Tsamud adalah kaum Ad kedua. Mereka merupakan bangsa Arab dari kalangan ‘aribah. Mereka tinggal di al-Hijr dan sekitarnya, antara Hijaz dan Tabuk.
Mereka adalah peternak yang memiliki banyak ternak. Mereka juga petani yang memiliki lahan dan tanaman yang subur. Nikmat-nikmat datang kepada mereka silih berganti. Mereka membangun istana-istana yang megah di dataran rendah dan memahat gunung-gunung dengan mahir untuk tempat tinggal. Namun mereka mengingkari dan mengufuri nikmat-nikmat Allah itu. Mereka menyembah berhala. Oleh karena itu, Allah mengutus kepada mereka Nabi Shalih yang berasal dari kabilah mereka. Mereka mengetahui nasab dan kedudukan Nabi Shalih, keutamaan dan kesempurnaannya, serta kejujuran dan amanahnya.
Nabi Shalih mengajak mereka kepada Allah, mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, dan meninggalkan apa-apa yang mereka sembah selain Allah. Nabi Shalih mengingatkan mereka dengan nikmat-nikmat dan karunia-karunia yang Allah anugerahkan kepada mereka. Nabi Shalih mengingatkan mereka dengan apa-apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Namun sejumlah kecil saja dari mereka yang beriman. Kebanyakan dari mereka tetap kafir.
Nabi Shalih berkata kepada mereka, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada sembahan bagi kalian selain Dia.” (QS al-A’raf: 73)
“Apakah kalian (mengira) kalian akan dibiarkan tinggal di sini (di negeri kalian ini) dengan aman, di dalam kebun-kebun dan mata air, dan tanaman-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut.” (QS asy-Syu’ara: 146-148) Yaitu, mayangnya bertumpuk, indah, menawan, dan matang.
“Dan kalian pahat dengan terampil sebagian gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah. Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatlah kepadaku. Janganlah kalian menaati perintah orang-orang yang melampaui batas yang berbuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS asy-Syu’ara: 149-152)
“Dan ingatlah oleh kalian di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS al-A’raf: 73-74)
Yakni, Allah menjadikan kalian pengganti mereka tidak lain agar kalian memetik pelajaran dari persoalan yang mereka hadapi, dan agar kalian tidak melakukan perbuatan yang mereka lakukan. Allah membolehkan kalian mendirikan rumah-rumah di bumi Allah. Kalian memahat dengan trampil sebagian gunung untuk dijadikan rumah-rumah yang sangat kokoh. Lalu kalian membalas nikmat itu dengan bersyukur, melakukan amal saleh, beribadah hanya kepada-Nya. Oleh karena itu, jauhilah oleh kalian tindakan yang menyalahi perintah Allah dan berpaling dari ketaatan kepada-Nya, agar kalian selamat.
“Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada sembahan bagi kalian selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya.”
Yaitu, Dia menciptakan kalian di bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya. Artinya, kalian diberi bumi dengan segala yang ada padanya, seperti tanaman dan buah-buahan. Dia adalah Mahapencipta dan Mahapemberi rezeki. Oleh karena itu, hanya Dia semata yang patut disembah, bukan yang lain.
“Karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.” (QS Hud: 61)
Yaitu, lepaskanlah diri kalian dari dosa-dosa yang telah kalian lakukan, dan beralihlah ke ibadah kepada Allah, niscaya Dia menerima kalian dan memaafkan dosa-dosa kalian.
“Sesungguhnya Rabbku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”
Nabi Shalih mengingatkan Kaum Tsamud, menegakkan bukti-bukti dan dalil-dalil atas kewajiban mentauhidkan Allah. Namun mereka menolak, menjauh, dan menyombongkan diri.
Kaum Tsamud berkata, “Wahai Shalih, sungguh engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan.” (QS Hud: 61-62)
Yaitu, sebelumnya kami berharap akalmu sempurna sebelum kamu mengucapkan kata-kata itu, sebelum kamu menyerukan dakwah itu kepada kami untuk mengesakan ibadah, meninggalkan segala sekutu yang kami sembah, dan meninggalkan agama para leluhur kami.
Karena itu mereka berkata, “Mengapa kamu melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.”
Nabi Shalih berkata, “Wahai kaumku, terangkanlah kepadaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya. Maka siapa yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai–Nya? Maka kalian hanya akan menambah kerugian kepadaku.” (QS Hud: 62-63)
Kata-kata yang dilontarkan Nabi Shalih kepada mereka adalah kelembutan, keramahan, dan kesabaran dalam menyeru kepada kebaikan. Maksudnya, bagaimana seandainya persoalannya adalah seperti yang aku katakan dan serukan kepada kalian. Alasan apa yang akan kalian gunakan di hadapan Allah nanti? Kira-kira apa yang dapat menyelamatkan kalian di hadapan-Nya kelak, sementara kalian memintaku agar tidak menyeru kalian untuk taat kepada-Nya.
Aku tidak bisa meninggalkan tugas dakwah karena berdakwah sudah menjadi kewajibanku. Seandainya aku meninggalkan tugas dakwah, tentu tak seorang pun dari kalian atau yang lainnya dapat menyelamatkanku dari siksa-Nya atau menolongku. Oleh karena itu, aku akan terus menyeru kalian untuk beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, hingga Allah memutuskan perkara antara aku dan kalian.
Orang mukmin yang memiliki akidah lurus tidak akan membangkang, sombong, dan tinggi hati untuk taat kepada Allah. Dia mendengar, patuh, beramal, memperhitungkan diri atas segala sesuatu, beribadah kepada Rabb-Nya tanpa menyekutukannya dengan apa pun, selalu bertanya-tanya apa yang sudah ia persembahkan untuk Rabbnya dan apa yang sudah ia lakukan, sebagai modal untuk masuk Surga.
Orang mukmin selalu memperhitungkan diri, menasihati dan melarang dirinya hingga kembali kepada ketaatan kepada Allah. Berbeda dengan orang-orang seperti kaum Nabi Shalih. Mereka berkata kepada Nabi Shalih, “Sungguh, kamu hanyalah termasuk orang yang kena sihir.” (QS asy-Syu’ara: 153). Maksudnya, kamu terkena sihir sehingga tidak menyadari kata-kata yang kamu ucapkan kepada kami untuk beribadah hanya kepada Allah semata, dan meninggalkan sekutu-sekutu selain-Nya.
Baca sesudahnya: UNTA NABI SHALIH
Baca juga: KISAH NABI HUD
(Dr Hamid Ahmad ath-Thahir)