LARANGAN BERAK ATAU KENCING MENGHADAP KIBLAT

LARANGAN BERAK ATAU KENCING MENGHADAP KIBLAT

103. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat saat berak atau kencing, atau bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan kurang dari tiga batu, atau bersuci dengan kotoran atau tulang.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

104. Diriwayatkan oleh tujuh perawi dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya ketika berak atau kencing, tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat.”

PENJELASAN

Penulis rahimahullah menyampaikan dalam nukilannya di Bab Adab Buang Hajat dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang berasal dari Persia. Ia beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan telah disebutkan dalam riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.” (al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain dan al-Mu’jam al-Kabir)

Yang dimaksud adalah bahwa ia termasuk ke dalam umat ini, meskipun seorang Persia. Sebab, bangsa Persia, Romawi, dan bangsa-bangsa lainnya, jika mereka beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka menjadi bagian dari umat beliau. Tidak ada perbedaan antara mereka dan bangsa Arab kecuali, dalam hal ketakwaan.

Siapa pun di antara mereka yang paling bertakwa kepada Allah, dialah yang paling mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, meskipun bangsa Arab secara jenis lebih utama dibandingkan bangsa lainnya. Hal ini karena bangsa Arab adalah kaum yang diutus di tengah-tengah mereka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak diutus kecuali kepada bangsa dan kabilah terbaik. Karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla memilih beliau dari umat ini, yaitu dari bangsa Quraisy. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa terbaik dan umat terbaik, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Iqtidha’ ash-Shirat al-Mustaqim. Ini merupakan hal yang jelas, karena Allah Ta’ala tidak mungkin mengutus rasul terbaik kecuali di tengah bangsa terbaik, yaitu bangsa Arab. Namun demikian, siapa pun dari bangsa non-Arab yang beriman dan lebih unggul dalam ilmu, iman, dan takwa dibandingkan orang Arab, maka dialah yang lebih mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. 

Sebab Salman radhiyallahu ‘anhu menyampaikan hadis tersebut adalah karena ada seorang musyrik yang berkata kepadanya, “Nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu, bahkan sampai urusan buang hajat.” (Diriwayatkan oleh Muslim) Maksudnya, Nabi kalian mengajarkan kalian, bahkan hingga adab buang hajat. Salman menjawab, “Benar.” Maksudnya, “Beliau mengajarkan kami segala sesuatu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar telah mengajarkan umatnya segala sesuatu. Tidak satu perkara pun yang dibutuhkan umat dalam urusan agama maupun dunianya, melainkan telah diajarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai pada adab makan, minum, tidur, berpakaian, buang hajat, jual beli, dan seluruh hal lainnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

Kami telah menurunkan kepadamu Kitab sebagai penjelas bagi segala sesuatu.” (QS an-Nahl: 89)

Maka tidak satu perkara pun melainkan Allah telah menjelaskannya dalam Kitab-Nya atau dalam sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penjelasan dalam sunah pun merupakan bagian dari penjelasan al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS an-Nahl: 44)

Tidak satu kebaikan pun melainkan beliau telah menunjukkan dan menganjurkan umat kepadanya, dan tidak satu keburukan pun melainkan beliau telah menjelaskan dan memperingatkan umat darinya. Semoga shalawat dan salam Allah tercurah atas beliau, yang telah meninggalkan umat ini di atas jalan yang terang dan bersih, yang tidak akan menyimpang darinya kecuali orang yang binasa.

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, dan tidak seekor burung pun mengepakkan kedua sayapnya di langit melainkan beliau telah menyampaikan kepada kami pengetahuan tentangnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad)

Bahkan tentang burung-burung di langit pun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan ilmunya kepada umatnya. Maka tidak satu hal pun yang dibutuhkan oleh manusia melainkan beliau telah menjelaskannya kepada mereka — bahkan hingga urusan buang hajat sekalipun.

Ucapan Salman radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat saat berak atau kencing,” termasuk dalam adab buang hajat. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menghadap kiblat ketika berak maupun kencing, baik di tempat terbuka (seperti tanah lapang) maupun di dalam bangunan, seperti toilet-toilet yang umum dijumpai di berbagai negeri.

Karena itulah, Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Janganlah kalian menghadap atau membelakangi kiblat saat berak atau kencing, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat,”

berkata, “Kami pernah datang ke negeri Syam dan mendapati toilet-toilet dibangun menghadap Ka’bah. Maka kami pun memalingkan arah darinya dan memohon ampun kepada Allah.” Hal itu karena kiblat adalah arah menuju Baitullah. Jika Allah telah mewajibkan setiap orang yang shalat untuk menghadap ke kiblat, maka hal itu menunjukkan keagungan arah kiblat tersebut. Menghadap kiblat saat berak atau kencing bertentangan dengan pengagungan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menghadap kiblat saat berak atau kencing.

Sebagai contoh, jika seseorang berada di wilayah Qashim, maka saat buang hajat ia menghadap ke selatan atau ke utara. Namun jika ia berada di Madinah, maka ia menghadap ke timur atau ke barat. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Madinah,

لَا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا

Janganlah kalian menghadap atau membelakangi kiblat saat berak atau kencing, tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat.”

Maka ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka arah-arah yang terlarang, beliau pun menjelaskan arah-arah yang diperbolehkan. Demikianlah kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam —apabila beliau menyebutkan sesuatu yang dilarang, beliau juga menyebutkan apa yang diperbolehkan— agar manusia lebih mudah dalam meninggalkan perkara yang dilarang. Karena itu, haram bagi seseorang untuk menghadap kiblat saat berak atau kencing, baik di tempat terbuka maupun di dalam bangunan.

Siapa saja yang toiletnya menghadap ke arah kiblat, maka wajib baginya untuk mengubah arah tersebut, baik dengan menghancurkannya atau mengalihkannya ke arah kanan atau kiri. Jika tidak, maka ia berdosa kepada Allah sejak ia duduk hingga selesai. Hal ini termasuk bentuk kufur terhadap nikmat dan bertentangan dengan rasa syukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal Allah telah menganugerahinya tempat untuk duduk dan memudahkannya mengeluarkan kotoran dari perut, namun ia tetap berada dalam keadaan maksiat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

Barang siapa menaati Rasul, maka sungguh ia telah menaati Allah.” (QS an-Nisa: 80)

Artinya, siapa durhaka kepada Rasul, maka ia juga telah durhaka kepada Allah. Karena itu, jika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menghadap atau membelakangi kiblat saat berak atau kencing,” maka wajib bagi kita untuk berkata, “Kami dengar dan kami taat.”

Jika seseorang berkata, “Aku tidak mampu mengalihkan arah toilet dari kiblat, dan jika aku menghancurkannya, aku akan mengalami kerugian secara materi,” maka kami katakan kepadanya, “Kerugian dunia jauh lebih ringan daripada kerugian agama.”

Jika kamu melakukan hal itu dan mengalami kerugian demi keselamatan dirimu, keluargamu, orang-orang setelahmu, bahkan orang yang kelak menyewa atau membeli rumah tersebut, maka itu adalah tindakan yang bijak. Sebab, rumah itu mungkin akan kamu jual suatu saat nanti, atau diwariskan kepada orang setelahmu, lalu dijual oleh para ahli warismu —dan dosanya tetap akan menjadi tanggunganmu. Karena itu, siapa saja memiliki toilet yang menghadap kiblat, wajib baginya untuk mengubah arahnya, sehingga kiblat berada di sisi kanan atau sisi kiri. 

Adapun membelakangi kiblat, maka hal ini diperselisihkan (oleh para ulama). Jika dilakukan di tempat terbuka, hukumnya haram tanpa keraguan. Karena itu, jika kamu berada di tempat terbuka —maksudnya di padang luas— dan hendak buang hajat, maka jangan sampai arah kiblat berada di depanmu atau di belakangmu, tetapi hendaklah berada di sebelah kanan atau kirimu. Namun, jika berada di toilet yang dibangun (dalam bangunan), maka hal ini diperselisihkan (oleh para ulama). Sebagian ulama membolehkan, sementara sebagian lainnya melarang. Di antara yang melarang adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dia berkata, “Haram menghadap dan membelakangi kiblat saat buang hajat secara mutlak, baik di tempat terbuka maupun di dalam bangunan.” Pendapat ini juga dipilih oleh Abu Bakr Abdul Aziz. Bahkan menurut mereka, tidak cukup hanya memalingkan sedikit dari arah kiblat. Tidak diragukan bahwa pendapat ini adalah yang lebih hati-hati. 

Namun, pendapat yang tampak (lebih kuat) adalah bahwa membelakangi kiblat di dalam bangunan tidak mengapa. Dalilnya adalah perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Suatu hari aku naik ke atas rumah Hafshah, lalu aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)

Perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mengkhususkan keumuman sabda beliau, karena seluruhnya adalah sunah: ucapan adalah sunah dan perbuatan juga sunah. Maka, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat di dalam bangunan dengan membelakangi Ka’bah dan menghadap Syam, hal ini memungkinkan untuk dikompromikan antara sabda beliau dan perbuatannya. 

Bisa jadi ada yang berkata, “Itu tidak boleh, karena kita tidak tahu —mungkin saja larangan menghadap dan membelakangi kiblat datang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah membelakangi kiblat.”

Maka dikatakan, “Keumuman dan kekhususan tidak disyaratkan harus diketahui mana yang lebih dahulu atau lebih akhir. Artinya, suatu teks yang bersifat umum boleh dikhususkan oleh dalil pengkhususnya, baik dalil itu datang sebelum maupun sesudah (teks umum tersebut).”

Kesimpulannya: Tidak halal bagi seseorang untuk menghadap kiblat saat buang hajat dan tidak pula membelakanginya. Jika toilet telah dibangun dan arahnya menghadap ke kiblat, maka wajib dihancurkan atau dialihkan dari arah kiblat. Adapun membelakangi kiblat, jika dilakukan di dalam bangunan dan di tempat yang dikelilingi oleh dinding, maka tidak mengapa membelakanginya.

Ucapannya, “Atau bersuci dengan tangan kanan,” maksudnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk bersuci (istinja’) dengan tangan kanan, baik menggunakan batu, tisu, tanah, maupun air. Intinya, tangan kanan tidak digunakan langsung untuk membersihkan qubul (kemaluan depan) atau dubur (kemaluan belakang). Sebaliknya, yang digunakan untuk itu adalah tangan kiri.

Oleh karena itu, ketika seseorang ingin membuang ingus —maksudnya, mengeluarkan kotoran yang ada di hidungnya —maka janganlah ia membuang ingus dengan tangan kanan, tetapi dengan tangan kiri. Sebab, kaidah yang dikenal di kalangan para ulama menyatakan bahwa tangan kiri diperuntukkan untuk hal-hal yang kotor dan najis, sedangkan tangan kanan untuk selain itu. Kecuali jika tangan kiri mengalami halangan, seperti sakit, lumpuh, atau yang semacamnya. Karena alasan yang sama pula, manusia dilarang makan dengan tangan kiri, dan diperintahkan makan dengan tangan kanan. Ia juga dilarang memberi dan menerima dengan tangan kiri, melainkan hendaklah memberi dan menerima dengan tangan kanan.

Ucapannya, “Atau bersuci dengan kurang dari tiga batu.”

Di sini, dia menggunakan istilah istinja’ secara umum, tetapi yang dimaksud adalah istijmar (bersuci dengan batu). Artinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang bersuci dengan batu kurang dari tiga buah, meskipun sudah bersih. Artinya, jika seseorang mengusap kemaluannya setelah kencing satu kali, lalu kedua kali dan sudah bersih, dan tidak tersisa sedikit pun kelembaban, maka kami katakan: tetap harus dilakukan usapan yang ketiga, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersuci dengan batu kurang dari tiga buah.

Jika setelah usapan ketiga belum bersih juga, maka ditambah yang keempat. Jika bersih pada usapan keempat, maka ditambah satu lagi menjadi lima. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersuci dengan batu dilakukan dalam jumlah ganjil. Beliau bersabda,

إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُوْتِرْ

Jika salah seorang dari kalian bersuci dengan batu, maka hendaklah ia menjadikannya ganjil.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Jadi, jika sudah bersih dengan empat, ditambah menjadi lima. Jika bersih dengan enam, ditambah satu lagi menjadi tujuh. Tidak boleh kurang dari tiga batu.

Adapun ucapannya, “Atau bersuci dengan kurang dari tiga batu,” yang dimaksud dengan istinja’ di sini adalah istijmar (bersuci dengan batu) yang mencukupi dan dapat menggantikan penggunaan air. Adapun istinja’ kering yang dimaksudkan seseorang hanya untuk mengeringkan tempat najis (kemaluan/dubur) saja, kemudian setelah itu ia membasuhnya dengan air, maka dalam hal ini cukup dengan satu atau dua batu jika tempat itu sudah kering. Namun jika yang dimaksud adalah untuk menggantikan air sepenuhnya, maka wajib menggunakan tiga batu.

Ucapannya, “Atau bersuci dengan kotoran atau tulang,” maksudnya adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang. Kotoran (raji’) yang dimaksud adalah kotoran hewan ternak. Alasannya, jika kotoran hewan tersebut najis —seperti kotoran keledai dan bagal— maka kotoran tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci, karena kotoran tersebut hanya akan menambah najis pada diri manusia. Jika kotoran tersebut suci —seperti kotoran unta, kotoran sapi, dan semisalnya— maka kotoran tersebut tetap tidak boleh digunakan untuk bersuci, karena kotoran tersebut adalah makanan hewan milik jin.

Adapun ucapannya, “atau dengan tulang,” demikian juga —tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk bersuci (istijmar) dengan tulang. Jika tulang itu berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i, seperti tulang kambing, unta, sapi, atau selainnya dari hewan yang disembelih, maka tulang itu memang suci, tetapi tetap tidak boleh digunakan untuk bersuci, karena itu adalah makanan jin. Tulang-tulang yang kita buang itu, akan ditemukan oleh jin dalam keadaan penuh daging.

Ketika para jin datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam —dan di antara mereka ada yang masuk Islam— sebagaimana Allah Ta’ala kabarkan dalam surat al-Jin, mereka terbagi menjadi empat golongan: jin muslim yang sempurna imannya, jin kafir yang jelas kekafirannya, jin yang saleh, dan jin yang berada di bawah itu. Sebagaimana manusia ada yang kafir, fasik, dan mukmin, demikian pula halnya dengan jin: ada yang saleh, yang kurang dari itu, yang menyimpang (yaitu para kafir), dan juga yang muslim. Ketika mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka beriman dan membenarkannya. Dan ketika mereka berkumpul untuk mendengarkan beliau, sebagian dari mereka berkata kepada yang lain, “Diamlah!” agar mereka dapat menyimak bacaan al-Qur’an.

Allah Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِم مُنذِرِينَ

Ketika telah selesai (dibacakan), mereka pun kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan.” (QS al-Ahqaf: 29)

Perhatikanlah adab para jin saat menghadiri majelis dzikir. Mereka saling menasihati untuk diam agar tidak terlewatkan sedikit pun dari ucapan beliau. Mereka tetap tinggal hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berbicara. Karena itu, Allah berfirman: “Ketika telah selesai (dibacakan), mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan,” maksudnya, mereka tidak berdiri sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari dzikir. Sebab, orang yang bangkit dari majelis dzikir tanpa uzur berada dalam bahaya; bisa jadi ia berpaling dari mengingat Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun jika ia memiliki uzur, maka tidak mengapa.

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa apabila seseorang menghadiri majelis dzikir, maka janganlah ia beranjak sebelum majelis itu selesai. Jangan sampai para jin lebih beradab dari kamu, karena ketika majelis dzikir usai, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Mereka sendiri telah mengambil manfaat, lalu pergi sebagai penyeru kepada kebenaran, sebagaimana firman Allah Ta’ala (tentang ucapan mereka):

قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ

Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar sebuah kitab yang diturunkan setelah Musa, membenarkan apa yang ada sebelumnya, yang memberi petunjuk kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS al-Ahqaf: 30)

Dan termasuk apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada delegasi yang datang kepadanya,

لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَر مَا يَكُونُ لَحْمًا

Bagi kalian (jin) setiap tulang yang disebut nama Allah atasnya, yang berada di tangan kalian, akan menjadi daging yang lebih banyak.”

Subhanallah! Tulang yang kita buang bisa menjadi daging?

Kita katakan: Ya, tulang itu menjadi daging, dan kita beriman akan hal tersebut, karena sesungguhnya yang memberitakan kepada kita adalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, kita tidak dapat melihatnya, karena jin terhalangi dari penglihatan kita, begitu pula makanan dan keadaan mereka. Kita tidak mengetahui apa pun tentang mereka. Namun demikian, kita beriman kepada apa yang diberitakan oleh yang jujur lagi dibenarkan, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ

Dan setiap kotoran adalah makanan bagi hewan-hewan kalian.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Oleh karena itu, kita dilarang bersuci dengan kotoran (hewan), karena hal tersebut mengotori makanan hewan-hewan mereka (jin). Demikian pula, kita dilarang bersuci dengan tulang, karena hal tersebut mengotori makanan mereka sendiri.

Berdasarkan hal ini, seandainya seseorang bersuci dengan kotoran (hewan) sebanyak tiga kali, dan tempatnya benar-benar bersih, maka hal itu tetap tidak bermanfaat baginya dan tidak menyucikan tempat tersebut. Sebab, ia telah bersuci dengan sesuatu yang dilarang oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal yang sama berlaku dalam kasus tulang.

Kesimpulannya: Tidak diperbolehkan bagi seseorang bersuci dengan menggunakan kotoran hewan. Jika kotoran tersebut najis, maka tidak mungkin menyucikan sesuatu yang najis dengan benda yang juga najis, baik itu kotoran keledai, bagal, maupun hewan lainnya. Adapun jika kotoran tersebut suci, maka tetap tidak boleh digunakan untuk bersuci, karena kotoran itu harus dihormati; ia merupakan makanan bagi hewan-hewan jin.

Adapun tulang, jika ia suci, maka ia menjadi makanan bagi jin. Namun jika ia najis —seperti tulang keledai dan semisalnya— maka tidak diperbolehkan digunakan untuk bersuci, karena tulang tersebut najis dan tidak akan menambah apa pun bagi manusia kecuali kenajisan. Tidak mungkin kamu berlindung dari panas terik dengan api.

Termasuk dalam hal itu adalah tulang bangkai. Tulang tersebut tidak dapat menyucikan karena ia najis menurut mayoritas ulama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita bersuci menggunakan kotoran hewan maupun tulang.

Melalui hadis ini dan hadis-hadis lainnya, menjadi jelas bagi kita bahwa syariat Islam mencakup dan menyeluruh terhadap segala sesuatu. Dari hadis ini pula, kita memahami bahwa istijmar harus dilakukan dengan sesuatu yang suci, dan tidak boleh dengan sesuatu yang dimuliakan.

Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bersuci (istijmar) dengan makanan, pakan hewan, atau lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat nama Allah atau perkataan para ulama dalam ilmu syar’i, seperti fikih. Adapun lembaran-lembaran yang tidak memuat selain ucapan yang tidak mengandung kebaikan, maka ia tidak memiliki kehormatan. Namun, lembaran-lembaran yang memuat ucapan yang patut dihormati —seperti ucapan para ulama, atau yang lebih agung dari itu, yaitu ucapan Rasul, bahkan yang lebih agung lagi, yaitu firman Allah ‘Azza wa Jalla— maka tidak boleh digunakan untuk bersuci (istijmar).

Demikian pula, istijmar harus dilakukan dengan tiga batu atau lebih, dan tidak boleh dibatasi dengan kurang dari itu. Jika seseorang telah bersuci dengan benda yang dibolehkan dan dalam jumlah yang disyariatkan, maka ia seolah-olah telah mencuci kemaluannya dengan sempurna, yaitu sebagaimana ia menggunakan air secara sempurna. Apabila setelah itu tempat tersebut lembap oleh keringat atau selainnya, maka hal itu tidak menajiskan pakaian. Sebab, dengan istijmar, tempat tersebut telah menjadi suci sepenuhnya.

Baca juga: LARANGAN MANDI ATAU KENCING DI AIR YANG DIAM

Baca juga: SUCI ADALAH DI ANTARA SYARAT SAH SHALAT

Baca juga: DOA MASUK DAN KELUAR TEMPAT BUANG HAJAT

(Syekh Muhammad bin Shalin al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih