NIKMAT ISLAM

NIKMAT ISLAM

Nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita sangatlah banyak. Jika kita mencoba menghitung seluruh nikmat tersebut, pasti kita tidak akan mampu menghitungnya. Bahkan jika kita mensyukuri nikmat-nikmat itu, syukur kita tetap tidak akan sebanding dengan semua yang telah diberikan-Nya. Mengenai hal ini, Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن تَعُدُّوا۟ نِعْمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحْصُوهَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Mahapengampun, Mahapenyayang.” (QS an-Nahl: 18)

Perlu disadari bahwa mengingat nikmat berarti seseorang telah mensyukuri nikmat tersebut. Sebaliknya, melupakan nikmat berarti dia telah kufur nikmat. Oleh karena itu, marilah kita berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kufur nikmat, karena kufur nikmat akan menjerumuskan seseorang ke dalam kesengsaraan dan kerugian.

Nikmat yang paling besar dan paling bernilai yang telah Allah Ta’ala berikan kepada kita adalah nikmat Islam. Islam telah menyelamatkan kita dari kekufuran dan menghindarkan kita dari kekekalan di Neraka.

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar memahami nikmat tersebut sehingga mudah bagi kita untuk mensyukurinya? Apakah nikmat itu masih kita rasakan sehingga kita menjadi orang yang pandai bersyukur, mulia, suci, bahagia, dan tenang?

Islam adalah agama Allah Ta’ala, dan Dia tidak akan menerima agama selain Islam. Ketentuan ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah Ta’ala:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima. Dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran: 85)

Firman Allah Ta’ala tersebut telah menafikan semua agama selain Islam, baik itu Yahudi, Nasrani, majusi, atau agama lainnya. Sebab, semua agama itu telah dinafikan oleh Allah Ta’ala dan digantikan dengan Islam, agama yang membawa kesempurnaan dan kebahagiaan bagi pemeluknya yang tunduk kepada Allah. Yaitu, orang-orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan akidah, hukum, etika, dan moral yang terkandung dalam agama Islam.

Beragama Islam berarti seorang hamba menyerahkan hati, tujuan, dan seluruh aktivitasnya kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, tidak ada perbuatan maupun tingkah laku yang menyimpang dari tujuan melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan mencari ridha-Nya. Hati akan kokoh karena cinta kepada Allah Ta’ala, dan seluruh anggota tubuh akan patuh kepada-Nya. Jika demikian, mata tidak akan melihat, telinga tidak akan mendengar, tangan tidak akan memegang, dan kaki tidak akan melangkah kecuali atas izin Allah Ta’ala.

Itulah hakikat dan kenikmatan Islam yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Lalu, apakah kita telah memahaminya? Apakah kita benar-benar mensyukurinya? Dan, apakah kita sudah menjadi seorang muslim yang sepenuhnya berserah diri?

Islam dibangun di atas lima pilar: dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah. Jika salah satu pilar ini runtuh,  maka bangunan itu akan hancur, sehingga pemiliknya tidak lagi memiliki tempat untuk tinggal dan menetap. Oleh karena itu, orang yang berbuat syirik dalam ibadahnya kepada Allah Ta’ala tidak dapat disebut beragama Islam. Demikian juga, orang yang tidak mau mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggalkan shalat, enggan menunaikan zakat, tidak berpuasa Ramadhan, atau tidak melaksanakan haji ke Baitullah, tidak bisa disebut beragama Islam.

Jika seseorang telah beragama Islam dan keislamannya semakin baik, maka seluruh aspek kehidupannya akan bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala. Ia tidak akan terlihat melakukan suatu amal yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan keinginannya untuk mengharap ridha-Nya. Oleh karena itu, pedagang di pasar, petani di sawah, dan buruh di pabrik akan sama dengan ahli ibadah di surau, orang yang beri’tikaf di masjid, orang yang shalat di mihrab, atau orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Sebab, semua aktivitas mereka dilakukan semata-mata atas dasar ketaatan kepada Allah Ta’ala dan demi mengharap ridha-Nya.

Inilah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya kepada umat manusia, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ، لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ

Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnva shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (muslim).” (QS al-An’am: 162-163)

Islam adalah satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Ta’ala. Pilar-pilar Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji, merupakan jalan keselamatan yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala untuk memberikan kesempurnaan dan kebahagiaan bagi manusia.

Pada kenyataannya, hati memiliki aktivitas batin, lidah memiliki ucapan lahir, dan anggota tubuh melakukan amal saleh. Oleh karena itu, seorang muslim harus mengetahui aktivitas hatinya dengan bertanya dan belajar, serta meninggalkan hal-hal di luar itu. Ia juga harus memahami mana perkataan yang baik dan mana yang buruk. Selain itu, ia perlu mengetahui amal saleh dan cara melaksanakannya, serta mengenali perbuatan buruk dan cara menjauhinya. Pengetahuan ini adalah pilihan yang harus diambil oleh seorang muslim, karena hal tersebut merupakan kewajiban dari Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43)

Muslim sejati adalah muslim yang membuat muslim lainnya merasa aman dari gangguan lidah dan tangannya. Dia tidak pernah menghina, mengejek, atau melecehkan sesama muslim. Dia juga tidak menuduh saudaranya fasik atau kafir, tidak menyakiti, apalagi membunuh. Selain itu, dia tidak membanggakan dirinya sendiri. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Orang muslim adalah orang yang muslim lain selamat dari lidah dan tangannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak akan menzalimi, tidak merendahkan, dan tidak menghinanya.” (HR Muslim).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim terhadap muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR Muslim)

Oleh karena itu, wahai kaum muslimin yang dirahmati Allah, kita harus memastikan keaslian keislaman kita dengan menilai perilaku kita sendiri. Jika perilaku kita sesuai dengan ajaran Islam, maka kita harus bersyukur kepada Allah Ta’ala sambil memohon tambahan ridha dan taufik-Nya. Namun, jika perbuatan kita tidak sesuai dengan Islam, kita harus segera memperbaikinya agar menjadi muslim sejati yang layak meraih kemuliaan dan kedudukan di dunia, serta selamat dari api Neraka dan masuk ke dalam Surga-Nya di akhirat kelak.

Baca juga: DUA NIKMAT YANG BANYAK ORANG TERTIPU

Baca juga: AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Baca juga: JANGAN MARAH

(Syekh Abu Bakar Jabir al-Jazairi)

Akidah Kelembutan Hati