Niat adalah keinginan hati untuk melakukan sesuatu. Sebuah amal muncul karena ada keinginan dan kemampuan. Setiap amal yang dilakukan oleh orang yang berakal dan tidak terpaksa pasti disertai dengan niat. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Seandainya Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan sebuah amal tanpa disertai niat, kita pasti tidak mampu melakukannya.”
Setiap amal disertai dengan niat dan balasan dari amal tersebut tergantung dari niatnya, sebagaimana hadis dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal disertai dengan niat. Sesungguhnya setiap orang akan mendapat (balasan suatu amal) sesuai dengan niatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Tidak seorang pun beramal kecuali disertai dengan niat. Niat yang satu mungkin berbeda dengan niat yang lain. Ada yang niatnya sangat mulia, dan ada yang sangat hina. Jika seseorang berniat melakukan amal syar’i semata-mata karena Allah Ta’ala dan negeri akhirat, maka ia pasti mendapatkannya. Jika ia meniatkannya karena dunia, maka ia mungkin mendapatkan dunia yang diinginkannya atau mungkin tidak. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya (di dunia) apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (QS al-Isra’: 18)
Allah Ta’ala menyegerakan balasan di dunia apa yang Dia kehendaki bagi orang yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala membatasi apa yang disegerakan di dunia dan untuk siapa Dia menyegerakan. Jadi, di antara manusia ada yang diberi seluruh dunia yang diinginkannya, ada yang diberi sebagian dan ada yang tidak diberi sama sekali.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ , أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan rugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali Neraka. Dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Hud: 15-16)
Mereka memfokuskan keinginan, usaha dan amalnya hanya kepada kehidupan dunia, berupa perempuan, anak-anak, harta yang melimpah, kuda pilihan, hewan ternak, dan lahan pertanian. Tidak terbetik dalam keinginan mereka kehidupan akhirat sedikit pun. Orang-orang seperti ini tidak lain dan tidak bukan adalah orang-orang kafir. Jika mereka orang-orang beriman, imannya pasti menghalanginya untuk memberikan seluruh keinginannya kepada kehidupan dunia. Iman dan amalnya adalah tanda bahwa mereka menginginkan akhirat.
Kepada orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Allah Ta’ala akan memberikan balasan atas perbuatan mereka di dunia dengan sempurna. Tidak sedikit pun dari apa-apa yang ditakdirkan untuknya dikurangi. Mereka di dunia tidak akan dirugikan. Inilah puncak kenikmatan mereka. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali Neraka. Mereka kekal di dalamnya. Azab Allah Ta’ala akan menimpa mereka terus menerus, tanpa terputus. Mereka tidak mendapatkan balasan yang mulia. Apa-apa yang telah mereka usahakan di dunia lenyap di akhirat.
Sedangkan orang yang mendapatkan balasan yang baik dari Allah Ta’ala hanyalah orang yang meniatkan amalnya semata-mata untuk Wajah Allah dan negeri akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا
“Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik,” (QS al-Isra’: 19)
Yakni, barangsiapa bertujuan dengan amal salehnya mendapatkan pahala di akhirat yang kekal abdi, dan dia berusaha kuat untuk itu dengan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala tanpa disertai riya’ dan sum’ah, sedangkan dia beriman keapada Allah Ta’ala serta pahala dan balasan besar dari-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang amal salehnya diterima dan disimpan bagi mereka di sisi Rabb mereka. Mereka akan memperoleh balasan atas amal itu.
Setiap orang harus selalu mengikhlaskan niat di dalam hatinya semata-mata untuk Wajah Allah Ta’ala dan negeri akhirat pada setiap ucapan, perbuatan dan keadaan lainnya. Ia berkeinginan melalui amalnya bertakarub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keridaan-Nya. Ia sengaja melakukan hal itu untuk Allah Ta’ala semata. Dia tidak boleh bertakarub kepada selain Allah Ta’ala dan berkeinginan mendapatkan pujian orang lain melalui ibadahnya. Jika demikian, orang ini telah menggugurkan amalannya dan amalannya termasuk perbuatan syirik.
Dari Abu Hurairah radhuyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali diputuskan perkaranya pada Hari Kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia dihadapkan kepada Allah, lalu dikenalkan kepadanya nikmat-Nya. Ia pun mengenalnya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?’ Ia menjawab, ‘Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau berperang agar disebut pemberani. Sungguh hal itu telah dikatakan.’ Selanjutnya ia diperintahkan untuk dibawa, lalu diseret dengan wajahnya sampai ia dilemparkan ke Neraka.
Selanjutnya, orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta membaca al-Qur’an. Ia pun dihadapkan kepada Allah, lalu dikenalkan kepadanya nikmat-Nya. Ia pun mengenalinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?’ Ia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan aku membaca al-Qur’an karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau belajar agar disebut orang yang berilmu dan engkau membaca al-Qur’an agar disebut qari. Sungguh semua itu telah dikatakan.’ Selanjutnya ia diperintahkan untuk dibawa, lalu diseret dengan wajahnya sampai ia dilemparkan ke Neraka.
Selanjutnya, orang yang diluaskan rezekinya dan diberi berbagai macam harta oleh Allah. Ia dihadapkan kepada Allah, lalu dikenalkan kepadanya nikmat-Nya. Ia pun mengenalinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat tersebut?’ Ia menjawab, ‘Aku berinfak karena-Mu di semua jalan yang Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau melakukan itu agar disebut dermawan. Sungguh hal itu telah dikatakan.’ Kemudian ia diperintahkan untuk dibawa, lalu diseret dengan wajahnya sampai ia dilemparkan ke Neraka.” (HR Muslim)
Ada tiga golongan manusia yang pertama kali diputuskan perkaranya pada Hari Kiamat, yaitu orang yang berperang karena riya’, orang yang mempelajari ilmu dan membaca al-Qur’an karena riya’, dan orang yang bersedekah karena riya’. Allah Ta’ala membawa mereka ke hadapan-Nya pada Hari Kiamat, lalu Allah memperlihatkan kepada mereka nikmat-nikmat-Nya sehingga mereka pun mengenalnya dan mengakuinya. Kemudian masing-masing dari mereka ditanya, “Apa yang telah engkau lakukan?” Yakni, apa yang engkau lakukan untuk mensyukuri nikmat tersebut?
Orang dari golongan pertama menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah Ta’ala berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau berperang agar engkau disebut pemberani; bukan untuk Allah, tetapi karena riya’.” Kemudian ia diperintahkan untuk dibawa, lalu diseret dengan wajahnya sampai ia dilemparkan ke Neraka. Demikian juga dengan dua golongan yang lain.
Dari penjelasan di atas, kita memahami bahwa niat merupakan pondasi amalan. Amalan manusia diterima atau ditolak sesuai dengan niat pelakunya. Barangsiapa melakukan suatu amalan dengan mengikhlaskan untuk Allah Ta’ala semata dan ingin mendapatkan pahala di akhirat, serta amalannya sesuai dengan tuntunan, maka amal itu diterima. Barangsiapa meniatkan amalnya untuk selain Allah, atau tidak mengikhlaskan amalnya untuk Allah dengan menyekutukan Allah dengan selain-Nya, maka amalannya tertolak dan menjadi malapetaka baginya.
Baca juga: BALASAN SUATU AMAL SESUAI DENGAN NIATNYA
Baca juga: AIR ZAMZAM SESUAI DENGAN NIAT SAAT MEMINUMNYA
Baca juga; RAIHLAH RIDA ALLAH, NISCAYA MANUSIA PUN RIDA
(Abu Fairuz al-Kadudampiti)