Hijrah terdiri dari tiga macam: hijrah tempat, hijrah perbuatan dan hijrah pelaku.
1. Hijrah Tempat
Macam hijrah pertama adalah hijrah tempat, yaitu hijah dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah hijrahnya seseorang dari tempat yang penuh dengan kemaksiatan dan kefasikan ke tempat yang tidak ada kemaksiatan dan kefasikan.
Hijrah yang paling utama dan besar pahalanya adalah hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam. Para ulama menjelaskan bahwa hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam adalah wajib bagi mereka yang tidak mampu menampakkan keislamannya di negeri kafir. Sedangkan bagi mereka yang mampu menampakkan keislamannya dan tidak ada larangan untuk menjalankan syiar-syiar Islam, hijrah baginya tidak wajib, melainkan sunah.
Berdasarkan hal itu, muslim yang tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menjalankan kewajiban agamanya harus meninggalkan negeri tersebut dan hijrah ke negeri Islam. Sebaliknya, muslim yang tinggal di negeri Islam tidak boleh bepergian ke negeri kafir, karena di negeri kafir banyak hal yang membahayakan agama dan akhlaknya. Selain itu, perbuatan itu menghambur-hamburkan uang dan memperkuat perekonomian negeri kafir.
Syarat-syarat bepergian ke negari kafir
Seorang muslim tidak boleh bepergian ke negeri kafir, kecuali memenuhi tiga syarat:
a. Memiliki ilmu yang memadai
Ilmu itu digunakan untuk membentengi diri dari perkara-perkara syubhat, karena orang kafir selalu melontarkan keraguan kepada kaum muslimin dalam agama, rasul, kitab dan akhlak. Mereka selalu berusaha menggoyahkan keyakinan umat Islam sehingga umat Islam ragu dan bimbang.
Kita mengetahui bahwa orang yang ragu dalam hal yang seharusnya dia yakini, berarti dia belum melaksanakan kewajiban. Beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan kadar baik atau kadar buruk harus disertai dengan keyakinan. Orang yang sedikit saja ragu dalam salah satu rukun iman itu, berarti dia kafir.
Orang-orang kafir menebarkan keraguan kepada kaum muslimin. Sebagian pembesar mereka mengatakan kepada pengikutnya, “Janganlah kalian berupaya mengeluarkan orang Islam dari agamanya untuk masuk ke agama Nasrani, tetapi cukuplah kalian jadikan mereka ragu terhadap agama mereka sendiri. Jika kalian berhasil melakukannya, berarti kalian telah merampas mereka dari agamanya. Dan itu sudah cukup.”
Orang kafir sudah puas apabila mereka berhasil mengeluarkan orang Islam dari kemuliaan, kemenangan dan kehormatan. Apabila mereka berusaha memasukkan orang Islam ke dalam agama Nasrani yang dibangun di atas kesesatan dan kebodohan, itu tidak mungkin, karena orang-orang Nasrani itu sendiri sudah tersesat, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu agama Nasrani dianggap sebagai agama yang benar sebelum dihapus oleh risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Memiliki agama yang dapat melindungi diri dari syahwat
Orang yang tidak beragama, apabila pergi ke negeri kafir, dia akan tenggelam ke dalam syahwat. Hal ini karena di negeri kafir dia menemukan banyak kenikmatan dunia, seperti minuman keras, zina, dan homoseksual.
c. Ada keperluan yang mendesak
Contoh keperluan yang mendesak adalah berobat ke negeri kafir bagi orang yang sakit parah, mendalami ilmu tertentu yang tidak diperoleh kecuali di negeri kafir, atau berdagang. Mereka boleh pergi ke negeri kafir untuk memenuhi keperluan yang mendesak itu. Apabila aktivitas di negeri kafir selesai, mereka harus kembali ke negeri mereka.
Sehubungan dengan itu, orang yang pergi ke negeri kafir untuk tujuan wisata, menurutku berdosa. Setiap riyal yang dikeluarkan untuk perjalanan itu hukumnya haram dan termasuk menghambur-hamburkan harta. Di Hari Kiamat nanti dia akan diminta pertanggungjawaban. Jika tidak memiliki alasan kuat atas perbuatannya, dia akan diazab dengan azab yang amat pedih.
Pada saat itu dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali balasan atas perbuatannya. Dia diazab karena telah membuang-buang waktu, harta dan merusak akhlak. Dan mungkin dia melakukannya bersama sanak keluarga.
Sungguh mengherankan orang yang pergi ke negeri kafir. Dia pergi ke sana sedangkan di sana tidak terdengar suara azan, tidak terdengar suara orang-orang yang berzikir. Yang terdengar hanyalah suara terompet orang-orang Yahudi atau lonceng orang-orang Nasrani. Dia menetap di sana selama beberapa waktu bersama keluarga sehingga rusaklah agama dan akhlak mereka. Semoga kita diselamatkan dari musibah seperti itu.
Itu termasuk kemaksiatan yang karenanya Allah menurunkan bencana kepada kita. Musibah yang menimpa kita sekarang ini disebabkan oleh dosa dan maksiat yang kita lakukan. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (QS asy-Syura: 30)
2. Hijrah Perbuatan
Macam hijrah kedua adalah hijrah perbuatan, yaitu meninggalkan kemaksiatan dan kefasikan yang dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. وَالْمُهَاجِرُ مِنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
“Orang muslim (sejati) adalah orang (muslim) yang (bisa membuat) orang-orang Islam selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tinggalkanlah semua yang dilarang Allah Ta’ala, baik yang berkenaan dengan hak Allah maupun hak hamba-Nya, seperti mencela, mengumpat, membunuh, menipu, memakan harta secara batil, durhaka kepada kedua orangtua dan memutus tali persaudaraan. Jika hawa nafsumu mengajakmu berbuat demikian, ingatlah bahwa Allah Ta’ala melarangnya sehingga kamu mampu meninggalkan dan menjauhinya.
3. Hijrah Pelaku
Macam hijrah ketiga adalah hijrah pelaku, yaitu hijrah dari pelaku maksiat dengan cara menjauhi atau mengucilkan pelaku maksiat. Para ulama mengatakan bahwa orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan dan tidak memedulikan teguran orang lain dianjurkan untuk dikucilkan jika pengucilan membawa faedah dan maslahat. Dengan dikucilkan, diharapkan dia menyadari kesalahannya dan bertobat dari kemaksiatan.
Contoh pelaku kemaksiatan adalah orang yang suka melakukan kecurangan dalam jual beli. Jika orang-orang tidak membeli barang dagangannya, dia akan menyadari kesalahannya, menyesal dan bertobat. Contoh lain adalah orang yang suka melakukan transaksi riba. Orang-orang mengucilkannya, tidak mengucapkan salam dan tidak pula mengajak berbicara. Dengan sebab itu, diharapkan dia merasa malu, menyadari kesalahannya, menyesal dan bertobat.
Jika pengucilan tidak membawa manfaat, tidak membuat dia berubah, maka pengucilan tidak diperbolehkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ. يَلْتَقِيَان، فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا. وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Jika keduanya bertemu, yang satu menoleh ke sana, yang lain menoleh ke sini. Yang lebih baik di antara keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR al-Bukhari, an-Nasa-i dan Ahmad)
Sebagaimana diketahui, menurut ahli sunah waljamaah, kemaksiatan selain kufur tidak membuat pelakunya keluar dari Islam.
Maka perlu ditegaskan kembali di sini bahwa ukuran boleh tidaknya pengucilan terhadap pelaku maksiat adalah ada atau tidaknya maslahat yang ditimbulkan. Apabila menimbulkan maslahat, maka pengucilan diperbolehkan. Hal ini berdasarkan kisah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mirarah bin ar-Rabi’. Mereka tidak ikut berperang pada Perang Tabuk. Rasulullah menjauhi mereka dan memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi mereka. Mereka kemudian menyadari kesalahannya. Dunia yang sangat luas terasa sempit bagi mereka. Mereka tertekan. Mereka yakin bahwa tidak ada tempat mengadu kecuali mengadu kepada Allah. Mereka bertobat kepada Allah Ta’ala dan Allah menerima tobat mereka.
Inilah tiga macam hijrah: hijrah tempat, hijrah perbuatan, dan hijrah pelaku.
Baca juga: BALASAN SUATU AMAL SESUAI DENGAN NIATNYA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)