102. Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَهُوَ يَبُولُ، وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنْ اَلْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ، وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي اَلْإِنَاءِ
“Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat kencing, jangan pula membersihkan diri setelah buang hajat dengan tangan kanannya, dan jangan bernapas di dalam wadah.” (Muttafaq ‘alaih, dan lafaz ini milik Muslim)
PENJELASAN
Ketahuilah bahwa syariat Islam telah sempurna dari segala aspek. Di dalamnya terdapat pemberitahuan kepada manusia tentang segala sesuatu yang bermanfaat bagi agama dan dunia mereka. Termasuk di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh penulis kitab Bulughul Maram, dalam bab Adab Buang Hajat, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat kencing, jangan pula membersihkan diri setelah buang hajat dengan tangan kanannya, dan jangan bernapas di dalam wadah.”
Ini adalah tiga adab yang seharusnya diperhatikan oleh setiap muslim, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk mengenai hal ini.
Yang pertama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat kencing.”
Ini adalah larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar seseorang tidak memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat kencing, sebagai bentuk pemuliaan terhadap tangan kanan, karena saat kencing bisa jadi percikan air kencing atau sebagian air kencing mengenai tangan kanan, sehingga tangan tersebut menjadi terkena najis. Tangan kanan seharusnya tidak terkena kotoran dan najis, karena ia dimuliakan, sedangkan yang seharusnya bersentuhan dengan kotoran atau najis adalah tangan kiri.
Terkadang seseorang terpaksa melakukannya. Jika memang terpaksa, maka tidak mengapa. Misalnya, ketika tanahnya keras sehingga menyulitkan posisi jongkok, atau jika tangan kirinya tidak bisa digerakkan. Dalam keadaan seperti ini, ia perlu memegang kemaluannya dengan tangan kanannya. Adapun, jika tidak ada kebutuhan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut, sebagaimana sabdanya, “Janganlah salah seorang di antara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya saat kencing.”
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “saat kencing,” sebagian ulama berpendapat bahwa jika seseorang dilarang memegang kemaluannya dengan tangan kanan saat kencing, maka dalam keadaan selain itu tentu lebih utama lagi untuk dilarang. Hal ini karena seseorang mungkin membutuhkan tangan kanan untuk memegang kemaluannya saat kencing, berbeda dengan keadaan saat tidak sedang kencing.
Sebagian ulama berpendapat bahwa batasan ini (yaitu saat kencing) memang dianggap relevan, sehingga memegang kemaluan dengan tangan kanan di luar keadaan kencing tidak mengapa. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena terdapat beberapa lafaz hadis yang melarang memegang kemaluan dengan tangan kanan secara mutlak, tanpa dibatasi pada keadaan kencing saja. Oleh karena itu, janganlah memegang kemaluanmu dengan tangan kanan, baik saat kencing maupun dalam keadaan lainnya.
Yang kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan pula membersihkan diri setelah buang hajat dengan tangan kanannya.”
Artinya, jika seseorang ingin membersihkan area keluarnya kotoran —baik dengan beristinja’ menggunakan air atau beristijmar menggunakan batu— maka ia tidak boleh melakukannya dengan tangan kanannya. Maksudnya, ia tidak boleh mengambil batu yang digunakan untuk beristijmar dengan tangan kanan, tetapi harus mengambilnya dengan tangan kiri.
Demikian pula, ketika mencuci kemaluan dengan air setelah kencing atau berak, jangan memegangnya langsung dengan tangan kanan. Akan tetapi, air dituangkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri digunakan untuk membersihkan. Namun, jika keadaan darurat, seperti tangan kiri yang lumpuh, sakit, terkena penyakit, atau keadaan lain yang serupa, maka setiap keadaan darurat memiliki hukum khusus.
Hikmah dari larangan ini adalah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu untuk memuliakan tangan kanan. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh membersihkan diri dengan tangan kanannya, baik dalam beristijmar maupun beristinja’.
Yang ketiga adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan janganlah ia bernapas di dalam wadah.”
Ini juga termasuk larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, ketika seseorang minum air, susu, kuah, atau minuman lainnya, ia tidak boleh bernapas di dalam wadahnya. Jika ingin bernapas, maka hendaklah ia menjauhkan wadah tersebut terlebih dahulu, kemudian bernapas. Hal ini karena bernapas di dalam wadah minuman memiliki tiga bahaya:
Pertama: Mungkin seseorang tersedak air, karena udara (napas) bergerak naik sementara air bergerak turun. Ketika keduanya bertemu, hal ini dapat menyebabkan tersedak, yang dapat menimbulkan bahaya.
Kedua: Mungkin bersama napas keluar penyakit, yaitu yang dikenal sebagai mikroba, sehingga minuman tersebut terkontaminasi dan membahayakan kesehatan.
Ketiga: Hal ini dianggap menjijikkan oleh orang lain. Jika seseorang tahu bahwa kamu bernapas di dalam wadah minuman, kemungkinan besar ia tidak akan mau minum setelahmu.
Karena alasan inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bernapas di dalam wadah minuman.
Ketahuilah bahwa minum air memiliki sunah-sunah dalam bentuk ucapan dan perbuatan.
Adapun sunah dalam bentuk ucapan, yaitu seseorang mengucapkan basmalah ketika hendak minum. Beberapa ulama berpendapat bahwa wajib mengucapkan basmalah ketika hendak minum, agar setan tidak ikut minum bersamanya. Demikian pula termasuk sunah dalam bentuk ucapan adalah ketika selesai minum, seseorang mengucapkan hamdalah (memuji Allah)
Adapun sunah dalam bentuk perbuatan, seseorang minum dengan tiga kali tarikan napas. Setiap kali mengambil napas, ia menjauhkan wadah minum dari mulutnya. Hal ini karena jika seseorang minum dengan tiga kali tarikan napas, maka minumnya akan lebih menyegarkan, lebih melegakan, dan lebih mudah dicerna. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) Dengan demikian, ia memperoleh tiga manfaat ini: kesegaran, terbebas dari rasa dahaga, dan lebih mudah dicerna, yaitu lebih mudah keluar dan lebih mudah diserap oleh tubuh.
Termasuk sunah dalam bentuk perbuatan juga adalah seseorang meminum air dengan cara mengisapnya perlahan, seperti seorang bayi mengisap susu dari payudara, agar air masuk ke lambung secara bertahap dan memperoleh kehangatan dari mulut yang membuatnya lebih sesuai untuk lambung. Oleh karena itu, janganlah seseorang meneguknya sekaligus, agar air tidak masuk ke lambung dalam keadaan dingin, yang dapat berdampak buruk padanya, terutama saat sangat haus, karena rasa haus yang sangat menunjukkan adanya panas di lambung. Jika air dingin langsung masuk ke lambung secara tiba-tiba, maka lambung akan terkena dampaknya. Namun, jika air diminum dengan cara diisap perlahan, maka air tersebut akan masuk ke lambung secara bertahap.
Air dalam jumlah sedikit yang melewati mulut dan tenggorokan ini akan bersentuhan dengan tubuh yang lebih hangat, sehingga dinginnya berkurang dan suhunya meningkat. Ketika mencapai lambung, air tersebut telah menyesuaikan diri dan menjadi lebih sesuai untuk diterima oleh lambung.
Oleh karena itu, sebaiknya ketika minum air seseorang meminumnya dengan cara diisap perlahan. Adapun minuman lain, seperti susu, kuah, dan yang semisalnya, boleh diminum dengan cara diteguk langsung.
Termasuk sunah dalam bentuk perbuatan adalah makan dengan tangan kanan dan minum dengan tangan kanan. Adapun makan atau minum dengan tangan kiri hukumnya haram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ
“Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Beliau pernah melihat seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya, lalu beliau memerintahkannya untuk makan dengan tangan kanannya. Namun, orang tersebut berkata, “Aku tidak bisa.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا اسْتَطَعْتَ
“Semoga engkau tidak bisa,”
sehingga setelah itu laki-laki tersebut tidak pernah lagi bisa mengangkat tangan kanannya ke mulutnya selamanya. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Ini menunjukkan wajibnya makan dan minum dengan tangan kanan.
Apa yang dibiasakan oleh sebagian orang, yaitu ketika sedang makan mereka memegang gelas dengan tangan kirinya, adalah suatu kesalahan. Hal ini karena sesuatu yang haram tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat, sedangkan dalam kasus ini tidak ada keadaan darurat, terutama pada masa sekarang, ketika setiap orang biasanya memiliki gelasnya sendiri.
Sebagian orang mungkin beralasan, “Aku khawatir akan mengotori gelas untuk orang yang minum setelahku.” Namun, sekarang alasan ini tidak lagi relevan, karena setiap orang biasanya menggunakan gelas pribadi.
Oleh karena itu, seseorang harus menegur saudaranya jika melihatnya makan atau minum dengan tangan kiri, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan perintah kebaikan dan larangan dari kemungkaran. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban.
Dalam hadis ini terdapat dalil tentang keluasan syariat Islam, dan bahwa —segala puji bagi Allah— syariat ini tidak meninggalkan satu pun perkara kecuali telah menjelaskannya kepada manusia.
Kita memohon kepada Allah agar Dia meneguhkan kita di atas syariat Islam, serta menganugerahkan kita ampunan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca juga: MAKRUH MEMEGANG ZAKAR DAN CEBOK DENGAN TANGAN KANAN
Baca juga: MAKAN DAN MINUM DENGAN TANGAN KANAN
Baca juga: HUKUM KENCING DAN KOTORAN MANUSIA
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

