5. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air mencapai dua qullah, maka ia tidak membawa kotoran.”
Dalam lafaz lain:
لَمْ يَنْجُسْ
“Ia tidak menjadi najis.” (Diriwayatkan oleh al-Arba’ah, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
6. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ
“Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang diam (tidak mengalir) dalam keadaan junub.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
7. Dan dalam riwayat al-Bukhari:
لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir), kemudian mandi di dalamnya.”
8. Dan dalam riwayat Muslim:
مِنْهُ
“(Mandi) darinya.” Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud:
وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ
“Dan janganlah mandi di dalamnya dari janabah.”
PENJELASAN
Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan oleh penulis rahimahullah dalam bab tentang air dari Kitab Thaharah. Di dalamnya terdapat dua masalah:
Masalah pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang mandi di air yang diam dalam keadaan junub, yaitu ketika seseorang sedang berhadapan dengan hadas besar. Air yang diam dijelaskan dalam riwayat al-Bukhari sebagai air yang tidak mengalir, seperti air kolam atau genangan yang terkumpul dari banjir di daratan, serta kolam-kolam yang tidak mendapatkan pasokan air baru dan tetap bertahan selama satu atau dua minggu tanpa adanya air tambahan. Inilah yang dimaksud dengan air diam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mandi di air tersebut dalam keadaan junub karena, jika seseorang mandi di dalamnya sementara air itu tidak mengalir sehingga tidak ada sesuatu yang masuk atau keluar darinya, maka air itu akan tercemar dan menjadi kotor bagi orang yang datang setelahnya. Sebagai contoh, jika seseorang mandi di dalamnya untuk bersuci dari janabah, kemudian orang lain melakukan hal yang sama, begitu pula orang ketiga dan keempat, maka air tersebut akan tercemar dan tidak lagi layak untuk digunakan. Bahkan, bekas kotoran akan terlihat mengapung di permukaan air hingga tampak seolah-olah air itu sepenuhnya kotor.
Mungkin saja orang yang mandi di air tersebut menderita penyakit menular, sehingga penyakit itu dapat menyebar melalui air kepada orang yang sehat. Sebab, penularan penyakit (al-’adwa) adalah sesuatu yang pasti ada tanpa diragukan. Adapun hadis yang menafikan adanya penularan penyakit, maksudnya adalah penularan yang diyakini oleh orang-orang jahiliah, di mana mereka menganggap bahwa penularan terjadi dengan sendirinya (tanpa sebab). Sedangkan keberadaan penularan dengan izin dan kehendak Allah adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Selain itu, dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut terdapat manfaat lain, yaitu mendorong manusia untuk membiasakan diri dengan kebersihan. Seseorang akan mengambil air dari genangan tersebut dengan menggunakan wadah, lalu mandi menggunakan air yang telah diambilnya dalam wadah itu.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mandi junub di air tersebut. Jika mandi junub —yang hukumnya wajib— dilarang dilakukan di dalamnya, maka terlebih lagi mandi untuk tujuan membersihkan diri dan menghilangkan kotoran tidak boleh dilakukan di dalamnya. Larangan ini berlaku jika air tersebut adalah air yang diam, yaitu air yang tidak mengalir.
Adapun lafaz lain dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir), kemudian mandi di dalamnya.” Hal ini juga termasuk apa yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kencing di air yang diam dan tidak mengalir, lalu berwudhu atau mandi di dalamnya. Karena hal ini merupakan suatu kontradiksi dan bertentangan dengan akal sehat serta rasa kebersihan. Bagaimana mungkin seseorang menjadikan air itu sebagai tempat najis dan kotoran, kemudian mandi di dalamnya? Selain itu, jika seseorang kencing di air yang diam ini, lalu datang orang lain dan kencing di dalamnya, kemudian orang ketiga dan keempat melakukan hal yang sama, maka air tersebut akan menjadi najis.
Dalam lafaz Muslim: “Kemudian ia mandi darinya,” perbedaan antara “mandi di dalamnya” dan “mandi darinya” adalah bahwa orang yang mandi di dalamnya berarti ia menceburkan diri ke dalam air tersebut, sedangkan orang yang mandi darinya berarti ia mengambil air dari sana dan menggunakannya untuk mandi. Keduanya dilarang karena mengandung kontradiksi dan ketidaksesuaian.
Dalam riwayat Abu Dawud: “Dan janganlah mandi di dalamnya karena janabah.” Sebagaimana yang telah kami sebutkan, pembatasan ini dengan mandi janabah bukanlah untuk mengecualikan mandi-mandi lainnya, melainkan karena jika mandi janabah dilarang di dalamnya, maka larangan untuk selainnya lebih utama lagi.
Adapun jika air itu sangat luas dan banyak, seperti air laut, maka tidak mengapa seseorang mandi di dalamnya dalam keadaan junub, dan juga tidak mengapa kencing di dalamnya, lalu mandi darinya. Hal ini karena jumlahnya yang banyak sehingga kotoran tidak memengaruhinya.
Dipahami dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah salah seorang di antara kalian kencing (di air yang menggenang)”, bahwa dibolehkan bagi seseorang menggunakan istilah “kencing,” seperti mengatakan, “Saya kencing di tempat ini,” atau “Saya pergi untuk kencing,” dan ungkapan serupa. Hal ini karena jika kata tersebut dianggap buruk atau tidak sopan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan mengucapkannya.
Oleh karena itu, para ulama berkata bahwa sebaiknya seseorang mengatakan, “Aku pergi untuk kencing,” dan tidak mengatakan, “Aku pergi untuk mengalirkan air,” atau “Aku pergi untuk menumpahkan air,” karena kencing bukanlah air, sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama.
Istilah “kencing” adalah istilah yang tidak dianggap buruk oleh manusia, karena ia serupa dengan istilah untuk keringat, darah, dan yang sejenisnya. Bukankah kita sering mengatakan: darah, keringat, dan dahak, serta yang sejenisnya? Meskipun hal-hal tersebut sendiri dianggap tidak menyenangkan, tetapi istilahnya tidak dianggap buruk. Demikian pula istilah “kencing”, “berak”, atau “tinja” tidak masalah untuk diucapkan dengan istilahnya.
Baca juga: BERKATA BAIK ATAU DIAM
Baca juga: ADAB MANDI
Baca juga: BUANG HAJAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

