Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaibi wa sallam bersabda, .
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّومُ. فإِنَّ أَحَدُكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ، لَا يَدْرِي. لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mengantuk saat sedang shalat, maka hendaklah ia tidur hingga kantuk itu hilang. Sebab, bila ia shalat dalam keadaan mengantuk, ia tidak tahu: Bisa jadi ia bermaksud beristighfar namun justru mencela dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih)
PENJELASAN
Penulis rahimahullah menyebutkan, dalam riwayat yang dinukil dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengantuk saat sedang shalat, maka hendaklah ia tidur hingga kantuk itu hilang.”
Kantuk adalah suatu kondisi pada pancaindra yang timbul karena rasa tidur yang menguasai sehingga seseorang tidak lagi mampu mengendalikan pancaindranya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntun orang yang dikuasai kantuk ketika shalat untuk menghentikan shalatnya dan tidak shalat dalam keadaan mengantuk.
Kemudian beliau menjelaskan alasannya dengan sabdanya, “Sebab, bila ia shalat dalam keadaan mengantuk, ia tidak tahu: Bisa jadi ia bermaksud beristighfar namun justru mencela dirinya sendiri.” Alih-alih mengatakan, “Ya Allah, ampunilah dosaku atau dosa yang telah aku perbuat,” ia justru mencela dirinya dengan dosa yang ingin ia mintakan ampun kepada Allah. Demikian pula, mungkin ia ingin meminta Surga kepada Allah, tetapi justru meminta Neraka; atau ia ingin memohon petunjuk, tetapi malah meminta kesesatan kepada Rabb-nya. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk tidur.
Di antara hikmah dari hal ini adalah bahwa seseorang memiliki hak atas dirinya. Jika ia memaksa dirinya melakukan ibadah dengan kesulitan, maka sesungguhnya ia telah menzalimi dirinya sendiri. Maka kamu, wahai saudaraku, janganlah melampaui batas hingga mengurangi, dan jangan pula melampaui batas hingga berlebihan.
Dari hadis ini diambil pelajaran bahwa tidak selayaknya seseorang membebani dan menyulitkan dirinya dalam ibadah. Hendaklah ia melakukannya sesuai dengan apa yang ia sanggupi.
Allah-lah yang memberi taufik.
Baca juga: WAKTU-WAKTU LARANGAN SHALAT
Baca juga: SHALAT DENGAN SEMANGAT, ISTIRAHAT SAAT LELAH
Baca juga: SEMANGAT DALAM MERAIH KEBAIKAN
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)