HUKUM PUASA

HUKUM PUASA

Puasa secara istilah syariat adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkannya sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari.

Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa harus diniatkan untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena keinginan sendiri atau sekedar kebiasaan. Orang yang menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari untuk tujuan pengobatan tidak dinamakan berpuasa secara syariat, melainkan berpuasa secara bahasa.

Kamu harus mencantumkan kata ‘beribadah pada setiap jenis ibadah yang ingin kamu definisikan. Ketika mendefinisikan ibadah wudu, kamu tidak cukup mengatakan, ‘Mencuci anggota-anggota tertentu,’ akan tetapi hendaklah mengatakan, ‘Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan mencuci anggota-anggota tertentu.’ Ketika mendefinisikan ibadah salat, kamu tidak cukup mengatakan, ‘Perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam,’ akan tetapi hendalah mengatakan, ‘Beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang memiliki perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.’ Begitu juga dengan ibadah-ibadah yang lain

Kita harus benar-benar memerhatikan hal ini, karena banyak ulama fikih yang ketika mendefinisikan jenis ibadah tertentu tidak menyebutkan kata ‘beribadah’, sehingga ibadah tersebut seakan-akan definisi bahasa saja.

Kata ‘ibadah’ yang kami gunakan dalam mendefinisikan ibadah adalah sudah cukup. Kita tidak perlu menambahkan ‘disertai dengan niat’ untuk mendefinisikan ibadah tertentu karena setiap ibadah pasti disertai dengan niat.

Apakah ada hubungan antara makna puasa secara syar’i (syariat) dan makna lughawi (bahasa)?

Jawabannya adalah ada, yaitu masing-masing bermakna menahan diri. Akan tetapi makna puasa secara syar’i adalah menahan diri dari sesuatu tertentu.

Penulis kitab al-Furu berkata, “Hukum puasa adalah fardu menurut ijmak. Tidak seorang pun dari kalangan umat ini menyelisihinya. Selain pada bulan Ramadan, seseorang tidak boleh meniatkan puasa sebagai puasa wajib. Akan tetapi, diperbolehkan meniatkan puasa wajib selain pada bulan Ramadan, jika untuk puasa kada.”

Puasa diwajibkan pada tahun ke-2 hijriah menurut ijmak. Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sembilan kali Ramadan menurut ijmak.

Hukum puasa adalah fardu menurut ijmak kaum muslimin, berdasarkan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa…” (QS al-Baqarah: 183)

Kata kutiba bermakna juridha (difardukan).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا

Apabila kalian telah melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Perintah menunjukkan kewajiban. Jadi, hukum puasa Ramadan adalah wajib, berdasarkan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijmak kaum muslimin, yaitu ijmak yang benar-benar pasti yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka, baik ahli sunah maupun ahli bidah. Mereka berijmak bahwa hukum puasa Ramadan adalah wajib. Oleh karena itu, kita katakan bahwa barangsiapa mengingkari kewajiban puasa Ramadan, ia telah kafir jika ia hidup di tengah-tengah kaum muslimin, karena ia mengingkari suatu perkara yang sudah maklum secara pasti dalam agama Islam. Adapun orang yang tidak berpuasa Ramadan karena menyepelekannya, para ulama berselisih pendapat tentang kekufurannya. Pendapat yang sahih adalah bahwa orang itu tidak kafir.

Ada sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa orang itu kafir. Ia berkata, “Karena puasa Ramadan termasuk salah satu rukun Islam, dan rukun adalah sesuatu yang paling kokoh. Apabila rukun hancur, maka rumah pun ikut hancur.” Akan tetapi pendapat yang sahih adalah seseorang tidak divonis kafir jika ia meninggalkan suatu amal ibadah, kecuali salat. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum. (HR at-Tirmidzi)

Kedudukan puasa Ramadan dalam agama Islam adalah bahwa puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسِ … (مِنْهَا) صَوْمِ رَمَضَان

Agama Islam dibangun di atas lima pondasi…” Di antaranya “puasa Ramadan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga: PUASA RAMADAN: KEWAJIBAN DAN KEUTAMAANNYA

Baca juga: ADAB-ADAB MENGERJAKAN PUASA YANG WAJIB

Baca juga: DI ANTARA KEUTAMAAN PUASA

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih