Riba secara bahasa artinya tambahan. Sedangkan secara syar’i (istilah) artinya tambahan atas barang-barang tertentu. Riba terbagi dalam dua jenis: riba nasi’ah dan riba fadhl.
Nasi’ah diambil dari kata nasa’ yang artinya mengakhirkan. Riba jenis ini ada dua macam:
1. Memungut bunga dari orang yang kesulitan membayar hutang
Riba nasi’ah jenis ini adalah riba yang terjadi di zaman jahiliah. Jika seseorang memiliki hutang kepada orang lain dalam tempo tertentu, lalu ketika jatuh tempo orang yang memberi hutang berkata kepada orang yang berhutang, “Bayarlah hutangmu sekarang atau kamu terkena bunga,” jika orang yang berhutang membayar, maka ia tidak dikenai tambahan; jika tidak membayar, maka ia diberi tenggang waktu lagi dengan catatan hutangnya bertambah hingga akhirnya hutang yang ditanggungnya membesar. Oleh karena itu, Allah mengharamkan riba dengan firman-Nya:
وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ
“Bila dia (orang yang berhutang) dalam kesulitan, maka tangguhkanlah hingga ia berkelapangan.” (QS al-Baqarah: 280)
Artinya, bila saat jatuh tempo orang yang berhutang dalam kesulitan, maka orang yang memberi hutang tidak boleh menambah hutangnya dengan bunga, tetapi dengan memberinya tenggang waktu. Namun bila orang yang berhutang memiliki kelapangan, maka ia wajib membayar hutang tersebut hingga tidak perlu ada tambahan pada hutangnya, baik dalam kondisi sulit maupun lapang.
2. Riba dalam jual beli dua jenis barang
Riba nasi’ah jenis ini terjadi dalam jual beli dua jenis barang yang sama-sama memiliki ‘illah riba fadhl’ dan serah terima salah satu atau kedua barang tersebut tertunda (tidak langsung di tempat).
Misalnya: Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr (biji-bijian yang merupakan jenis terpenting yang ditanam di negara beriklim sedang, yang bulirnya digiling untuk membuat tepung untuk roti, pasta, kue, dll.), sya’ir dengan sya’ir (biji-bijian yang keras yang memiliki bulu kasar yang menjulur dari telinga. Ini dibudidayakan secara luas, terutama untuk digunakan dalam pakan ternak), kurma dengan kurma, dan garam dengan garam; atau menjual salah satu dari keenam jenis tersebut dengan jenis lain namun secara tempo. (Misalnya menjual emas dengan perak, kurma dengan garam yang tidak langsung serah terima di tempat. Salah satu atau keduanya diserahkan beberapa waktu kemudian.) Demikian halnya dengan barang-barang lain yang memiliki ‘illah (sebab) sama dengan keenam jenis barang di atas, maka riba pun dapat terjadi pada barang tersebut.
Baca juga: RIBA DAN HUKUMNYA
Baca juga: HIKMAH DIHARAMKANNYA RIBA
Baca juga: RIBA FADHL
Baca juga: TRANSAKSI-TRANSAKSI RIBA
Baca juga: BATU DAN SUNGAI DARAH UNTUK PEMAKAN RIBA
Baca juga: MERAJALELANYA RIBA
(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)