Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai (berpecah-belah).” (QS Ali Imran: 103)
Perpecahan yang dimaksud di sini adalah perpecahan dalam agama atau menyelisihi jamaah kaum muslimin. Yang dimaksud dengan jamaah kaum muslimin adalah umat Islam secara umum pada zaman sahabat dan orang-orang yang mengikuti hidayah mereka setelah munculnya perpecahan di tengah umat ini.
Definisi yang paling menyeluruh dari perpecahan di sini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh Nashir al-Aql, “Perpecahan adalah keluar dari as-Sunnah dan al-Jama’ah dalam satu atau lebih pokok dasar agama yang bersifat i’tiqadiyah atau amaliyah, atau yang berhubungan dengan kemaslahatan besar umat ini. Termasuk di dalamnya adalah menentang pemimpin kaum muslimin yang sah dengan kekuatan senjata.”
Berpecah atau berselisih dalam agama merupakan sesuatu yang sangat buruk, tercela, dan berbahaya. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah memperingatkan hal ini dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan (yang lain) itu mencerai–beraikan (memecah–belah) kalian dari jalan–Nya.” (QS al-An’am: 153)
Imam Mujahid berkata, “Maksud jalan-jalan yang lain’ adalah bidah, syubhat, dan kesesatan.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang sangat berat.” (QS Ali Imran: 105)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan hal ini melalui sabdanya,
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ
“Orang-orang Yahudi terpecah–belah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan di Surga dan tujuh puluh golongan di Neraka. Orang-orang Nasrani terpecah–belah menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di Neraka dan satu golongan di Surga. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu golongan di Surga dan tujuh puluh dua golongan di Neraka.”
Beliau ditanya, “Siapa mereka (yang masuk Surga itu), wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
الْجَمَاعَةُ
“al-Jama’ah.” (HR Ibnu Majah)
Sampai di sini sangat jelas bagi kita bahaya berpecah-belah dalam agama. Meskipun begitu, manusia akan terus berpecah-belah kecuali orang-orang yang dilimpahkan rahmat oleh Allah Ta’ala. Demi meraih rahmat Allah kita harus berusaha menghindari segala bentuk perpecahan dan meninggalkan semua macam perselisihan dalam agama. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai usaha. Salah satunya adalah dengan mengenal sebab-sebab perpecahan yang harus kita hindari, bukan diikuti.
Di antara penyebab perpecahan dan perselisihan di antara kaum muslimin yang paling dominan adalah:
1. Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama
Hawa nafsu merupakan kecenderungan atau keinginan hati yang tercela. Para pengikut hawa nafsu adalah orang-orang yang jauh dari hidayah dan hanya mengikuti kecenderungan hati. Karena itu, ia terjatuh ke dalam kehinaan, dan kemudian terjatuh ke dalam Neraka.
Hawa nafsu adalah penghalang dari jalan Allah Ta’ala, penghancur kebaikan, pengantar kepada segala keburukan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala memperingatkan dengan keras orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya.
Allah Ta’ala berfirman:
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ
“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Siapakah yang mampu memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)
Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Maknanya adalah bahwa orang kafir menjadikan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya sebagai agamanya.”
Yang lain berkata, “Maknanya adalah orang itu menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, maka dia menyembah (mengikuti dan menaati) apa yang diinginkan oleh dirinya.”
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Dahulu bangsa Arab biasa menyembah batu, emas, atau perak. Apabila mereka mendapatkan sesuatu yang lebih baik (dalam pandangan hawa nafsu mereka) dari sembahan sebelumnya, mereka menghancurkan sembahan sebelumnya dan menyembah sembahan berikutnya.”
Allah Ta’ala berfirman:
فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Qashash: 50)
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir yang menyembah latta dan uzza:
اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُۚ وَلَقَدْ جَاۤءَهُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدٰى
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sungguh telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS an-Najm: 23)
Masih banyak ayat lain yang mencela buruknya akibat dari hawa nafsu. Dari sini jelaslah bagi kita bahwa sumber kesesatan manusia adalah mengikuti hawa nafsunya. Apabila kita perhatikan dengan seksama, kita akan mendapati bahwa golongan-golongan sesat yang menyimpang dari jalan yang ditempuh oleh ahli sunah waljamaah, pandangan-pandangan mereka, cara berpikir mereka, dan metodologi yang mereka gunakan bermula dari mengikuti hawa nafsu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah memperingatkan bahaya mengikuti hawa nafsu. Di antaranya beliau bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَخْشَ عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِيْ بُطُوْنِكُمْ وَفُرُوْجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْهَوَى
“Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syahwat yang menyelewengkan pada perut dan kemaluan kalian serta hawa nafsu yang menyesatkan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Barzah. al-Haitsami berkata di dalam Majma’ az-Zawa’id, “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani, dan para rawinya adalah rawi-rawi hadis-hadis sahih.”)
Para teladan umat dari kaum salaf juga telah memperingatkan akan keburukan dan bahaya mengikuti hawa nafsu.
Imam Sufyan ats-Tsauri, salah seorang umat ini yang mendapat gelar amirul mukminin dalam ilmu hadis mengisahkan, “Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas dan berkata, ‘Aku mengikuti keinginan (hawa nafsu)mu.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Semua keinginan hawa nafsu adalah sesat. Apa arti, ‘Saya mengikuti keinginan (hawa nafsumu?).’’”
Ciri paling dominan dari orang yang mengikuti hawa nafsu dalam beragama adalah menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah. Perhatikanlah contoh berikut:
al-Quran dan as-Sunnah dengan jelas mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi setelah beliau. Akan tetapi, Musailamah al-Kadzdzab, Ahmad al-Qadiani dan lain-lain dengan lancang mengaku nabi. Bahkan masyarakat Indonesia pernah dikejutkan oleh orang yang mengaku rasul utusan Allah setelah bertapa di gunung Salak, Bogor.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas, lugas dan jelas mengatakan bahwa semua bidah adalah sesat. Akan tetapi, masih saja banyak kaum muslimin mengatakan bahwa bidah ada yang baik (bidah hasanah).
Allah dan Rasul-Nya dengan jelas membolehkan poligami. Tetapi, sebagian pemikir muslim dengan lancang mengatakan secara terbuka bahwa poligami adalah suatu kezaliman atas kaum perempuan.
Perhatikanlah! Bagaimana hawa nafsu telah membutakan hati mereka untuk menerima firman Allah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kurang jelaskah ayat-ayat dan hadis-hadis tentang tidak ada nabi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang semua bidah adalah sesat, dan tentang bolehnya poligami? Sama sekali tidak. Hadis-hadis itu benar-benar jelas. Semua kelancangan yang keluar dari mereka adalah karena mengikuti hawa nafsu.
Mengikuti hawa nafsu dalam diri manusia memiliki banyak bentuk. Di antaranya adalah mencintai dunia secara berlebihan yang dapat membutakan mata hati terhadap tujuan dirinya diciptakan dan membutakan mata hati dari kebenaran. Tidak heran jika ada orang yang kebenaran telah jelas di hadapannya, akan tetapi menolaknya dengan seribu macam alasan. Marilah kita renungi perumpamaan yang Allah Ta’ala wahyukan untuk kita semua.
Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّمَا مَثَلُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا كَمَاۤءٍ اَنْزَلْنٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ فَاخْتَلَطَ بِهٖ نَبَاتُ الْاَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْاَنْعَامُ ۗحَتّٰٓى اِذَآ اَخَذَتِ الْاَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ اَهْلُهَآ اَنَّهُمْ قٰدِرُوْنَ عَلَيْهَآ اَتٰىهَآ اَمْرُنَا لَيْلًا اَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنٰهَا حَصِيْدًا كَاَنْ لَّمْ تَغْنَ بِالْاَمْسِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu karena air itu tumbuhlah dengan subur tanaman-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan oleh manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda–tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.” (QS Yunus: 24)
Mengikuti hawa nafsu juga bisa dalam bentuk mencintai kedudukan terpandang. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا ذَئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Dua serigala lapar yang dilepas di tengah-tengah kawanan domba tidak lebih merusak daripada ketamakan seseorang akan harta dan kemuliaan terhadap agamanya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ahmad. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Sampai di sini jelas bagi kita bahwa hawa nafsu sama sekali tidak memiliki tempat dalam beragama. Beragama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, serta wajib berdasarkan manhaj salafus saleh, karena jalan mereka diridai oleh Allah Ta’ala dan dinyatakan selamat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Jahil Akan Islam yang Benar
Kejahilan terhadap agama merupakan sumber segala kesesatan, awal dari penyimpangan, dan sebab terjerumusnya banyak kaum muslimin ke jalan yang salah. Seandainya hati dan pikiran seorang muslim telah cukup diisi dengan agama yang benar, maka ia tidak mungkin mengikuti seorang pendusta yang mengaku rasul setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengaku imam mahdi atau mengaku titisan Jibril. Kebohongan mereka sesungguhnya sangat jelas, lebih jelas dari matahari, tetapi mengapa masih saja ada orang yang percaya? Mengapa masih saja ada orang yang mau disuruh berbaiat untuk menjadi pengikutnya? Itu disebabkan oleh kejahilan mereka dan tidak memahami Islam dengan benar.
Jahil akan agama merupakan sebab dari segala malapetaka dan musibah yang menimpa manusia. Kejahilan adalah musuh bagi seseorang sebelum dia menjadi musuh bagi orang lain.
Terdapat tiga bentuk kejahilan:
Pertama: Kosongnya hati dan pikiran dari ilmu. Bentuk inilah yang pokok. Bila seorang muslim tidak mengetahui bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam, maka ketidak-tahuan ini sangat berpotensi membuat ia memercayai seorang pembohong yang mengaku nabi.
Kedua: Meyakini sesuatu secara terbalik dari yang sebenarnya. Ini banyak terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, karena salahnya informasi yang diterima. Orang yang sudah terlanjur ditempa oleh sesuatu yang salah akan sulit diubah.
Ketiga: Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan yang sebenarnya, baik didasari oleh keyakinan yang benar maupun keyakinan yang salah.
Beberapa contoh kejahilan yang tersebar di tengah-tengah masyarakat berikut ini mudah-mudahan memperjelas keyakinan kita bahwa kejahilan harus diperangi dengan segala daya dan upaya kita sebagai hamba Allah Ta’ala.
⚫ Orang yang sebenarnya tidak berilmu memberikan fatwa dan mendakwahi orang-orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal ini kepada umatnya melalui sabdanya,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun (panjang) yang penuh dengan tipu muslihat. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta. Pengkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap pengkhianat. Dan ar-ruwaibidhah turut berbicara.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apa itu ar-ruwaibidhah?”
Beliau menjawab,
الرَّجُلُ التَّافِهُ يَنْطِقُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Orang yang jahil (bodoh dan rendah) berbicara tentang urusan orang banyak.” (Diriwayatkanoleh Ahmad dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Dalam hadis lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba(-Nya), akan tetapi Allah mengambil ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika tidak tersisa seorang ulama pun, orang-orang menjadikan orang-orang jahil (tentang agama) sebagai pemimpin. (Ketika) ditanya, mereka memberikan fatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan (orang banyak).” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua hadis di atas jelas bagi kita bahwa kaum muslimin tidak ditimpa kesesatan dan penyimpangan melalui para ulama mereka. Penyimpangan terjadi ketika para ulama telah wafat. Apabila orang-orang jahil yang tidak mengerti agama dengan benar sudah dianggap kiai. Maka jangan heran apabila ada kiai yang dengan lancang berkata, “Semua agama adalah sama.”
⚫ Jauhnya ikatan antara ulama dan dai (ustaz-ustaz juru dakwah)
Kaum muslimin adalah umat yang satu, tidak dibatasi oleh negara, bangsa, suku atau ras. Artinya, ulama Arab Saudi misalnya, apabila oleh para ulama telah dinilai meraih tingkatan ulama, maka kaum muslimin di mana pun harus menjadikan mereka sebagai rujukan.
Apabila para dai dan ustaz telah jauh dari para ulama, maka dakwah Islam yang mereka usung pasti terjatuh ke dalam gelapnya kejahilan dan semrawut. Seorang ustaz atau dai tidak boleh hanya berbekal pada kepandaian berbicara atau membaca tidak kurang dari empat surat kabar nasional setiap hari atau rajin membaca majalah. Seorang ustaz atau dai harus mengerti esensi ajaran Islam. Oleh karena itu, para ustaz dan dai harus senantiasa dekat dengan para ulama, menggali ilmu, dan bahkan mendapat teguran dari para ulama. Jika di dalam negeri kita tidak menemukan dai yang memadai, kita masih memiliki ulama-ulama besar di Arab Saudi misalnya, yang telah diakui keilmuannya untuk kita jadikan rujukan.
⚫ Menyelisihi manhaj salaf
Manhaj salaf adalah manhaj ahli sunah waljamaah. Ahli sunah waljamaah adalah pengikut Islam yang benar, yang disebut oleh Nabi dengan ath-tha’ifah al-manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan). Ahli sunah waljamaah bukan kelompok sempalan (hizbiyah) dalam Islam yang mengajak untuk mengikuti organisasi tertentu, orang tertentu, atau pergerakan tertentu. as-Sunnah adalah apa saja yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan, taqrir (sikap setuju) atau sifat. al-Jama’ah adalah jamaah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi-generasi sesudahnya yang mengikuti manhaj mereka. Oleh karena itu, sangat keliru apabila di antara kaum muslimin memiliki persepsi bahwa ahli sunah waljamaah adalah salah satu golongan selain Jahmiyah, Mu’tazilah atau Syi’ah. Ahli sunah waljamaah adalah Islam yang benar yang dijanjikan mendapat pertolongan dan kemenangan oleh Allah Ta’ala.
Mengapa seorang muslim harus mengikuti manhaj salaf?
Pertama: Karena hanya as-salaf ash-shalih yang diridai oleh Allah secara langsung. Perhatikan firman Allah Ta’ala:
وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah: 100)
Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ أَيْمَانَهُمْ وَأَيْمَانُهُمْ شَهَادَتَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian orang-orang yang menyusul mereka (generasi tabiin), kemudian orang-orang yang menyusul mereka (generasi tabiut tabiin), kemudian setelah mereka datang suatu kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpah mereka dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim)
Bagi orang yang memiliki bashirah dua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf adalah suatu keniscayaan. Generasi merekalah yang mengamalkan Islam dengan totalitas paling sempurna. Semua tuntutan Islam mereka jalankan dengan penuh keimanan. Mereka beriman dengan sebenarnya. Mereka hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka berjihad dengan harta dan jiwa raganya. Mereka berdakwah ke berbagai negeri hingga Islam sampai ke ujung dunia. Oleh karena itu, salah satu kewajiban kita kaum muslimin adalah mengenali bentuk-bentuk realitas yang terjadi di tengah umat yang bertentangan dengan manhaj as-salaf ash-shalih dengan harapan dapat kita hindari dan kita tinggalkan.
Baca juga: ISLAM ADALAH SISTEM YANG SEMPURNA
Baca juga: DEMONSTRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Baca juga: MENGIKUTI SYARIAT ALLAH
(Abdurrahman Nuryaman)