orang mati akan dibangkitkan dengan memakai pakaiannya sewaktu ia meninggal dunia.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan al-Hakim. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)

al-Baihaqi menyelaraskan hadis ini dan hadis sebelumnya berdasarkan tiga tinjauan berikut:

Pertama. Pakaian tersebut hancur setelah manusia dibangkitkan kembali dari kubur. Ketika mendatangi Padang Mahsyar mereka dalam keadaan telanjang, hingga mereka memakai pakaian Surga.

Kedua. Setelah dibangkitkan para nabi berpakaian terlebih dahulu, lalu para shiddiqin, lalu orang-orang setelah mereka, sesuai dengan tingkat kesalehan, hingga setiap manusia memakai pakaian yang dikenakannya tatkala meninggal dunia. Sesudah masuk Surga, mereka menanggalkannya dan memakai pakaian Surga.

Ketiga. Maksud pakaian di sini adalah amal saleh. Jadi, makna sebenarnya ialah manusia dibangkitkan sesuai dengan amal saleh masing-masing tatkala meninggal dunia, baik atau buruk.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌ

Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” (QS al-A’raf: 26)

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

Dan bersihkanlah pakaianmu.” (QS al-Muddatstsir: 4)

al-Baihaqi menguatkan argumentasi terakhir dengan menukil hadis al-A’masy, dari Sufyan ats-Tsauri, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

Setiap hamba akan dibangkitkan sesuai dengan keadaannya sewaktu meninggal dunia.” (HR Muslim)

Tidak bisa dipahami dari hadis tersebut bahwa seorang hamba kelak dibangkitkan dengan kain kafannya atau pakaiannya sewaktu meninggal dunia. Akan tetapi, maksudnya adalah seorang hamba dibangkitkan sesuai dengan kadar keimanan dan kekufurannya, kadar keyakinan dan keraguannya, sehingga ia dibangkitkan sesuai dengan amal saleh menjelang kematiannya. Pemahaman ini berdasarkan hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا أَصَابَ الْعَذَابُ مَنْ كَانَ فِيهِمْ ثُمَّ بُعِثُوا عَلَى أَعْمَالِهِمْ

Jika Allah hendak mengazab suatu kaum, maka azab itu akan menimpa siapa saja yang ada di tengah mereka, lalu mereka dibangkitkan berdasarkan amal mereka.” (HR Muslim)

Dengan demikian, orang yang meninggal dengan pakaian ihram akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika seorang laki-laki sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ia terjatuh dari untanya sehingga meninggal dunia dalam keadaan berpakaian ihram. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ، وَلَا تُمِسُّوْهُ بِطِيْبٍ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا

Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah ia dengan pakaian yang dipakainya. Janganlah ia diberi wangi-wangian, dan janganlah pula bagian kepalanya ditutup. Sungguh, ia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Begitu pula, setiap muslim yang mati syahid akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dengan luka berdarah, yang berwarna merah dan beraroma seperti minyak kasturi.

Berdasarkan keterangan di atas, disunahkan bagi kita mentalkinkan orang yang akan meninggal dunia -yakni menuntunnya mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’- dengan harapan ia berpulang ke hadirat ilahi dengan membawa keyakinan tauhid. Tujuannya adalah agar pada Hari Kiamat kelak ia dibangkitkan dengan mengucapkan kalimat yang agung tersebut.

Kemudian semua hamba diberikan pakaian sesuai dengan amal yang dilakukannya di dunia. Orang-orang saleh memakai pakaian yang bagus, sedangkan orang-orang durhaka memakai pakaian yang buruk. Mereka memakai pakaian dari ter hitam (bahan aspal) dan baju besi yang menutupi seluruh tubuhnya. Pakaian tersebut sama sekali tidak nyaman dipakai lagi buruk rupa.

Orang pertama yang diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim‘alaihissalam, khalil ar-Rahman (kekasih Allah).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَوَّلُ مَنْ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ

Orang yang pertama diberikan pakaian pada Hari Kiamat adalah Ibrahim.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “al-Baihaqi meriwayatkan dari jalur Ibnu Abbas dengan redaksi yang serupa dengan hadis bab, bahkan lebih lengkap, ‘Orang yang pertama kali diberi pakaian Surga adalah Ibrahim. Beliau disandangkan dengan sehelai pakaian dari Surga, lalu didatangkan kursi untuknya dan diletakkan di sebelah kanan Arsy. Kemudian aku disandangkan dengan pakaian dari Surga yang tidak ternilai (keindahannya) bagi seluruh manusia.’”

Para ulama berpendapat bahwa didahulukannya Ibrahim sebelum hamba-hamba yang lain mengenakan pakaian pada Hari Kiamat adalah karena tidak seorang pun dari generasi pertama hingga generasi terakhir yang lebih takut kepada Allah Ta’ala daripada Ibrahim ‘alaihissalam. Diperkenankannya Ibrahim mengenakan pakaian yang pertama adalah untuk menghadirkan keamanan dan ketenangan dalam hatinya. Atau mungkin saja karena Ibrahim, sebagaimana disebutkan dalam hadis, adalah orang yang pertama kali memakai celana, yaitu ketika ia hendak mendirikan salat agar auratnya benar-benar tertutup, dan menjaga kemaluannya agar tidak menyentuh tempat salat sehingga bisa segera melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu, sebagai balasan ketaatannya, ia menjadi orang pertama yang mengenakan pakaian pada Hari Kiamat. Atau mungkin juga karena kaumnya yang kafir pernah melucuti pakaiannya ketika ingin membakarnya. Sebelum melemparkan Ibrahim ke dalam kobaran api, mereka memperlakukan Ibrahim seperti terdakwa yang hendak dibunuh di hadapan semua orang. Oleh karena itu, ia mendapat balasan dengan menjadi orang pertama yang mengenakan pakaian pada Hari Kiamat, dan semua manusia saat itu dijadikan saksinya. Penafsiran yang terakhir adalah yang terbaik.

Baca sebelumnya: HARI KIAMAT – PENGUMPULAN MAKHLUK UNTUK PENGADILAN YANG AGUNG

Baca sesudahnya: HARI KIAMAT – TANAH MAHSYAR BUKAN TANAH BUMI SEKARANG

Baca juga: MEMPERSIAPKAN DIRI UNTUK MENGHADAPI HARI AKHIR

Baca juga: SYIRIK KEPADA ALLAH

Rujukan:

1. Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid,

2. Dr Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Aqidah fi Dhau-il Kitab was Sunnah: a-Qiyamah al-Kubra.

Akidah