Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdul ‘Uzza bin Rabah bin ‘Abdullah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy bin Ka‘ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ. وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى اَمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.” (Hadis ini disepakati kesahihannya. Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadis Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju‘fi al-Bukhari dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi dalam dua kitab sahih mereka yang merupakan kitab paling sahih yang dikarang)
PENJELASAN
Karena bab ini membahas tentang ikhlas, yaitu mengikhlaskan niat karena Allah ‘Azza wa Jalla, dan bahwa niat itu hendaklah ikhlas karena Allah dalam setiap ucapan, setiap perbuatan, dan dalam segala keadaan, maka penulis rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang berkaitan dengan makna tersebut dan juga menyebutkan hadis-hadis yang berhubungan dengannya.
Ia rahimahullah membuka bab ini dengan hadis ‘Umar bin al-Khaththab, yang di dalamnya ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Dua kalimat ini diperselisihkan maknanya oleh para ulama rahimahumullah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa keduanya memiliki makna yang sama, dan kalimat kedua merupakan penegasan (penguat) dari kalimat pertama. Namun hal ini tidak benar, karena pada asalnya suatu ucapan atau pernyataan berfungsi sebagai penetapan makna baru (ta’sis), bukan hanya sebagai penegasan (ta’kid). Kemudian, jika diteliti secara mendalam, akan terlihat bahwa antara kedua kalimat itu terdapat perbedaan yang besar. Kalimat pertama adalah sebab, sedangkan kalimat kedua adalah hasil atau akibatnya.
Kalimat pertama adalah sebab, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap amal harus disertai niat. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam keadaan berakal dan memiliki kehendak (pilihan), maka pasti dilakukan dengan niat. Tidak mungkin ada orang yang berakal dan bebas memilih melakukan suatu perbuatan tanpa niat, bahkan sebagian ulama berkata,“Seandainya Allah membebani kita untuk melakukan suatu perbuatan tanpa niat, itu sama saja dengan membebani sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.”
Itu benar adanya. Bagaimana mungkin kamu melakukan suatu perbuatan dalam keadaan berakal, dalam kondisi memilih (tidak dipaksa), namun tanpa niat? Itu mustahil, karena setiap perbuatan muncul dari kehendak dan kemampuan, dan kehendak itulah yang dimaksud dengan niat.
Maka, kalimat pertama yaitu “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niatnya” bermakna bahwa tidak seorang pun melakukan suatu amal kecuali pasti disertai niat. Namun, niat-niat sangat beragam dan berbeda satu sama lain dengan perbedaan yang sangat jauh, sejauh antara langit dan bumi.
Di antara manusia ada yang niatnya berada di puncak tertinggi, pada perkara yang paling mulia. Namun ada pula yang niatnya berada di tempat sampah, pada perkara yang paling hina dan rendah. Sampai-sampai kamu melihat dua orang melakukan amal yang sama —mereka sepakat dalam permulaan, akhir, dan seluruh proses amal itu,
sepakat dalam gerakan dan diamnya, dalam ucapan dan perbuatannya— namun perbedaan di antara keduanya sejauh langit dan bumi. Semua itu disebabkan oleh perbedaan niat.
Intinya adalah tidak ada suatu amal pun kecuali pasti disertai dengan niat, namun niat-niat itu berbeda-beda dan sangat beragam.
Sebagai konsekuensi dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Artinya, setiap orang akan memperoleh apa yang ia niatkan. Jika ia meniatkan Allah dan negeri akhirat dalam amal-amal syar’inya, maka ia akan mendapatkannya. Namun jika ia meniatkan dunia, maka bisa jadi ia mendapatkannya, dan bisa jadi tidak.
Allah Ta’ala berfirman:
مَّن كَانَ يُرِيدُ ٱلْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُۥ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia yang segera (sementara), Kami segerakan baginya di dalamnya apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki.” (QS al-Isra’: 18)
Allah tidak berfirman: “Kami segerakan baginya apa yang ia kehendaki,” tetapi justru berfirman: “Kami segerakan baginya di dalamnya apa yang Kami kehendaki,” bukan apa yang ia kehendaki sendiri; dan “bagi siapa yang Kami kehendaki,” bukan untuk setiap orang.
Maka, ayat ini membatasi dua hal: yang disegerakan (yaitu dunia) hanya sebatas apa yang Allah kehendaki; dan kepada siapa Allah memberikannya, bukan kepada semua orang. Oleh karena itu, di antara manusia ada yang diberi seluruh apa yang ia inginkan dari dunia, ada yang hanya diberi sebagian, dan ada pula yang tidak diberi sama sekali.
Adapun firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا
“Dan barang siapa menghendaki akhirat serta berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sementara ia beriman, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya akan diberi balasan yang baik (disyukuri).” (QS al-Isra’: 19) tidak diragukan lagi ia akan memetik buah dari amal yang ia lakukan dengan niat mengharap wajah Allah dan negeri akhirat.
Jadi “Sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Sabda beliau, “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat (dan seterusnya),” kalimat ini dan kalimat setelahnya merupakan timbangan bagi setiap amal, namun ia adalah timbangan bagi amal batin. Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh dua imam (al-Bukhari dan Muslim) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak,” (HR Muslim) itu adalah timbangan bagi amal-amal lahiriah. Oleh karena itu, para ulama berkata, “Dua hadis ini mencakup seluruh agama.” Hadis ‘Umar: “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niatnya” adalah timbangan untuk amal batin, dan hadis ‘Aisyah: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak” adalah timbangan untuk amal lahiriah.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sebuah perumpamaan yang menjadi penerapan langsung dari hadis tersebut. Beliau bersabda, “Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.”
Yang dimaksud dengan hijrah adalah berpindah dari negeri kufur ke negeri Islam.
Contohnya, seseorang tinggal di Amerika —dan Amerika adalah negeri kekufuran—. Lalu ia masuk Islam. Namun ia tidak mampu menampakkan agamanya di sana.
Maka ia pun berpindah dari sana ke negeri Islam. Inilah yang disebut hijrah.
Ketika manusia berhijrah, mereka berbeda-beda dalam (niat dan tujuan) hijrah mereka.
Pertama: Di antara mereka ada yang berhijrah dan meninggalkan negerinya karena Allah dan Rasul-Nya, yaitu menuju syariat Allah yang telah Allah tetapkan melalui Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah orang yang mendapatkan kebaikan dan meraih apa yang ia tuju. Oleh karena itu, Nabi bersabda,“Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya,” artinya, sungguh ia telah memperoleh apa yang ia niatkan.
Kedua: Orang yang berhijrah karena ingin mendapatkan dunia, yaitu seorang laki-laki yang suka mengumpulkan harta. Ia mendengar bahwa negeri-negeri Islam adalah ladang yang subur untuk meraih kekayaan. Ia pun berhijrah dari negeri kufur ke negeri Islam, semata-mata untuk mendapatkan harta, bukan untuk memperbaiki agamanya dan tidak peduli dengan agamanya, karena tujuannya hanya harta.
Ketiga: Seorang laki-laki berhijrah dari negeri kufur ke negeri Islam karena ingin menikahi seorang perempuan. Kepadanya dikatakan,“Kami tidak akan menikahkanmu kecuali di negeri Islam, dan jangan engkau bawa dia ke negeri kufur.” Ia pun berhijrah dari negerinya ke negeri Islam semata-mata demi menikahi perempuan itu.
Orang yang menginginkan dunia dan orang yang menginginkan perempuan tidak berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.”
Di sini, beliau mengatakan, “kepada apa yang ia hijrah kepadanya,” dan tidak mengatakan, “maka hijrahnya kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau perempuan yang ingin ia nikahi.” Mengapa demikian?
Dikatakan: Karena jika disebutkan secara lengkap, kalimatnya akan menjadi terlalu panjang. Maka beliau ringkas dengan mengatakan, “hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.”
Ada juga yang mengatakan: Beliau tidak menyebut keduanya secara jelas sebagai bentuk penghinaan terhadap keduanya dan sikap berpaling dari menyebut sesuatu yang hina, karena keduanya —yaitu dunia dan perempuan— adalah perkara yang rendah nilainya.
Niat berhijrah, yang pada asalnya adalah amal terbaik, namun dilakukan karena menginginkan dunia dan perempuan, maka itu adalah niat yang hina dan rendah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.” Beliau tidak menyebutkan secara langsung tujuan dunia dan perempuan itu sebagai bentuk penghinaan terhadapnya, karena niat itu adalah niat yang rusak dan hina.
Bagaimanapun juga, baik ini maupun semua contoh yang telah disebutkan, orang yang berniat hijrah karena dunia atau karena perempuan yang ingin ia nikahi, tidak diragukan lagi bahwa itu adalah niat yang hina, rendah, dan jatuh. Berbeda halnya dengan orang pertama, yaitu orang yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang niatnya luhur dan mulia.
Jenis-jenis Hijrah
Hijrah bisa berkaitan dengan amal, bisa berkaitan dengan orang yang melakukannya, dan bisa juga berkaitan dengan tempat.
Jenis pertama: Hijrah tempat, yaitu seseorang berpindah dari suatu tempat yang banyak terdapat kemaksiatan dan kefasikan, bahkan bisa jadi negeri tersebut adalah negeri kufur, lalu ia berpindah ke negeri yang tidak terdapat hal-hal tersebut.
Yang paling utama dari jenis hijrah tempat adalah hijrah dari negeri kufur ke negeri Islam. Para ulama menyebutkan bahwa wajib atas seorang muslim untuk berhijrah dari negeri kufur ke negeri Islam jika ia tidak mampu menampakkan agamanya. Adapun jika ia mampu menampakkan agamanya dan tidak dihalangi dalam menegakkan syiar-syiar Islam, maka hijrah tidak wajib atasnya, namun dianjurkan. Berdasarkan hal ini, berpindah dari negeri kufur adalah lebih utama daripada tinggal di dalamnya. Jika negeri kufur tersebut adalah tanah kelahiran seseorang, namun ia tidak mampu menegakkan agamanya di sana, maka wajib baginya untuk meninggalkannya dan berhijrah dari negeri tersebut.
Jika seseorang termasuk dari kalangan umat Islam dan berasal dari negeri kaum muslimin, ia tidak diperbolehkan bepergian ke negeri kafir, karena di dalamnya terdapat bahaya terhadap agama dan akhlaknya, pemborosan hartanya, dan juga memperkuat ekonomi orang-orang kafir. Padahal, kita diperintahkan untuk membuat orang-orang kafir marah dengan segala daya upaya yang kita mampu, sebagaimana firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian, dan hendaklah mereka mendapati kekerasan dari kalian, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah: 123)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلا يَطَأُونَ مَوْطِئاً يُغِيظُ الْكُفَّارَ وَلا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللَّهَ لا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan mereka tidak menginjak suatu tempat yang membuat orang-orang kafir marah dan tidak pula mendapatkan suatu kemenangan dari musuh, kecuali akan dituliskan bagi mereka amal saleh karenanya. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS at-Taubah: 120)
Orang kafir, siapapun dia —baik dari kalangan Nasrani, Yahudi, maupun ateis, dan baik ia menyebut dirinya muslim atau tidak, tetaplah musuh Allah, musuh kitab-Nya, musuh Rasul-Nya, dan musuh semua orang beriman. Apa pun bentuk penyamarannya, ia tetap musuh. Karena itu, tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk bepergian ke negeri kafir, kecuali dengan tiga syarat.
Syarat pertama: Ia harus memiliki ilmu yang dapat membentenginya dari syubhat, karena orang-orang kafir menyebarkan syubhat kepada kaum muslimin, baik dalam akhlak maupun dalam segala urusan lainnya. Mereka melontarkan syubhat agar orang muslim ragu dan bimbang. Padahal telah diketahui bahwa jika seseorang ragu dalam perkara-perkara yang harus diyakini, maka ia belum menunaikan kewajiban iman. Keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk harus dilakukan dengan keyakinan penuh. Jika seseorang ragu terhadap salah satu dari hal-hal tersebut, maka ia telah kafir.
Orang-orang kafir menanamkan keraguan kepada kaum muslimin, hingga sebagian pemimpin mereka secara terang-terangan berkata, “Janganlah kalian berusaha mengeluarkan orang muslim dari agamanya untuk masuk agama Nasrani. Tapi cukup kalian buat dia ragu terhadap agamanya, karena jika kalian sudah membuatnya ragu, maka kalian telah mencabut agamanya darinya, dan itu sudah cukup. Keluarkanlah dia dari pagar pelindung itu —yang di dalamnya ada kemenangan, kemuliaan, dan kehormatan— dan itu sudah cukup.”
Adapun jika kalian mencoba memasukkan seorang muslim ke dalam agama Nasrani —yang dibangun di atas kesesatan dan kebodohan— maka hal itu tidak mungkin terjadi.
Sebab, agama Nasrani adalah agama yang sesat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meskipun agama Nabi Isa ‘alaihis salam pada asalnya adalah agama yang benar, namun itu adalah kebenaran pada zamannya, hingga kemudian dihapus (dinasakh) dengan datangnya risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, petunjuk dan kebenaran yang hakiki ada pada ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat kedua: Ia harus memiliki agama yang kuat yang dapat melindunginya dari godaan syahwat (godaan hawa nafsu). Dengan agamanya ia mampu menolak dan melawan syubhat (keraguan atau pemikiran yang menyesatkan).
Orang yang tidak memiliki kekuatan agama, jika ia pergi ke negeri kafir, maka ia akan terjerumus (ke dalam maksiat), karena di sana ia akan menjumpai berbagai kenikmatan dunia, yaitu godaan syahwat, seperti minuman keras, perzinaan, dan homoseksual. Segala bentuk kejahatan terdapat di negeri-negeri kafir. Jika ia pergi ke negeri-negeri tersebut, dikhawatirkan ia akan tergelincir ke dalam lumpur-lumpur maksiat dan kehinaan, kecuali jika ia memiliki agama yang kuat untuk melindunginya. Jadi, seseorang harus memiliki agama yang dapat melindunginya dari godaan syahwat.
Syarat ketiga: Ia benar-benar memiliki kebutuhan yang mendesak untuk itu, seperti ia sedang sakit dan membutuhkan perjalanan ke negeri kafir untuk berobat; atau ia memerlukan ilmu dalam bidang tertentu yang spesialisasinya tidak tersedia di negeri Islam, maka ia pergi ke sana untuk belajar; atau ia membutuhkan urusan perdagangan, maka ia pergi berdagang dan kemudian kembali. Yang terpenting adalah bahwa harus ada kebutuhan yang jelas. Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa orang-orang yang bepergian ke negeri kafir hanya untuk berwisata adalah orang-orang yang berdosa. Setiap sen yang mereka keluarkan untuk perjalanan tersebut adalah haram atas mereka dan merupakan pemborosan harta. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat. Ketika mereka tidak menemukan tempat untuk bersenang-senang atau berjalan-jalan, mereka hanya mendapati amal perbuatan mereka sendiri. Sebab, mereka telah menyia-nyiakan waktu, merusak harta, dan merusak akhlak mereka. Bisa jadi mereka juga membawa keluarga mereka.
Yang lebih mengherankan, mereka pergi ke negeri-negeri kafir yang tidak terdengar suara adzan dan dzikir di sana kecuali suara terompet Yahudi dan lonceng gereja Nasrani. Mereka tinggal di sana dalam waktu yang lama bersama istri dan anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Dari hal itu timbul banyak keburukan.
Kita memohon kepada Allah keselamatan dan perlindungan.
Inilah termasuk bentuk musibah yang dengannya Allah menurunkan berbagai malapetaka yang datang menimpa kita dan yang sekarang ini sedang kita alami. Semuanya disebabkan oleh dosa-dosa dan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS asy-Syura: 30)
Kita dalam keadaan lalai, merasa aman di negeri kita, seakan-akan Rabb kita tidak memperhatikan kita, seolah-olah Dia tidak mengetahui, seakan-akan Dia tidak memberi tangguh kepada orang-orang zalim, padahal ketika Dia menangkap (mengazab) mereka, Dia tidak akan melepaskannya.
Manusia berada dalam tekanan akibat berbagai peristiwa ini, namun hati mereka keras —wal’iyadzu billah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَقَدْ أَخَذْنَٰهُم بِٱلْعَذَابِ فَمَا ٱسْتَكَانُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sungguh Kami telah menghukum mereka dengan azab, namun mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka dan tidak pula merendahkan diri kepada-Nya.” (QS al-Mu’minun: 76)
Allah telah menurunkan azab kepada mereka, namun mereka tidak juga tunduk kepada Allah, tidak memohon kepada-Nya, dan tidak takut terhadap kekuasaan-Nya.
Sebaliknya, hati mereka mengeras, bahkan mati.
Peristiwa-peristiwa besar berlalu di hadapan hati mereka seperti air dingin saja, tidak terasa.
Kita berlindung kepada Allah dari matinya dan kerasnya hati.
Kalau saja manusia masih menggunakan akal dan hatinya masih hidup, mereka tidak akan berada dalam kondisi seperti sekarang ini. Padahal kita sedang berada dalam keadaan yang menyerupai perang besar yang menghancurkan, perang dengan gas saraf, pasukan bersenjata, dan semacamnya. Meskipun demikian, hampir tidak ada yang bergerak atau peduli, kecuali yang Allah kehendaki. Ini tidak diragukan lagi adalah suatu kesalahan besar.
Orang-orang dalam kondisi genting seperti ini malah membawa keluarganya berlibur ke negeri-negeri kafir, ke tempat-tempat penuh kefasikan dan kemaksiatan —wal’iyadzu billah.
Adapun bepergian ke negeri kafir untuk tujuan dakwah, maka hal itu diperbolehkan jika perjalanannya benar-benar memberikan pengaruh dan manfaat, karena hal itu merupakan perjalanan yang mengandung maslahat.
Banyak orang awam di negeri-negeri kafir tertutupi dari (kebenaran) Islam. Mereka tidak tahu apa-apa tentang Islam. Bahkan telah disesatkan. Dikatakan kepada mereka bahwa Islam adalah agama kebuasan, kebiadaban, dan kekacauan. Terlebih lagi ketika Barat mendengar berita tentang peristiwa-peristiwa buruk yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim, mereka berkata,“Di mana Islam? Ini adalah kebiadaban. Binatang-binatang buas yang ganas. Sebagian mereka menyerang sebagian yang lain, dan sebagian mereka memakan sebagian yang lain.” Akhirnya, mereka pun lari dari Islam karena ulah sebagian kaum muslimin.
Kita memohon kepada Allah agar Dia memberi petunjuk kepada kita semua menuju jalan-Nya yang lurus.
Jenis kedua: Hijrah amal (perbuatan), yaitu seseorang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah berupa kemaksiatan dan kefasikan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. وَالْمُهَاجِرُ مِنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan seorang muhajir (yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Maka, tinggalkanlah segala yang Allah haramkan atasmu, baik yang berkaitan dengan hak Allah, maupun yang berkaitan dengan hak-hak sesama manusia. Tinggalkanlah perbuatan seperti mencaci, menghina, membunuh, menipu, memakan harta secara batil, durhaka kepada orang tua, memutus silaturahmi, dan segala yang diharamkan oleh Allah. Bahkan jika nafsumu mengajak dan mendesakmu untuk melakukannya, ingatlah bahwa Allah telah mengharamkan hal itu, agar kamu menjauhinya dan meninggalkannya.
Jenis ketiga: Hijrah pelaku (maksiat). Sesungguhnya pelaku (maksiat) bisa jadi wajib untuk dijauhi pada waktu-waktu tertentu. Para ulama berkata, “Seperti orang yang terang-terangan dalam kemaksiatan dan tidak peduli dengannya, maka disyariatkan untuk menghajrnya (menjauhinya) jika dalam menjauhinya terdapat manfaat dan kemaslahatan.
Kemaslahatan serta manfaatnya adalah bahwa jika ia dijauhi, ia akan menyadari kadar dirinya dan kembali dari kemaksiatan.
Contoh dari hal tersebut:
Seorang laki-laki dikenal suka menipu dalam jual beli. Maka orang-orang menjauhinya. Ketika mereka menjauhinya, ia pun bertobat dari perbuatannya, kembali, dan menyesal.
Laki-laki kedua bertransaksi dengan riba. Maka orang-orang menjauhinya, tidak memberi salam kepadanya, dan tidak berbicara dengannya. Ketika ia menyadari hal itu, ia pun malu terhadap dirinya dan kembali ke akal sehatnya.
Laki-laki ketiga —dan ini yang paling berat— tidak menunaikan shalat. Ia adalah seorang yang murtad dan kafir —wal’iyadzu billah. Ia wajib dijauhi, tidak dibalas salamnya, tidak diberi salam, dan undangannya tidak dipenuhi. Hingga ketika ia menyadari dirinya, kembali kepada Allah, dan kembali ke Islam, maka ia pun memperoleh manfaat dari sikap itu.
Adapun jika hajr (menjauhi) tidak memberi faedah dan tidak membawa manfaat, sedangkan hajr itu sendiri disebabkan oleh kemaksiatan, bukan karena kekufuran, maka hajr tidak perlu dilakukan. Jika hajr disebabkan oleh kekufuran, maka ia wajib dijauhi.
Orang kafir yang murtad wajib dijauhi dalam segala keadaan —apakah hajr itu bermanfaat atau tidak. Tetapi pelaku maksiat yang bukan kekufuran, jika dalam menjauhinya tidak ada maslahat, maka tidak halal bagi kita untuk menjauhinya. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ. يَلْتَقِيَان، فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا. وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjauhi saudaranya lebih dari tiga malam. Keduanya saling bertemu, lalu yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai memberi salam.” (HR al-Bukhari, an-Nasa-i dan Ahmad)
Sudah diketahui bahwa dosa-dosa yang di bawah kekufuran menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan.
Maka perlu diperhatikan setelah itu: Apakah hajr (menjauhi) bermanfaat atau tidak? Jika bermanfaat dan menyebabkan seseorang meninggalkan kemaksiatannya, maka ia dijauhi. Bukti dari hal ini adalah kisah Ka‘ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin ar-Rabi‘ radhiyallahu ‘anhum yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi mereka dan memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi mereka. Mereka memperoleh manfaat yang besar dari tindakan itu. Mereka kembali kepada Allah, bumi terasa sempit bagi mereka padahal luas, jiwa mereka juga terasa sempit, dan mereka yakin bahwa tidak ada tempat lari dari Allah kecuali kepada-Nya. Mereka pun bertobat, dan Allah menerima tobat mereka.
Ini adalah jenis-jenis hijrah: hijrah tempat, hijrah perbuatan, dan hijrah pelaku perbuatan.
Baca juga: NIAT MELAKUKAN KEBAIKAN MENDATANGKAN PAHALA
Baca juga: ALLAH MENULIS SEMUA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
Baca juga: PAHALA SESUAI DENGAN NIAT, WALAUPUN KENYATAAN BERBEDA DENGAN NIAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)