KISAH DUA ANAK ADAM

KISAH DUA ANAK ADAM

Setiap kali mengandung, Hawa melahirkan bayi kembar: laki-laki dan perempuan. Qabil dan Iqlima lahir kembar, begitu pula Habil dan Labuda. Ketika mereka menginjak dewasa, Adam berkeinginan menikahkan mereka, seperti yang diperintahkan Allah. Qabil menikah dengan Labuda, dan Habil menikah dengan Iqlima.

Qabil adalah laki-laki yang sangat memuja kecantikan. Sayangnya, Labuda kurang cantik dibandingkan Iqlima. Kecantikan Iqlima sangat memesona Qabil sehingga ia berkeinginan mendapatkannya.

Setan mempermainkan akal dan hati Qabil melalui bisikannya. Bagaimana mungkin aku hidup bersama perempuan yang kurang cantik? Bagaimana mungkin aku mengabaikan wajah yang kurindu dan kuinginkan? Maka Qabil rela berbuat apapun demi mendapatkan Iqlima. Di sisi lain, Habil yang jiwanya baik rela menerima perintah Allah Ta’ala kepadanya.

Qabil memendam rasa dengki. Dia menyatakan kedengkian itu di depan ayahnya dengan menolak perintah Allah. Dia enggan menyerahkan Iqlima kepada Habil. Dia selalu memegangi Iqlima tanpa pernah meninggalkannya.

Adam sadar musuh tengah mengintai dirinya. Sayatan bisikan Iblis masih membekas di dirinya. Ia khawatir kedua anaknya terganggu bisikan musuh.

Adam tidak akan melanggar syariat Allah. Sebelumnya, karena sesuap makanan, ia terusir dari Surga. Lalu bagaimana jika ia mengganti syariat Allah?

Adam mengingatkan Qabil bahwa Iqlima tidak halal baginya. Namun Qabil enggan menerima sehingga Allah memberi petunjuk kepada Adam.

Adam menyampaikan sebuah ide kepada kedua anaknya dengan harapan bisa memecahkan kerumitan ini.

Adam berkata kepada mereka, “Persembahkanlah kalian berdua masing-masing sebuah kurban. Siapa yang kurbannya diterima, dia berhak menikah dengan Iqlima.”

Pemahaman tentang kurban dan hukumnya sudah ada sejak dulu kala. Jika kurban diterima, api putih berbentuk anak panah datang dari langit melahap kurban. Jika kurban tidak diterima, tak ada yang terjadi pada kurban kecuali dimakan hewan.

Qabil adalah seorang pemilik tanaman. Ia mengorbankan hasil pertanian terburuk miliknya. Itupun tanpa kerelaan hati karena murka kepada Rabbnya.

Habil adalah seorang penggembala. Ia mempersembahkan kambing terbaik miliknya dengan kerelaan hati. Ia berharap kurbannya diterima oleh Rabbnya.

Kedua laki-laki itu mempersembahkan kurban masing-masing. Mereka menunggu keputusan dari Allah.

Selanjutnya, laksana anak panah melesat dari busur, api putih menghampiri kurban Habil dan melahapnya, sedangkan kurban Qabil dibiarkan dan tidak dilahapnya. Habil bersyukur kepada Allah Ta’ala karena kurbannya diterima. Qabil jengkel terhadap saudaranya. Amarah, dengki, dan khianat menjalar ke sekujur tubuhnya.

Setan melaksanakan janji yang telah ia ikrarkan kepada dirinya. Ia mendatangi Qabil dari arah kanan, kiri, depan, dan belakang. Ia berbisik kepada Qabil, “Bunuhlah saudaramu sebelum ia menguasai Iqlima!”

Terbayang dalam benak Qabil bahwa Labuda berada di sampingnya, sedangkan Iqlima dalam pelukan saudaranya. Emosinya pun memuncak, amarahnya membutakan mata hatinya, setan menguasai dirinya.

Qabil menatap Habil. Tanpa merasa bersalah ia berkata, “Aku pasti membunuhmu!”

Dengan tenang Habil berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang yang bertakwa. Sungguh, jika engkau menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sama sekali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sesungguhnya aku ingin agar engkau kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. Maka engkau akan menjadi penghuni Neraka. Dan itulah balasan bagi orang yang zalim.” (al-Maidah: 27-31)

Qabil tidak mengindahkan perkataan saudaranya. Nafsu Qabil lebih dominan sehingga mendorongnya membunuh Habil. Kemudian Qabil pun benar-benar membunuh Habil. Maka jadilah Qabil termasuk orang-orang yang rugi.

Habil roboh ke tanah, mengalirlah darah pertama di bumi. Ia tidak melakukan perlawanan meskipun secara fisik lebih kekar dan lebih kuat daripada Qabil. Iman dan takwa mencegahnya menggerakkan tangannya untuk membunuh Qabil demi membela diri.

Qabil melihat jasad Habil tergolek tak bernyawa di hadapannya. Amarahnya telah lenyap setelah emosinya terlampiaskan. Ia tidak tahu apa yang yang harus dilakukan. Ia hanya menggendong jasad Habil di punggungnya dan terus menggendongnya hingga Allah mengirimkan dua ekor burung gagak.

Kedua burung itu bertengkar hingga salah satunya terbunuh. Begitu gagak yang terbunuh jatuh, gagak yang membunuh tidak membiarkannya begitu saja. Ia turun ke tanah dan membuat lubang di sana. Ia meletakkan jasad gagak yang mati di dalamnya, lalu menutup lubang dengan tanah.

Melihat kejadian itu, Qabil bergumam, “Oh, celakanya aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?”

Sekarang Qabil memanggil Habil, “Saudaraku!”

Maka jadilah ia termasuk orang yang menyesal.” Tetapi, itu hanyalah penyesalan orang yang dengki, bukan penyesalan orang yang bertobat dan memohon ampun.

Qabil pun bangkit membuat lubang di tanah, menyeret jasad Habil dan meletakkannya di dalam lubang, lalu menutup lubang dengan tanah. Tidak lama setelah itu, ia mendapat hukuman yang disegerakan. Ia menjadi orang pertama yang mencontohkan pembunuhan. Ia harus menanggung dosanya sendiri dan dosa siapa saja yang melakukan perbuatan serupa setelahnya hingga hari ketika orang-orang yang menanggung dosa merugi.

Disebutkan dalam hadis al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنْ نَفْسٍ تُقْتَلُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِن دَمِهَا، لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلُ مَن سَنَّ الْقَتْلَ

Tidak satu jiwa pun dibunuh secara zalim melainkan anak Adam yang pertama menanggung dosa pembunuhan tersebut, karena ia adalah orang pertama yang melakukan pembunuhan.”

Baca sebelumnya: WAFATNYA ADAM

Baca juga: TUNDUK KEPADA SUNAH DAN MENGIKUTINYA

(Dr. Hamid Ahmad ath-Thahir)

Kisah