131. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah perempuan yang mengikat rambut kepalaku dengan kuat. Apakah aku harus membukanya untuk mandi janabah?”
Dan dalam satu riwayat: “Juga untuk haidh?”
Beliau menjawab,
لَا، إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ
“Tidak, cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
132. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haidh dan orang yang junub.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
PENJELASAN
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyampaikan di sini hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ia biasa mengikat rambut kepalanya, yaitu dengan mengepang dan menjadikannya jalinan-jalinan. Lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku wajib membukanya ketika mandi dari janabah atau haidh?”
Beliau menjawab, “Tidak wajib membukanya, tetapi cukup dengan membasahi akar-akar rambut dan mencuci rambut dengan air hingga air masuk ke seluruh bagiannya.” Itu sudah mencukupi, baik untuk mandi janabah maupun mandi haidh, karena yang dimaksud dari mandi tersebut adalah meratakan air ke seluruh tubuh.
Kemudian disebutkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haidh dan orang yang junub.” Maknanya adalah bahwa tidak diperbolehkan bagi perempuan haidh untuk tinggal di masjid, meskipun hanya untuk mendengarkan dzikir, ceramah, atau yang semacamnya. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya memerintahkan para perempuan untuk keluar (mengikuti shalat) dan memerintahkan perempuan-perempuan haidh untuk menjauhi tempat shalat. Ini menunjukkan bahwa perempuan haidh tidak boleh tetap berada di dalam masjid.
Adapun jika perempuan haidh lewat di dalam masjid, maka hal itu tidak mengapa. Misalnya lewat dari satu pintu ke pintu yang lain, atau masuk ke masjid karena ada keperluan, seperti mengambil sesuatu dari dalam masjid lalu pergi membawanya, maka hal itu tidak mengapa.
Demikian pula dalam keadaan darurat, maka hal itu tidak mengapa. Contohnya seseorang sedang dalam perjalanan bersama keluarganya. Ia datang ke masjid untuk shalat dan khawatir terjadi sesuatu terhadap istrinya jika ditinggalkan di dalam mobil atau di depan pintu masjid. Maka istrinya boleh masuk ke dalam masjid karena darurat, dan tidak mengapa dengan hal itu.
Masalah ini juga berkaitan dengan perempuan yang sedang bersama keluarganya dalam haji atau umrah sementara ia dalam keadaan haidh. Sudah diketahui bahwa hal itu akan memberatkannya jika harus tinggal sendirian di dalam mobil sampai keluarganya selesai melakukan thawaf dan sa’i. Ia diperbolehkan masuk ke area sa’i, sebab area sa’i bukan bagian dari Masjidil Haram. Oleh karena itu, jika seseorang yang sedang beri’tikaf di Masjidil Haram keluar menuju area sa’i, maka i’tikafnya batal —kecuali jika ada kebutuhan darurat— karena area sa’i bukan bagian dari masjid.
Demikian pula, dibolehkan bagi orang junub untuk berdiam di area sa’i dan diperbolehkan melakukan jual beli di sana, karena area sa’i bukan bagian dari Masjidil Haram. Namun thawaf tidak boleh dilakukan di area sa’i, karena area sa’i bukan bagian dari Masjidil Haram, sedangkan thawaf harus dilakukan di dalam masjid.
Berdasarkan hal ini, jika orang-orang berdesakan dalam melakukan thawaf di atap masjid, lalu ketika sampai di turunan yang mengarah ke area sa’i, mereka tidak boleh turun. Jika mereka turun, maka mereka telah keluar dari masjid. Padahal thawaf harus dilakukan di dalam masjid. Dengan demikian thawaf mereka tidak sah. Kecuali jika terjadi keramaian yang sangat padat di atap dan seseorang tidak bisa bergerak, lalu terpaksa turun ke area sa’i, sementara semua orang saling berdesakan, maka kami berharap hal itu tidak mengapa. Adapun dalam keadaan longgar, maka tidak diperbolehkan melakukan thawaf di area sa’i, karena tempat sa’i bukan bagian dari masjid.
Demikian pula, orang yang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalam masjid, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan haidh dan orang yang junub.”
Hikmahnya —wallahu a’lam— adalah bahwa para malaikat tidak masuk ke rumah yang terdapat di dalamnya orang junub. Jika ia masuk ke masjid, maka ia menyakiti para malaikat, karena masjid adalah tempat para malaikat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ.
“Barang siapa memakan bawang merah, bawang putih, atau daun bawang, maka jangan mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu oleh hal-hal yang juga mengganggu manusia.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Maka tidak halal bagi orang junub untuk masuk dan berdiam di masjid. Adapun hanya sekadar melewatinya, maka tidak mengapa, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ
“Dan (janganlah kalian mendekati masjid) dalam keadaan junub, kecuali sekadar lewat saja.” (QS an-Nisa’: 43)
Para ulama berkata: Selama belum berwudhu, maka jika orang yang junub berwudhu seperti wudhu untuk shalat —yakni tanpa mandi besar— maka diperbolehkan baginya untuk berdiam di masjid. Mereka berdalil dengan keadaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang belum menikah, di mana mereka biasa tidur di masjid. Jika salah satu dari mereka junub, ia berwudhu, lalu kembali dan tidur (di masjid). (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i) Adapun tanpa wudhu, maka tidak halal baginya berdiam di masjid kecuali keadaan darurat, karena keadaan darurat memiliki hukum tersendiri.
Berdasarkan hal ini, kami katakan: Sesungguhnya orang yang junub tidak boleh melaksanakan shalat, karena shalat diharamkan dan tidak sah dari orang yang berhadas. Demikian pula, orang yang junub tidak boleh membaca al-Qur’an.
Baca juga: ORANG YANG MENGALAMI HADAS TERUS-MENERUS
Baca juga: HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI YANG JUNUB
Baca juga: TERJADINYA SYIRIK DALAM TAUHID ULUHIYAH
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

