Kebiasaan generasi terdahulu dalam menentukan kadar waktu untuk mengkhatamkan al-Qur’an berbeda-beda. Di antara mereka mengkhatamkannya dalam dua bulan, dalam satu bulan, dalam sepuluh malam, dan dalam tujuh malam, yang merupakan kebiasaan kebanyakan dari mereka. Hal ini dikatakan oleh an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar.
Di antara mereka mengkhatamkannya dalam waktu kurang dari itu, yaitu tiga hari. Ada pula mengkhatamkannya setiap hari dan malam satu kali khataman. Kisah Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma tentang hal ini terkenal. Ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
اقْرَأِ القُرْآنَ فِي شَهْر
“Bacalah al-Qur’an dalam sebulan.”
Aku berkata, “Sesungguhnya aku memiliki kekuatan (untuk lebih cepat dari itu).”
Hingga akhirnya beliau bersabda,
فَاقْرَأْهُ فِي سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِك
“Maka bacalah ia (al-Qur’an) dalam tujuh hari dan jangan lebih (cepat) dari itu.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)
Karena itu, sebagian dari mereka menjadikan tujuh hari sebagai batas paling sedikit untuk mengkhatamkan al-Qur’an. Sebagian lainnya menjadikan tiga hari sebagai batas paling sedikit, dengan berdalil pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
اقْرَأِ القُرْآنَ فِي شَهْر
“Bacalah al-Qur’an dalam sebulan.”
Aku berkata, “Sesungguhnya aku memiliki kekuatan (untuk lebih cepat dari itu).”
Beliau bersabda,
اِقْرَأْهُ فِي ثَلَاثٍ
“Bacalah ia (al-Qur’an) dalam tiga hari.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan al-Albani berkata, “Hasan Shahih.”)
Dari Imam Ahmad bahwa hal itu tidak ditentukan dengan waktu tertentu, melainkan sesuai dengan keadaan seseorang dalam hal semangat dan kekuatannya. Sebab, telah diriwayatkan bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu dahulu mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu malam, dan hal ini juga diriwayatkan dari sekelompok generasi terdahulu, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Muflih.
Pendapat yang kami pilih adalah seperti yang dipilih oleh an-Nawawi, yaitu bahwa hal ini berbeda sesuai dengan keadaan masing-masing orang. Barang siapa memperoleh kelembutan dan pengetahuan mendalam melalui pemikiran yang teliti, hendaklah ia membatasi diri pada kadar yang memungkinkan baginya untuk meraih pemahaman yang sempurna atas apa yang ia baca.
Demikian pula bagi orang yang sibuk menyebarkan ilmu, memutuskan perkara di antara kaum muslimin, atau terlibat dalam tugas-tugas penting agama dan kemaslahatan umum kaum muslimin, hendaklah ia membatasi diri pada kadar yang tidak menyebabkan kelalaian terhadap tugas yang diamanahkan kepadanya dan tidak pula menyebabkan hilangnya kesempurnaan dalam tugasnya.
Adapun siapa saja yang tidak termasuk kategori tersebut, maka hendaklah ia memperbanyak bacaan al-Qur’an sebanyak yang ia mampu, selama tidak mencapai batas kejenuhan atau tergesa-gesa dalam membaca.
Peringatan: Tidak ada doa khusus yang ditetapkan saat khatam al-Qur’an. Banyaknya doa khatam al-Qur’an yang tersebar dan biasa digunakan di kalangan manusia bukan dalil atas disyariatkannya doa-doa tersebut. Tidak ada teks yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dijadikan hujah untuk mewajibkan doa tertentu yang diucapkan saat khatam al-Qur’an yang agung.
Di antara doa yang paling terkenal dan tersebar di kalangan manusia adalah “Doa Khatam al-Qur’an yang Agung” yang dinisbatkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namun, penisbatan kepadanya tidak sah dalam keadaan apa pun. Bahkan, Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berwasiat untuk tidak memasukkan doa itu dalam fatwa-fatwanya, karena beliau meragukan keabsahan penisbatan kepada Syaikhul Islam.
Selama kita membahas tentang doa khatam al-Qur’an, kami tambahkan faedah untuk kalian, yaitu ringkasan dari apa yang telah dicapai oleh Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullah dalam risalahnya yang berjudul “Marwiyat Du’a Khatm al-Qur’an”. Beliau berkata:
Berdasarkan hal tersebut, kesimpulan hukum dari kedua keadaan ini dapat diringkas dalam dua poin:
Pertama: Bahwa doa seseorang yang mengkhatamkan al-Qur’an di luar shalat serta hadirnya doa dalam keadaan tersebut adalah perkara yang diriwayatkan dari amalan salafus shalih dari generasi awal umat ini. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dari perbuatan Anas radhiyallahu ‘anhu, yang diikuti oleh sekelompok tabi’in, serta Imam Ahmad dalam riwayat Harb, Abu al-Harits, dan Yusuf bin Musa rahimahumullahu ajma’in. Sebab, doa tersebut termasuk dalam jenis doa yang disyariatkan.
Telah disebutkan sebelumnya perkataan Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Dan itu termasuk salah satu tempat yang paling ditekankan untuk berdoa dan tempat yang paling diharapkan terkabulnya doa.”
Kedua: Bahwa doa khatam al-Qur’an dalam shalat, baik dari imam maupun orang yang shalat sendirian, sebelum ruku’ atau sesudahnya, baik dalam (shalat tarawih) maupun selainnya, tidak diketahui adanya riwayat tentang hal itu sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula dari seorang pun di antara para sahabatnya dengan sanad yang bersambung.
Baca juga: MENANGIS SAAT MEMBACA DAN MENDENGARKAN AL-QUR’AN
Baca juga: AL-QUR’AN DAN KEUTAMAANNYA
Baca juga: WAKTU-WAKTU DOA DIKABULKAN
(Fuad bin Abdul Aziz asy-Syalhub)

