MANHAJ AHLI SUNAH WALJAMAAH DALAM MENERIMA DAN MENGAMBIL DALIL

MANHAJ AHLI SUNAH WALJAMAAH DALAM MENERIMA DAN MENGAMBIL DALIL

Termasuk ke dalam prinsip akidah salafush shalih adalah bahwa ahli sunah waljamaah dalam manhaj talaqqi (menerima) dan istidlal (mengambil dalil) adalah dengan ittiba’ (mengikuti) apa yang datang dari Kitabullah dan sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih, baik secara zahir maupun batin, serta taslim (menerima) sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS al-Ahzab: 36)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku tinggalkan dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah)

Ahli sunah waljamaah tidak mengatakan, “Kitabullah kemudian sunah Rasul-Nya,” tetapi mengatakan, “Kitabullah dan sunah Rasul-Nya,” secara bersamaan, karena as-Sunnah bergandengan dengan Kitabullah. Alasan lainnya adalah karena Allah telah mewajibkan setiap hamba-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya, sedangkan sunahnya menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dalam Kitabullah.

Kemudian ahli sunah waljamaah mengikuti apa yang ditempuh oleh para sahabat, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar secara umum, dan Khulafa ar-Rasyidin secara khusus. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada umatnya agar mengikuti para Khulafa ar-Rasyidin secara khusus, kemudian mengikuti generasi berikutnya, yaitu tiga generasi pertama yang dimuliakan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah para Khulafa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Berpegang-teguhlah padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya segala sesuatu yang baru (dalam agama) adalah bidah dan segala yang bidah adalah sesat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Disahihkan oleh adz-Dzahabi. Lihat Irwa al-Ghalil)

Oleh karena itu, rujukan ahli sunah waljamaah ketika terjadi perselisihan adalah Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

Allah Taala berfirman:

فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur-an) dan Rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa’: 59)

Para sahabat Rasulullah merupakan rujukan ahli sunah waljamaah dalam memahami al-Qur’an dan as-Sunnah. Menurut mereka, tidak ada sesuatu pun dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih yang dapat dipertentangkan dengan kias (analogi), perasaan, kasyaf (penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang gaib), pendapat syekh (guru) maupun imam, karena agama Islam telah sempurna semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Ku-ridai Islam jadi agama kalian.” (QS al-Ma-idah: 3)

Ahli sunah waljamaah tidak mendahulukan ucapan seseorang di atas Kalamullah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS al- Hujurat: 1)

Ahli sunah waljamaah mengetahui bahwa mendahului Allah dan Rasul-Nya -di antaranya mengatakan atas nama Allah tanpa didasari ilmu- adalah perbuatan yang dihiasi oleh tipu daya setan.

Ahli sunah waljamaah berpendapat bahwa akal sehat sesuai dengan naql (dalil) yang sahih. Ketika mendapatkan permasalahan, mereka mendahulukan naql karena naql tidak membawa sesuatu yang mustahil bagi akal untuk menerimanya, akan tetapi membawa sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya oleh akal. Oleh sebab itu, akal harus membenarkan naql dari segala yang dikabarkannya, bukan sebaliknya.

Ahli sunah waljamaah tidak menyepelekan kedudukan akal karena akal adalah tempat bergantungnya taklif (kewajiban) dalam pandangan mereka. Walaupun demikian, mereka mengatakan bahwa akal tidak boleh mendahului syariat. Kalau tidak, pasti manusia tidak membutuhkan para rasul sehingga akal mendominasi ruang lingkupnya. Oleh karena itu, mereka dinamakan ahli sunah disebabkan mereka berpegang teguh, mengikuti, dan taslim (menerima) secara penuh petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Taala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS al-Qashash: 50)

Ahli sunah waljamaah menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah rujukan utama, kemudian merujuk kepada ijmak ulama dan bertumpu padanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمّتَيِ عَلَى ضَلَالَةٍ، وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ، وَ مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ

Sesungguhnya Allah tidak menyatukan umatku dalam kesesatan. Dan tangan Allah di atas jamaah. Barangsiapa menyimpang, maka ia akan menyendiri dalam Neraka.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Jami’ ash-Shaghir)

Dengan demikian, umat ini adalah ma’sum (terjaga) dari berkumpul dalam kebatilan sehingga tidak mungkin bersepakat untuk meninggalkan kebenaran.

Ahli sunah waljamaah tidak meyakini adanya orang yang ma’sum (terjaga dari dosa dan kesalahan) selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berpendapat bahwa seseorang boleh berijtihad dalam permasalahan yang tersembunyi (samar) sebatas kebutuhan darurat. Walaupun demikian, mereka tidak fanatik dengan pendapat seseorang, kecuali jika pendapat tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka berkeyakinan bahwa setiap mujtahid bisa benar dan bisa salah. Jika benar, baginya dua pahala, yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran ijtihadnya. Jika salah, baginya satu pahala, yaitu pahala ijtihad saja. Maka, perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam masalah ijtihad tidak mengharuskan terjadinya permusuhan dan saling menjauhi, tetapi satu sama lain saling mencintai, saling berwala, dan sebagian salat di belakang sebagian lainnya, walaupun ada perbedaan di antara mereka pada sebagian masalah far’iyah (masalah yang sifatnya cabang, bukan masalah yang sifatnya pokok).

Mereka tidak mewajibkan seseorang dari kaum muslimin untuk mengikuti dan terpaku (taklid) pada mazhab fikih tertentu, namun tidak mengapa jika atas dasar ittiba’ (mengikuti sesuai dengan dalil syar’i), bukan taklid. Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah berpindah dari mazhab yang satu ke mazhab yang lain untuk mengikuti dalil yang kuat. Bagi penuntut ilmu, jika ia memiliki keahlian dan mampu mengetahui dalil-dalil yang digunakan oleh para imam, mereka wajib mengamalkannya dan berpindah dari satu mazhab imamnya dalam suatu masalah ke mazhab imam yang lain, yakni dengan memilih penggunaan dalil yang lebih tepat dan lebih kuat pemahamannya dalam masalah lain. Ia tidak boleh mengambil pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya. Bila demikian, ia akan menjadi muqallid (orang yang taklid). Hendaklah ia mencurahkan apa yang ia miliki untuk meneliti dan akhirnya dapat mengambil pendapat yang lebih kuat dari perbedaan pendapat yang terjadi. Jika tidak mungkin mentarjih (memilih pendapat yang paling kuat), berarti posisinya menjadi seperti orang awam sehingga ia harus bertanya kepada ulama.

Orang awam yang tidak dapat meneliti dalil, maka tidak ada mazhab baginya. Mazhabnya adalah mazhab mufti-nya (orang yang berhak memberikan fatwa). Oleh karena itu, hendaklah ia bertanya kepada ulama tentang al-Qur-an dan as-Sunnah.

Allah Taala berfirman:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43)

Ahli sunah waljamaah berpendapat bahwa fikih dalam agama tidak sempurna dan tidak benar kecuali dengan ilmu dan amal sekaligus. Oleh sebab itu, barangsiapa mendapatkan ilmu yang banyak, tetapi ia tidak mengamalkannya atau tidak mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengamalkan as-Sunnah, maka ia bukan seorang faqih (ahli fikih).

Baca juga: PENGERTIAN AHLI SUNAH WALJAMAAH

Baca juga: MANHAJ (JALAN) GOLONGAN YANG SELAMAT

Baca juga: AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

Baca juga: MENGAPA AKIDAH SALAFUS SALEH LEBIH UTAMA UNTUK DIIKUTI?

Baca juga: GENERASI TERBAIK UMAT ISLAM

(‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al-Atsari)

Akidah