IMSAK SEBAGAI KEKELIRUAN DALAM PENSYARIATAN WAKTU AKHIR SAHUR

IMSAK SEBAGAI KEKELIRUAN DALAM PENSYARIATAN WAKTU AKHIR SAHUR

Barangkali masih belum hilang dari ingatan kita tentang menanti azan Magrib di sepanjang bulan Ramadan? Mungkin juga kita masih ingat dengan imsak? Bahkan juga banyak yang menganggap imsak dan Magrib sudah seperti ‘saudara dekat’ atau ‘sahabat karib’? Di waktu itu, kita beranggapan bahwa keduanya selalu beriringan. Imsak sebagai awal puasa dan Magrib sebagai akhir puasa kita di sepanjang hari itu. Dalam satu hal, terkait Magrib agaknya kita tidak banyak menemui ‘masalah’. Bila berkumandang azan Magrib, maka selesailah puasa kita. Namun, tentunya hal berbeda terjadi dengan imsak, karena kita menyadari banyak pandangan berbeda tentang imsak.

Lebih jauh, beberapa hari sebelum awal Ramadan, masjid-masjid di sekitar tempat tinggal kita atau bahkan lembaga-lembaga dakwah dan soial kemasyarakan biasanya berlomba-lomba ‘mengedarkan’ selebaran atau ‘leaflet’ yang juga banyak dinanti-nanti oleh sebagian umat Islam di tanah air yang berjudul ‘Jadwal Imsakiah Ramadhan’. Di selebaran tersebut terdapat kolom dengan nama khusus, yaitu “Imsak” yang biasanya atau selalu tertulis waktunya dalam sepuluh menit sebelum waktu azan Subuh. Misalkan, waktu Subuh pukul 05:05 wib, maka waktu imsak yang tertera di sana adalah pukul 04:55 wib. Sedangkan, jika kita ikut pengajian-pengajian di masjid atau pelajaran agama di ‘sekolahan’, baik SD atau SMP bahkan SMA, kita selalu mendapat penjelasan bahwa imsak berarti ‘menahan’ (dari makan dan minum dan atau segala sesuatu yang membatalkan puasa).

Dalam praktik sehari-hari saat waktu sahur di berberapa daerah di Jawa, waktu imsak ini biasanya ditandai dengan bunyi sirine, dentuman meriam, tabuhan beduk dan lain sebagainya. Dalam pemahaman awam, hal ini berarti bahwa seseorang yang hendak puasa harus berhenti makan dan minum pada pukul 04:55 tersebut. Banyak yang berpendapat, saat itu ‘makruh’ atau bahkan terlarang alias haram makan dan minum lagi kalau sudah masuk waktu imsak.

Jika kita bertanya, apakah imsak seperti ini ada dalilnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah? Ternyata jawabnya tidak ada. Ternyata juga, orang membuat imsak beberapa menit sebelum azan subuh ini semata-mata adalah karena alasan ‘demi kehati-hatian’ dalam mengawali saat berpuasa di hari itu. Namun, sesungguhnya tak ada dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah sama sekali terkait hal tersebut.

Pernah terjadi di suatu waktu, syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang imsak. Beliau menjawab: “… Perbuatan ini (maksudnya imsak beberapa menit sebelum azan) merupakan perbuatan bidah, tidak ada dasarnya dalam sunah, bahkan sangat bertentangan dengan sunah. Sebab Allah Subhanahu wa Taala telah menegaskan dalam al-Qur’an:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS al-Baqarah: 187)

Di waktu yang lain, syekh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai ketua al-Lajnah ad-Da-imah (Komisi fatwa di Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya, “Beberapa organisasi dan yayasan membagi-bagikan jadwal imsakiah di bulan Ramadan yang penuh berkah. Jadwal ini khusus berisi waktu-waktu salat. Namun dalam jadwal tersebut ditetapkan bahwa waktu imsak (maksudnya ‘menahan diri dari makan dan minum’) adalah 15 menit sebelum azan Subuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam?”

Syekh Bin Baz rahimahullah menjawab, “Saya tidak mengetahui adanya dalil tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum azan Subuh tersebut. Bahkan, yang sesuai dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah, imsak (yang berarti menahan diri dari makan dan minum) adalah mulai terbitnya fajar sidik (masuknya waktu Subuh). Dasarnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS al-Baqarah: 187)

Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الفَجْرُ فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ

“Fajar ada dua macam: [Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk salat (yaitu fajar sidik, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan untuk salat (yaitu salat Subuh) dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kizib, fajar yang muncul sebelum fajar sidik).” (HR al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim mensahihkannya)

Dasarnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Bilal biasa mengumandangkan azan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar azan Ibnu Ummi Maktum.” (HR al-Bukhari dan Muslim) Seorang periwayat hadis ini mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau tidaklah mengumandangkan azan sampai ada yang memberitahukan padanya “Waktu Subuh telah tiba. Waktu Subuh telah tiba.” Dalam hadis tersebut juga diberitakan bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diperintahkan untuk imsak kecuali kalau azan Subuh sudah dikumandangkan. Seperti diketahui dan dijelaskan di atas bahwa azan Subuh pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikumandangkan dua kali, menjelang Subuh dan saat masuk Subuh.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa imsak yang dilakukan oleh sebagian orang adalah suatu tambahan dari apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, yang termasuk dalam perbuatan yang diada-adakan dalam agama Allah, padahal pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ، هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ

Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan !“ (HR Muslim)

Hanya Allah yang memberi taufik.

Baca juga: KEWAJIBAN PUASA RAMADAN DAN WAKTUNYA

Baca juga: HUKUM PUASA

Baca juga: TAHAP-TAHAP PENSYARIATAN HUKUM PUASA DAN KHAMAR

Rujukan:

1. Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Majmu Fatawa Arkanil Islam,

2. Syekh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz.

Fikih