95. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang hajat. Maka aku dan seorang anak muda seumuranku membawa wadah kecil berisi air dan tombak kecil. Lalu beliau beristinja dengan air.” (Muttafaq ‘alaih)
Catatan: Anazah adalah tombak kecil di antara tongkat dan tombak, yang memiliki mata tombak.
96. Dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
خُذِ اَلْإِدَاوَةَ
“Ambilkan wadah air.”
Lalu beliau pergi hingga menghilang dari pandanganku, kemudian beliau menunaikan hajatnya. (Muttafaq ‘alaih)
PEJELASAN
Dua hadis yang disebutkan oleh penulis rahimahullah ini berkaitan dengan istinja.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang hajat,” yaitu tempat yang disiapkan untuk buang hajat, baik kencing maupun berak. Tempat itu seperti toilet.
Dinamakan khala’ karena seseorang menyendiri di dalamnya. Tidak seorang pun masuk ke dalamnya. Selain itu, disebut khala’ karena seseorang membuang kotoran di dalamnya —yaitu menyucikan diri dari air kencing dan tinja— dan meletakkannya di sana, sehingga perutnya menjadi kosong dari keduanya.
“Maka aku dan seorang anak muda seumuranku membawa,” yaitu, ia bersamaku —yakni seperti aku dalam hal melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bersuci— mendekatkannya kepada beliau dan membantunya dalam hal itu.
“Wadah kecil berisi air dan tombak kecil.” Ini menunjukkan bahwa ia sedang berbicara tentang perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di padang pasir, yaitu di tempat buang hajat.
Adapun perkataan “Wadah kecil berisi air dan tombak kecil,” maka idawah adalah wadah dari kulit yang digunakan untuk menampung air seperti ember, yang menyerupai kantung air (seperti tempat air zamzam), yang biasa dibawa oleh musafir. Demikian pula, benda ini dibawa oleh orang yang ingin beristinja, bersuci, atau yang semisalnya.
Adapun ‘anazah, maka ia adalah mata tombak kecil, yakni sebuah tombak pendek yang di ujungnya terdapat besi yang runcing. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawanya dalam perjalanan agar bisa ditancapkan saat beliau hendak shalat, sehingga menjadi sutrah bagi beliau. Beliau juga menancapkannya saat ingin buang hajat agar dapat berlindung dengan kain yang beliau letakkan di atasnya.
“Lalu beliau beristinja dengan air.” Ini adalah dalil dari hadis ini untuk bab ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila selesai dari tempat buang hajat, beristinja dengan air tanpa menggunakan batu.
Faedah Hadis
Beberapa faedah dari hadis ini adalah:
1️⃣ Diperbolehkan beristinja dengan air dari air kencing atau tinja, dan itu sudah cukup meskipun tanpa menggunakan batu atau mengusap dengan tisu.
Masalah ini dahulu diperselisihkan oleh para ulama, tetapi kemudian mereka sepakat bahwa hal itu diperbolehkan. Cara seseorang bersuci dari air kencing dan tinja ada tiga tingkatan: menggunakan air saja, menggunakan batu atau benda sejenisnya, serta menggabungkan air dan batu, dan ini yang lebih utama, yaitu dengan terlebih dahulu bersuci menggunakan batu, lalu dilanjutkan dengan air. Sebagai pengganti batu, tisu yang dikenal dan biasa dipakai untuk mengusap dapat digunakan. Adapun jika hanya menggunakan air, maka hal itu diperbolehkan.
Adapun kebencian sebagian ulama salaf terhadap hal ini, dengan alasan bahwa itu bisa mengotori tangan dengan najis, maka kita katakan: Ya…
Mungkin ada yang berkata, “Bagaimana seseorang bersuci dengan air, lalu mengotori tangannya dengan najis?”
Maka kita katakan: Ia memang mengotori tangannya dengan najis demi menghilangkan najis, bukan untuk membiarkannya. Terkena najis demi menghilangkan najis tidak dianggap buruk dan tidak bertentangan dengan kesopanan, terlebih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukannya.
Hal serupa terjadi jika orang yang sedang berihram terkena wewangian pada pakaian ihramnya atau tubuhnya, lalu ia mengambil air dan mencucinya. Dalam proses itu, ia akan menyentuh wewangian, sedangkan orang yang berihram dilarang menyentuhnya. Dalam hal ini dikatakan bahwa ia menyentuh wewangian untuk menghilangkannya, sehingga tidak dianggap sebagai menggunakannya.
Dari hadis ini terdapat dalil bahwa tidak mengapa bersuci hanya menggunakan air tanpa batu atau tisu. Adapun bersuci hanya dengan batu, hal itu akan dibahas nanti, in sya Allah.
2️⃣ Diperbolehkan menggunakan atau mempekerjakan orang-orang merdeka, yaitu bukan budak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan seorang anak laki-laki yang bersamanya. Maka seseorang boleh mempekerjakan orang merdeka, baik dengan upah maupun tanpa upah. Namun, anak-anak kecil di antara mereka tidak boleh dipekerjakan kecuali dengan izin wali mereka, kecuali dalam hal-hal yang telah menjadi kebiasaan.
Sebagai contoh: Jika kamu memiliki seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun, kamu tidak boleh mempekerjakannya kecuali dengan izin walinya, kecuali dalam hal yang ringan, seperti kamu berkata, “Berikan kepadaku barang ini,” atau “Serahkan kepadaku,” sedangkan ia berada di tempat yang dekat. Hal itu tidak mengapa, karena sudah menjadi kebiasaan. Namun, jika kamu mengutusnya ke tempat yang jauh, atau ke tempat yang dekat tetapi bukan di lingkungan sekitar saat itu, maka janganlah kamu melakukannya kecuali dengan izin walinya, karena anak kecil belum dapat bertindak secara penuh atas dirinya sendiri.
Adapun hadis al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ambillah wadah air.”
Wadah air ini adalah wadah dari kulit yang digunakan untuk menampung air, menyerupai ember atau kantung air (zamzamiyah) yang dibawa oleh para musafir. al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu mengambilnya dan berkata, “Lalu beliau pergi hingga menghilang dari pandanganku, kemudian beliau menunaikan hajatnya.”
Kata “menghilang” berarti beliau menutupi diri dan berlindung, yaitu pergi jauh agar tidak terlihat oleh siapa pun. Ini merupakan salah satu adab buang hajat. Jika kamu ingin buang hajat di tempat terbuka, maka menjauhlah hingga tidak terlihat oleh orang lain, karena terlihat seseorang sedangkan ia sedang buang hajat menimbulkan rasa malu.
Seseorang seharusnya memiliki sifat pemalu dan menjauh dari pandangan orang lain ketika ia sedang kencing atau berak. Keadaan seseorang jongkok buang hajat sementara orang lain melihatnya mengandung sesuatu yang buruk dan mencederai kehormatan. Oleh karena itu, menjauhlah hingga kamu tidak terlihat dengan pergi ke lembah atau berlindung di balik pohon atau di balik bukit kecil (tanah yang lebih tinggi), atau di balik mobil.
Jika mereka melihatnya tetapi tidak melihat auratnya, maka itu tidak mengapa. Jika mereka melihat auratnya, maka itu haram. Dengan demikian, di sini terdapat tiga tingkatan.
Tingkatan pertama: Sebagian orang –wal’iyadzu billah– jongkok menunaikan hajatnya (buang hajat) sementara orang-orang melihat auratnya. Tidak diragukan lagi bahwa ini menyelisihi syariat dan melanggar kehormatan. Bahkan, ini adalah keadaan yang menyerupai perilaku binatang. Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Tingkatan kedua: Ia berada di tempat yang dikelilingi oleh orang-orang yang melihatnya, tetapi mereka tidak melihat auratnya, misalnya ia membelakangi mereka, atau berada di sebelah kiri atau kanan mereka. Maka ini diperbolehkan, tetapi tidak lebih utama.
Tingkatan ketiga: Ia menjauh hingga tidak terlihat oleh orang-orang, baik dengan berada di lembah, bagian lembah yang lebih rendah, di balik bukit kecil, atau di balik pohon yang menutupinya. Jika tidak ada sesuatu dari hal-hal tersebut, maka hendaklah ia menjauh hingga tidak terlihat oleh orang lain. Inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini merupakan tingkatan yang paling sempurna.
Dan Allah lebih mengetahui.
Baca juga: BUANG HAJAT
Baca juga: DOA MASUK DAN KELUAR TEMPAT BUANG HAJAT
Baca juga: LARANGAN MANDI ATAU KENCING DI AIR YANG DIAM
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)